Di mana Adira?

1709 Words
Bab 3 "Bapak!" Sofia terjingkat bangun dari rebahannya duduk dengan kaki tertekuk dengan hati dipenuhi ketakutan. "Bapak mau ngapain?" tanya Sofia dengan nada membentak agar Bondan tahu dirinya tidak main-main dalam mempertahankan diri. "Enggak apa-apa, kaki Elu digigitin nyamuk!" jawab Bondan agak gelagapan lalu segera pergi dari kamar Sofia, jelas gadis itu tahu jika apa yang Bondan katakan hanya sebuah alasan saja. Pria itu mulai berani menggagahinya dan Sofia menyadari sebuah kesalahan yang telah ia lakukan, gadis itu segera turun dari ranjang dan menggapai pintu terlalu mengantuk membuat ia lupa mengunci pintu yang hanya terbuat dari kayu dan paku yang diputar ke kiri atau ke kanan untuk menguncinya. * Hari ini adalah hari pertama ujian kelulusan sekolah, tentu saja Sofia tidak bisa membolos hanya selangkah lagi dirinya bisa lulus dan mendapatkan ijasah yang setidaknya bisa ia gunakan untuk melamar pekerjaan meski hanya sebagai pegawai rendahan, seorang official girl atau cleaning servis tentunya tidak terlalu buruk. Sofia memanfaatkan tawaran bantuan Ibu ketua RT untuk membantu jika dirinya memerlukan bantuan, maka saat dia berangkat seolah sang adik ia titipkan di rumah Ibu baik hati itu. Hanya sampai dirinya lulus sekolah, nanti saat bekerja bagaimana menjaga Adira sama sekali belum ia pikirkan. Hanya berharap dirinya bisa mendapatkan pekerjaan yang baik hingga bisa membayar jasa pengasuh untuk adiknya itu. * "Sayang, doain Mbak, ya, agar setelah lulus sekolah, Mbak, bisa langsung dapat pekerjaan, biar bisa beli s**u buat kamu," ujar Sofia sambil menimang sang adik, bayi kecil itu tersenyum dan itu adalah sebuah hal yang membuat Sofia bahagia juga memiliki semangat yang kuat dalam menjalani kehidupan yang berat ini. Bondan membuktikan perkataannya, dia sama sekali tidak mempedulikan anaknya jangankan turut menjaga menyentuh saja tidak pernah, untuk membeli s**u formula Bondan sama sekali tidak pernah memberikan uang. Lelaki itu hanya sesekali memberi Sofia uang jajan itupun kalau dia ingat. Sudah hari ketiga Sofia menjalankan ujian sekolah, dia berharap malam ini Adira tidur nyenyak dan tidak rewel hingga dirinya bisa belajar. Sejak kejadian malam itu Sofia tidak pernah lupa mengunci pintu kamarnya hingga saat Bondan pulang lelaki itu tidak bisa masuk ke kamarnya. Rasa lelah dan mengantuk membuat Sofia tidur begitu nyenyak, sejak ada Adira tidur yang hanya sebentar-sebentar selalu terasa begitu nikmat bagi Sofia hingga ia tidak mendengar saat Bondan mencongkel pintu kamarnya dan memaksa masuk. Lelaki itu kembali menyentuh Sofia bahkan kali ini mengarah pada bagian sensitif tubuh, Sofia yang merasakan itu langsung terbangun dan spontan menendang Bondan hingga lelaki itu terhuyung ke belakang. "Bapak! Berhenti atau aku teriak!" ancam Sofia tetapi Bondan malah membekap mulut Sofia lalu duduk di tepi ranjangnya, gadis itu berontak tetapi percuma karena tenaga lelaki itu begitu kuat. "Lu dengerin gue dulu, diem. Awas Elu teriak gue buang adek Lu itu!" Ancam Bondan, Sofia mengangguk pelan. "Bagus!" Bondan melepaskan tangannya dari mulut dan belakang kepala Sofia. "Sofia, gue punya tawaran bagus buat Elu, dari pada hidup Elu susah mending Elu jadi bini gue. Elu 'kan, bukan anak kandung gue, jati enggak masalah kalo Elu jadi bini gue." Kedua mata Sofia membola mendengar tawaran Bondan. "Bapak gila, ya!" ujar Sofia setengah membentak, Bondan malah menampakkan seringai menyeramkan. "Iya, Sofia gue gila, gue tergila-gila sama Elu," jawab Bondan sambil mengelus pipi Sofia, dan gadis itu menepisnya. "Gue janji hidup Elu bakal enak kalo jadi bini gue, Elu enggak usah mikirin apa-apa, kehidupan Elu dan Adek Lu ini bakalan gue jamin." Kedua mata Sofia berbinar mendengar apa yang Bondan katakan. "Tapi Sofia pengen kuliah, Bapak bisa kuliahin Sofia sampe jadi sarjana?" Bondan tersenyum lebar, Sofia mulai luluh dengan rayuannya. "Tentu aja, selama ini duit gue banyak, tapi kagak gue kasih ke si Nur, males amat gue kasih ke dia. Tapi, kalo Elu 'kan, beda. Elu masih muda dan cantik, semuanya bakal gue kasih ke Elu asal Lu bisa kasih yang gue mau," jawab Bondan seraya berusaha mengelus pipi Sofia lagi dan kali ini gadis itu membiarkan. "Sediain pengasuh buat Adira kalau Sofia sekolah dan kuliah nanti," pinta Sofia sambil memegangi tangan Bondan agar sentuhannya tidak berpindah ke tempat lain. "Beres, besok siang gue cari pengasuh buat dia. Apa, sih, yang enggak buat kamu, Sayang," jawab Bondan, Sofia tersenyum miring mendengarnya. "Baik, kalo begitu Sofia mau," jawab Sofia datar, sontak membuat Bondan tertawa penuh kemenangan. "Anak pintar! Kalau begitu ayo mulai jadi bini gue!" Bondan bangun dan berusaha membuka ikat pinggangnya. "Enggak sekarang, Sofia lagi datang bulan, mungkin seminggu lagi. Sekarang Bapak harus sabar dulu," ujar Sofia, Bandan mendengkus kesal tetapi berusaha tersenyum. "Baik, kalau begitu pengasuh adek Elu juga seminggu lagi," jawab Bondan datar, lelaki itu keluar dari kamar Sofia sambil mengerlingkan sebelah matanya. Sofia segera turun dari ranjang lalu berusaha mengunci pintu, gadis itu mendengkus kesal karena kunci kamarnya rusak dan tidak bisa digunakan lagi lalu yang ia lakukan adalah menarik kursi di mana sebuah keranjang merah berisi pakaian Adira berada di atasnya, Sofia menggunakan kursi itu untuk menahan pintu agar tidak mudah terbuka. * Jam dinding kecil hadiah pembelian perlengkapan sekolah Sofia setahun lalu kini terpasang di dinding kamarnya, jam itu telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Sofia keluar dari kamar itu, berjalan dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Sofia mendekati pintu kamar Bondan dan mengintip dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, lelaki itu tampak tidur terlelap dengan tubuh terlentang. Suara dengkurannya bahkan terdengar sampai keluar, Sofia segera berjalan cepat walau dengan kaki yang masih berjinjit. Gadis itu kembali ke kamarnya menggendong sang adik menggunakan kain jarik lalu mengenakan tas punggung berisi buku-buku dan pakaian sekolahnya lalu menjinjing sebuah tas besar berisi pakaiannya dan pakaian sang adik. Gadis itu pergi dari rumah itu secara diam-diam, tidak ingin ada seorang pun yang tahu ke mana dirinya pergi. Sofia sama sekali tidak merasa takut akan gelapnya malam, karena dia tahu bahaya yang sesungguhnya ada di dalam rumahnya sendiri. Sofia sengaja mengatakan jika ia setuju dengan ide gila Bondan agar lelaki itu percaya padanya, karena Sofia tahu melawan Bondan dengan kekerasan tidak akan membuatnya menang dan terbebas, yang ada Bondan juga akan menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Sesekali Sofia menatap wajah sang adik memastikan jika dia tertidur dengan nyaman, gadis itu mengerahkan semua kekuatannya untuk membawa beban berat yang ia bawa dan berjalan menyusuri jalanan dengan cepat dan hati-hati ia tidak ingin saat lagi menjelang dirinya masih di daerah itu karena akan membuatnya terlihat oleh seseorang yang mengenalnya. Saat ini ada sebuah tempat yang ia tuju, meski dirinya tidak tahu apakah di tempat itu dia akan di terima atau tidak. Sofia tidak menaiki bisa kendaraan karena angkot jelas belum beroperasi pada jam itu, hanya ada taksi yang pastinya ongkosnya tidak murah bisa untuk membeli dua kardus kecil s**u formula terang saja Sofia lebih memilih menggunakan uang untuk membeli s**u. Sofia terus berjalan, hanya sesekali berhenti untuk beristirahat dan memberikan adiknya s**u yang tadi ia buat sebelum pergi dari rumah Bondan. Dalam kelelahan yang begitu sangat Sofia tersenyum melihat sebuah rumah petak yang begitu ia kenali, rumah kakak kandung Supri. Mendiang ayahnya, Bondan tidak pernah tahu rumah itu lelaki itu bahkan tidak mengenal satu pun keluarga Supri hingga Sofia yakin ini adalah tempat yang aman untuk bersembunyi. Sofia hanya berdoa, berharap agar saudara ayahnya itu mau berbaik hati menampung mereka. * "Sopia, ngapain Lu pagi-pagi buta ke sini? Ini anak siapa? Lu bunting di luar nikah, ya?" Itu adalah serentetan kata yang Sofia dengar sebagai sambutan saat pintu yang ia ketuk dibuka oleh seorang wanita bertubuh gempal dengan rambut dan daster acak-acakan karena baru bangun dari tidurnya. "Sofia boleh masuk, Wak? Sofia capek banget," ucap Sofia dengan napas yang ia rasa sudah hampir habis, wanita yang ditanya malah melongok keluar menoleh kanan kiri melihat keadaan sekeliling, mungkin penasaran dengan siapa dan menggunakan kendaraan apa Sofia datang. "Masuk, dah!" Akhirnya kata yang sedari tadi Sofi tunggu terdengar juga, Sofia langsung masuk membawa tasnya lalu di ruang tamu rumah kecil itu, ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah milik Bondan yang selama ini ia tempati. Di atas karpet plastik bermotif papan catur Sofia duduk meluruskan kaki yang terasa sangat lelah setelah berjalan lebih dari sepuluh kilo meter dengan waktu lebih dari dua jam. "Tunggu dah, Uwak ambilin minum," ujar wanita yang jauh lebih tua dari mendiang ibunda Sofia itu sambil berlalu meninggalkan Sofia dan Adira yang tidak tertidur, bayi itu menggerakkan tangannya yang terbebas dari bedongan sesekali melenguh lucu membuat Sofia tersenyum. "Ini, Elu minum dulu, kayaknya capek banget. Elu ke sini naik apa?" tanya yang kembali Sofia dengar tetapi sedari tadi belum ada yang dijawabnya. "Wak, Sofia minta tolong ...." Dengan berderai air mata Sofia mulai menceritakan kisah pilu yang baru saja menimpa hidupnya. "Apa? Lu minta gue jagain ntu bocah?" Sofia memelas, ia menatap wajah Wak Iyet, begitulah Sofia biasa memanggilnya. "Lu liat sendiri, Pi. Anak gue aja banyak gini, masa gue harus jagain anak orang, mending kalo gue dapet duit!" ujar wanita yang masih memilik dia anak kecil dan dua anak yang sudah remaja seusia Sofia, tetapi ucapan yang keluar dari mulut wanita itu membuat dirinya tersenyum seolah mengingat sesuatu. "Tolong, Wak, sampe Sofia selesai ujian aja, setelah Sofia lulus dan bisa kerja Sofia pergi dari sini," pinta Sofia, saudara-saudara sepupunya yang sudah bangun hanya meliriknya dengan sinis. "Iya, deh, gue tolongin Elu, tapi setelah pulang sekolah Elu langsung cari kerjaan, terus pulang ke rumah Elu kerjain semua kerjaan rumah, 'kan, gue udah capek jagain adek Lu!" Sofia mengangguk setuju. Hingga ujian sekolah Sofia telah usai ia dan sang adik masih menumpang di rumah Wak Iyet yang berbaik hati menerima mereka, beberapa kali jantung Sofia hampir meledak di sekolah saat melihat Bondan berkeliaran di sana, ia yakin jika lelaki itu tengah mencari-cari dirinya tetapi Sofia selalu berhasil bersembunyi. Seperti yang Wak Iyet perintahkan Sofia sibuk mencari pekerjaan, dari toko ke toko Sofia berharap ada yang berbaik hati mempekerjakan dirinya yang bahkan belum lulus sekolah tetapi tentu saja hal itu tidak mudah. Sore itu Sofia pulang ke rumah Wak Iyet karena entah mengapa ia begitu merasa merindukan sang adik. "Wak, Adira mana?" tanya Sofia saat mendapati kakak kandung ayahnya itu tengah santai menonton televisi tanpa ada Adira di dekatnya. "Itu, dia ... hem ...." Iyet terlihat gelagapan menjawab pertanyaan Sofia, gadis itu segera memeriksa semua ruangan di rumah itu, rumah kecil yang sebenarnya semua bisa disusuri dengan pandangan mata saja. Adira tidak ada. "Wak, adik aku di mana?"

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD