Berawalan Duka
"Ibu, Ibu kenapa?" Sofia baru pulang dari sekolahnya dan mendapati sang ibu tengah meringis kesakitan di dalam rumah sederhana yang mereka tempati sejak dua tahun yang lalu sejak ibunya yang seorang janda memutuskan untuk menikah dengan seorang sopir angkot berwarna kuning tua di kota tempat mereka tinggal.
"Ibu mau melahirkan, Nak, cepat kamu cari Bapakmu," jawab Nur sambil mengelus perut buncitnya, kehamilannya memang sudah begitu besar, bahkan menurut kata bidan puskesmas tempat Nur beberapa kali memeriksakan kehamilannya itu, hari perkiraan lahirnya sudah lama terlewat.
"Iya, Bu. Ibu sabar, aku coba cari Bapak di pangkalan." Sofia segera meninggalkan sang ibu, ia berlari melewati gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh dua orang berpapasan saja. Satu-satunya akses jalan dari dan menuju rumah yang terbuat dari papan itu.
Sebuah perempatan jalan raya menjadi tujuannya, tempat di mana biasanya beberapa angkot berhenti untuk menunggu penumpang.
Bondan adalah lelaki yang dicarinya, seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan perut agak buncit, beberapa tatto menghiasi bagian tubuhnya. Lelaki itu adalah ayah sambung Sofia yang menikahi ibunya dan berjanji akan menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri. Janji itulah yang membuat Nur mau menerima lamarannya meski sudah begitu lama menjanda.
Supri, ayah kandung Sofia meninggal saat gadis kecil itu masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Lelaki yang bekerja sebagai buruh pabrik itu meninggal saat terjadi sebuah kebakaran di tempatnya bekerja, lelaki baik hati itu menyelamatkan mandornya untuk keluar dari kaca jendela toilet yang ia pecahkan tetapi dia sendiri menghembuskan napas terakhir dalam pekatnya asap yang memenuhi paru-paru.
Uang belasungkawa dari perusahaan yang tidak seberapa besar itu Nur bagi dua dengan keluarga Supri yang meminta jatah walau sebenarnya sudah tidak ada hak mereka di dalamnya, tetapi karena tidak ingin terjadi keributan maka dengan berat hati Nur merelakan uang yang seharusnya bisa untuk modal membuka usaha. Akhirnya dengan uang itu Nur hanya bisa membayar sekolah putrinya, dan untuk kehidupan mereka sehari-hari Nur harus bekerja menjadi buruh cuci setrika atau pembantu rumah tangga.
Kehidupan mereka tidak banyak berubah meski Sofia sudah lulus sekolah menengah pertama dan bersekolah di sekolah menengah atas, beruntung Sofia adalah murid yang pintar sehingga bisa bersekolah di sekolah negeri hingga bisa mendapatkan keringanan biaya.
Kala itu Sofia baru kelas satu sekolah menengah atas saat Nur mengenalkannya pada Bondan, seorang sopir angkot yang Nur kenal karena seringnya mereka bertemu. Pertemuan sederhana, Bondan sopirnya dan Nur penumpangnya, begitu terus setiap hari karena tempat kerja Nur yang jauh dari rumah kontrakan mereka hingga keduanya semakin dekat dan Bondan tertarik pada Nur karena fisiknya yang lumayan cantik.
Nur masih saja harus bekerja meski sudah menikah dengan Bondan, hanya bedanya kini mereka tidak lagi tinggal di rumah kontrakan melainkan tinggal di rumah sederhana yang Bondan miliki, rumah pakan dengan dua kamar tidur, ruang tamu kecil dapur dan kamar mandi.
"Pak, Bapak narik, ya?" tanya Sofia pada seorang sopir angkot yang sedang menanti penumpang di tempat biasa.
"Iya, Neng. Udah dari tadi tapi, tunggu aja bentar lagi juga balik," jawab lelaki berbadan kerempeng yang mengenakan topi terbalik dan sebuah handuk kecil tersampir di bahunya.
Dengan gusar Sofia berdiri di trotoar, napasnya tersengal karena rasa lelah berjalan sedikit berlari menuju tempat yang lumayan jauh dari rumahnya, pikirannya kembali pada sang Ibu yang tengah merasakan kesakitan di rumahnya.
Sesekali kepalanya melongok ke arah jalan yang lumayan ramai oleh lalu-lalang kendaraan, ada berbagai kendaraan pribadi dan angkot berbeda-beda warna yang melintas tetapi belum juga ia melihat tanda-tanda angkot Bondan akan datang.
"Bapak, cepetan dong pulang, kasian Ibu," gumam Sofia dengan raut wajah penuh kecemasan, raut wajah yang seketika berubah menjadi binar lega saat melihat angkot yang dikendarai Bondan mendekat.
"Bapak."
Sofia langsung mendekati pintu di mana Bondan masih memegang stir dengan wajah lelah, ia menepikan angkotnya membiarkan beberapa penumpang yang masih tersisa turun karena memang tempat itu adalah akhir tujuan perjalanan, dan di tempat itu pula Bondan akan menunggu penumpang baru yang akan menaiki angkotnya.
"Ada apa anak Bapak yang cantik?" tanya Bondan sambil menatap wajah Sofia, Bondan memang kerap kali menyebut Sofia seperti itu, tidak ia pedulikan jika gadis itu risih mendapat perlakuan demikian. Sofia tetap menghormati Bondan karena dia adalah suami ibunya.
"Ibu ... Ibu sakit perut, Pak. Ibu mau melahirkan," jawab Sofia cepat, maksud hatinya adalah Bondan segera membawa sang Ibu ke rumah sakit atau puskesmas.
"Lah, terus gue suruh ngapain, emang gue dukun beranak?" jawab Bondan ringan sambil terkekeh, Sofia membola mendengar jawaban Bondan yang menurutnya begitu menyebalkan, tidak tampak sedikitpun kepeduliannya terhadap sang istri.
"Pak, bawa Ibu ke rumah sakit, Ibu mau melahirkan, Pak," pinta Sofia, refleks ia memegang tangan Bondan dari luar jendela, lelaki itu tersenyum miring.
"Gue enggak ada duit buat bayar rumah sakit, Sofia. Lu pikir rumah sakit murah?" tanya Bondan, Sofia tersadar karena telah memegang tangan sang Ayah tiri dan segera melepaskannya.
"Ibu punya tabungan, untuk biaya persalinan, Bapak tinggal anter aja kami ke Puskesmas," jawab Sofia, dalam hatinya tumbuh rasa kecewa karena melihat sikap Bondan yang abai dari tanggung jawabnya.
"Ya udah, ayo masuk." Bondan memberi isyarat dengan gelengan kepala agar Sofia memasuki angkotnya yang memang belum mendapat penumpang lagi, karena angkot di depannya belum penuh.
*
"Ibu ...."
Sofia terpekik melihat sang Ibu duduk di lantai ruang tamu dengan cairan dan darah yang menggenang di bawah tubuhnya, wanita berusia empat puluh lima tahun itu meringis kesakitan sendirian.
"Bapak, cepetan tolong Ibu," pekik Sofia membuat Bondan yang tengah berjalan santai mempercepat langkahnya.
"Bang, perut Nur sakit banget, Bang. Cepet bawa Nur ke rumah sakit," ujar Nur sambil merintih kesakitan saat melihat sang suami sampai di ambang pintu.
"Sofia katanya Ibu Lu punya duit, cepet ambil!" Sofia langsung berjalan menuju kamarnya dan mengambil sebuah dompet yang berisi sejumlah uang yang Nur kumpulkan dari hasil bekerjanya selama ini, wanita itu baru berhenti bekerja saat kandungannya memasuki usia sembilan bulan.
.
"Cepetan, Pak," pinta Sofia yang tengah menopang tubuh sang ibu dari belakang, mereka ada di bagian belakang angkot sekarang, duduk di lantai angkot yang terbuat dari plat besi tanpa alas, Bondan melarang Nur duduk di depan atau di kursi penumpang karena takut darah yang Nur keluarkan akan sulit dibersihkan.
"Iya, ini juga udah cepet, Lu mau Gue berurusan sama polisi?" bentak Bondan yang sedang berkonsentrasi mengendarai angkotnya menuju puskesmas terdekat, sementara di belakang Sofia begitu takut melihat darah yang semakin banyak mengalir dan sang ibu yang semakin lemas dalam pelukannya.
*
"Harus dirujuk ke rumah sakit, puskesmas ini tidak bisa menangani." Sebuah ucapan yang Sofia dengar dari percakapan Bondan dan salah satu perawat puskesmas.
"Tapi kami ini orang miskin, Sust, kami tidak bisa membayar biaya rumah sakit." Suara Bondan terdengar memelas.
Sementara di atas brangkar Nur terus merintih kesakitan, tubuhnya sudah begitu lemah karena kehabisan banyak darah tetapi dorongan kontraksi terasa begitu kuat, seorang bidan yang ada di sampingnya menggelengkan kepala prihatin melihat keadaannya, Sofia tidak berhenti menitikkan air mata dengan doa yang ia selalu ucapkan dalam hati.
"Ibu harus kuat, Ibu harus bertahan demi Sofia dan adik bayi," bisik Sofia di telinga sang Ibu.
"Sofia, apapun yang terjadi kamu harus jaga adik kamu. Jangan pernah berpisah dengan dia, jadilah orang yang kuat untuk menjaga dirimu sendiri dan menjaga adikmu," ujar Nur dengan napas tersengal-sengal sebelum menarik napas panjang dan mengejan hingga tangis seorang bayi terdengar, bersamaan dengan ibu tangis Sofia juga pecah karena wanita yang ada dalam pelukannya terkulai lemas tidak berdaya.
"Ibu kamu kehabisan banyak darah, usianya juga sudah memasuki usia kehamilan beresiko tinggi. Telah terjadi pengapuran plasenta karena usia kehamilannya sudah melewati batas hari persalinan terlalu jauh, maaf, Ibu kamu tidak bisa disematkan." Perkataan seorang perawat yang terasa begitu menghancurkan hati Sofia, gadis itu luruh, mendekap tubuh lemas sang ibu yang sudah tidak bernyawa karena melahirkan adiknya.
"Ibu ... Ibu jangan tinggalin Sofia, jangan tinggalin Sofia, Bu." Suara raungan Sofia terdengar memenuhi ruangan bersalin Puskesmas itu.
Bondan yang mendengar dari luar bilik hanya diam tanpa ekspresi.