Tinggalkan bayi itu

1454 Words
Sofia masih menangis tersedu-sedu sambil memeluk nisan kayu berwarna coklat bertuliskan nama ibunya, Nuraini, saat para pelayat yang mengantarkan Nur ke tempat peristirahatan terakhir sudah meninggalkan tempat pemakaman umum itu satu persatu. "Ibu ... Kenapa Ibu ninggalin Sofia, Sofia sudah tidak punya siapa-siapa," rintih Sofia di atas makam yang masih basah, makan sang Ibu tercinta selama ini memang hanya Ibunya yang ia miliki seluruh keluarga baik dari pihak Nur ataupun Supri seolah tidak mengenal mereka, keluarga Supri beranggapan karena lelaki itu telah tiada maka tiada pula hubungan antara mereka dan Sofia, lalu Nur dan keluarganya juga semakin jauh atau lebih tepatnya Nur dan Sofia dijauhi tentu saja alasannya karena sebuah kemiskinan mereka takut jika Sofia dan Nur hanya akan menambah beban mereka. "Ibu, jangan tinggalin Sofia, Bu, Sofia enggak mau sendiri," ujar Sofia di sela-sela isak tangisnya. "Sofia, kamu jangan bicara seperti itu. Siapa bilang kamu sendiri? Kamu masih punya Bapak," ujar Bondan sambil mengelus pipi Sofia dengan seringai bak serigala berbulu dombanya. "Ayo kita pulang." Sofia masih termangu di tempatnya lalu kembali tergugu dalam tangisan, Bondan benar, dirinya tidak lagi sendiri, ada sang adik yang pasti sangat membutuhkannya. Seorang adik perempuan yang menjadi amanat terakhir sang Ibu sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhirnya. "Ayo Sofia, kita pulang," ajak Bondan dengan lembut seraya mengusap bahu Sofia, gadis itu menepis tangan ayah tirinya dengan lirikan sinis tanda ia tidak suka jika lelaki itu memegangnya. Tanpa berbicara satu sama lain mereka berdua berjalan meninggalkan makam bertabur bunga di mana Nur akan tinggal selamanya, meninggalkan anak-anaknya dalam kehidupan yang tidak ada satu orang pun tahu akan berakhir seperti apa. "Udah jangan sedih terus, emak kamu bakal sedih di sana kalau ngeliat anak kesayangannya sedih begini," ucap Bondan sambil mengelus dagu Sofia yang duduk di sebelahnya yang sedang mengemudikan angkot menuju rumahnya. Sofia berdecak kesal karena Bondan menyentuhnya lalu mengibaskan tangan lelaki itu seperti setiap kali ia melakukannya, Bondan hanya tersenyum miring lalu menatap lurus ke jalanan, alih-alih merasa sedih kerena kematian sang istri Bondan justru merasa senang karena sekarang tidak ada lagi orang yang bisa melindungi Sofia dan menghalangi dirinya menjalankan segala niat busuknya. Sesekali lelaki itu melirik Sofia yang duduk bersandar sambil terisak kecil, berbeda dengan Bondan kematian Nur adalah sebuah kemalangan berbesar, ia tahu jika hidupnya akan lebih berat ada rasa takut yang terselip dalam hatinya tetapi pesan terakhir sang Ibu selalu menjadi penguat baginya. Sekarang yang ada dalam hatinya adalah sebuah doa, dia agar adik perempuannya baik-baik saja. Menurut dokter adiknya meminum banyak air ketuban hingga ada masalah di paru-parunya, bayi kecil itu masih harus menjalani perawatan di puskesmas hingga beberapa hari mendatang. * Sofia tengah duduk di tepi ranjangnya, gadis manis itu menghela napas lalu mengusap air matanya ia baru saja menghitung uang takziah yang diberikan oleh tetangga-tetangga mereka berharap uang itu cukup untuk biaya perawatan sang adik di rumah sakit. "Kasih duit itu ke gue!" Sofia tersentak saat mendengar suara Bondan yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. "Buat apa?" tanya Sofia dengan suara bergetar, ia selalu takut jika Bondan marah seperti setiap kali lelaki itu bertengkar dengan ibunya karena lelaki itu tidak akan segan-segan untuk main kasar. "Pake nanya, terserah gue buat apa duit itu. Nur, 'kan, bini gue jadi gue juga berhak atas duit takziah itu," bentak Bondan yang berjalan mendekati Sofia, dan setiap langkah lelaki itu semakin membuat Sofia ketakutan. "Enggak, jangan, Pak. Duit ini untuk bayar biaya perawatan adik, ini juga buat biaya ngerawat dia di rumah nanti," ujar Sofia memelas sambil memeluk yang masih dipegangnya. "Hah? Elu mikirin hal itu, denger ya Sofia lebih baik Elu lupain adek Elu itu. Tinggalin dia di rumah sakit dan enggak perlu Elu inget-inget kalo Elu punya adek!" Bagai sebuah petir di siang bolong, ucapan Bondan begitu membuat Sofia terkejut tidak kepalang bagaimana mungkin Bondan memiliki pikiran seperti itu tentang anaknya sendiri. "Enggak, Pak. Kita enggak bisa ngelakuin hal itu. Bagaimana mungkin Bapak kepikiran buat buang anak Bapak sendiri?" Sofia menggelengkan kepalanya heran dengan pikiran Bondan. "Eh, bocah ingusan kayak Elu mana ngerti, biaya ngerawat anak itu enggak murah, susunya, makannya belum lagi kalo dia sakit. Lagian kamu itu anak dibiarin di sana palingan nanti juga dia ditaro di panti asuhan, hidup dia lebih enak, ada yang ngurusin, nah kalo di sini siapa yang bakalan ngurusin dia? Gue sih ogah! Mendingan Gue ngurusin Elu yang udah gede, cantik lagi!" Sofia menepis kasar tangan Bondan yang mengelus pipinya sambil melotot tidak suka. melihat ekspresi kesal Sofia, Bondan malah terkekeh lalu karena kelengahan gadis itu Bondan dengan cepat merebut uang yang masih Sofia pegang. "Pak, jangan, Pak. Jangan ambil uang itu!" Pekik Sofia karena Bondan langsung keluar dari kamar itu sambil tertawa, lelaki itu mencium segenggam uang yang ada di tangannya lalu pergi keluar rumah. Pasti tempat judi dan mabuk-mabukan adalah tempat yang ia tuju. * Sofia menempelkan tangannya di kaca jendela besar, di dalam ruangan terdapat banyak bayi-bayi mungil di dalam boxnya masing-masing, ada yang tertidur lelap, ada pula yang membuka mata lebar sambil menggerak-gerakkan tangannya. Sedangkan bayi yang menjadi perhatiannya hanya diam dengan mata terbuka, bibirnya bergerak-gerak seolah sedang menghisap sesuatu. Air mata Sofia kembali menetes, seharusnya bibir mungil itu menyusu pada Ibunya meneguk air s**u yang menjadi sumber penghidupannya tetapi kini seseorang yang seharusnya memberinya penghidupan justru telah kehilangan kehidupannya. Sofia menghapus air matanya saat melihat seorang perawat dengan hati-hati mengambil bayi itu dari dalam box, ia tahu jika bayi cantik itu akan segera dibawa padanya. Hari ini setelah lebih dari satu pekan sang adik dirawat, dokter menyatakan jika bayi itu sudah boleh dibawa pulang. Dengan bantuan dari ketua RT dan RW setempat Sofia berhasil mendapatkan keringanan dalam hal p********n biaya perawatan sang adik, Ibu ketua RT itu pula yang mengantarkan Sofia untuk menjemput adiknya hari ini. "Ini adiknya, Dek. Dia sudah sehat dan cantik seperti kakaknya," ujar seorang perawat sambil memberikan bayi mungil mengenakan bedong dan topi merah jambu itu pada Sofia. "Hati-hati, Nak. Kamu bisa gendongnya?" tanya wanita yang berusia beberapa tahun lebih tua dari mendiang ibunda Sofia itu. "Bisa, Bu RT. Terima kasih atas semua bantuannya," ujar Sofia dengan senyum penuh hormat pada wanita yang tengah menatapnya dengan haru. "Iya, Nak. Sudah kewajiban kita untuk saling membantu, kamu jangan sungkan jika perlu bantuan datang saja ke rumah Ibu," jawab Bu RT, wanita itu lalu mengelus pipi bayi merah yang tertidur lelap dalam gendongan sang kakak itu. "Siapa namanya?" tanya Bu RT sambil menatap Sofia. "Adira. namanya Adira, artinya wanita yang kuat karena aku ingin dia tumbuh menjadi wanita yang kuat seperti harapan terakhir Ibu." * "Elu bawa bayi ini balik beneran?" tanya Bondan sambil menaruh kedua tangannya di pinggang saat melihat Sofia sedang mengganti popok sang adik di ranjangnya, ranjang kayu lapuk dengan kasur lepek di atasnya. "iya, Pak. bagaimanapun dia adik aku, pesan terakhir Ibu juga minta aku buat selalu jagain Adira. Jadi apapun yang terjadi aku akan tetap jagain Adira," jawab Sofia, gadis itu hanya sekilas menoleh pada Bondan yang hanya berdiri di ambang pintu. "Terserah Elu, ya, yang penting gue enggak mau repot karena itu bayi!" ujar Bondan sambil berlalu meninggalkan mereka, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya lalu kembali ke pangkalan angkot dan mencari penumpang sampai malam, jam operasional trayek angkot berakhir pada jam sepuluh hingga sebelas malam baru setelah itu Bondan akan beristirahat di rumah jika tidak ada acara berjudi atau mabuk-mabukan bersama sopir angkot lainnya. Sofia menghela napas pelan, menatap sang adik yang sudah kembali terlelap. Bondan memang benar, pasti tidak mudah merawat Adira selain biaya yang pastinya tidak sedikit, Adira juga membutuhkan pengasuhan sepanjang waktu, sedangkan Sofia masih harus meneruskan sekolahnya. Tetapi itu semua bukan sebuah pembenaran untuk menelantarkan Adira, dia bukan sebuah benda yang bisa dibuang begitu saja dari kehidupannya. Adira adalah sebuah amanah yang telah Tuhan berikan kepadanya, bukankah tidak ada selembar daun kering pun yang gugur melainkan ketentuan Illahi? * Adira yang terus terjaga dan meminta ditimang hingga larut malam benar-benar membuat Sofia kelelahan, gadis itu baru bisa memejamkan mata setelah Adira terlelap setelah kenyang menyusu, s**u formula rekomendasi puskesmas menjadi asupan makanan Adira sekarang, uang tabungan mendiang Nur dan uang tabungan yang Sofia sisihkan dari uang jajannya ia rasa bisa untuk membeli s**u itu beberapa bulan ke depan, tadinya uang itu akan Sofia gunakan untuk biaya kuliahnya tetapi saat ini Adira lah yang paling penting untuk dirinya. Sofia terlelap sambil memeluk sang adik, gadis itu terbuai dalam mimpi yang entah mengapa tidak pernah indah belakangan ini. Di antara sadar dan tidak Sofia merasakan sentuhan dan rasa hangat membelai kakinya, dari bagian bawah terus ke atas dan semakin mendalam dengan belaian lembut lalu kian menuntut. Tiba-tiba bagai terjatuh dari ketinggian, Sofia tersentak, sadar dalam perasaan ketakutan yang begitu besar apa yang ia rasakan bukan mimpi. Kedua mata Sofia membola dengan amarah yang kian membuncah. "Bapak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD