“Aku permisi dulu.” Winter segera beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan keramaian, gadis itu memilih pergi ke toilet dengan tenang.
Percakapan yang sepenuhnya menjilat dan saling menusuk di belakang cukup membuat Winter malas mendengarnya. Teman-teman Paula tidak ada beda jauhnya dengan Paula sendiri, mereka hanya bermain cantik untuk bisa saling menguntungkan dan bersenang-senang.
Sisanya, mereka akan saling menusuk dan menjatuhkan.
Suasana di meja makan terlalu menjijikan untuk Winter, Winter jijik dengan sikap tidak tahu malu Paula yang haus pujian dan bersikap seperti konglomerat.
Mau berbohong atau tidaknya Paula bukan urusan Winter.
Yang menjadi urusan Winter adalah semua kebohongan yang Paula ciptakan memakai semua hal yang Winter miliki.
Winter tidak akan meminum dan memakan apapun ketika Paula ada di sekitarnya bersama dengan teman-temannya. Dia sudah membaca salah satu diarie pemilik tubuh Winter yang asli sewaktu masih sekolah menengah.
Paula mengajaknya pergi ke pesta temannya dan memperkenalkan Winter kepada mereka. Paula sempat marah karena Winter tidak banyak makan karena malu.
Usai bertengkar, mereka kembali ke pesta, Winter hanya meminum minuman yang di berikan Paula sebagai permintaan maaf, namun mendadak perutnya sakit hingga dia buang air besar di depan semua orang karena tiba-tiba sembelit begitu parah.
Semua orang mengolok-oloknya hingga membuat Winter mengurung diri lebih dari satu bulan karena menjadi bahan ejekan semua orang.
Winter yang polos menceritakan itu di dalam buku diarienya dengan penuh kesedihan dan menyalahkan dirinya sendiri yang selalu membawa aib dan rasa malu bagi semua orang.
Winter tidak pernah berpikir, mungkin saja Paula yang berada di balik tragedy itu.
Mungkin saja, hal itu bisa Paula lakukan kembali kepada Winter yang sekarang. Segala sesuatu kejahatan yang mungkin bisa terjadi harus Winter atasi karena Paula tidak akan pernah berhenti untuk berusaha mempermalukan Winter.
Apa yang Paula inginkan tidak akan pernah terjadi karena hari ini giliran Winter yang mempermalukannya.
Paula tidak tahu saja jika semua kartu Winter sudah di ganti dan perbaharui pinnya satu hari setelah Winter kecolongan membelanjakan Paula banyak barang.
Perhatian Winter tertuju kepada dua orang wanita dewasa yang berpakain glamour menyusul masuk ke dalam toilet untuk berdandan.
Ini kesempatan untuk Winter.
Dengan tenang Winter memasuki bilik toilet dan duduk, suara percakapan dua wanita yang di luar terdengar sampai akhirnya mereka juga memasuki bilik toilet.
Winter segera keluar dari bilik toilet, dia melihat tas yang di tergeletak di sana. Pandangan Winter mengedar melihat penjuru ruangan yang tidak memiliki cctv.
Tanpa keraguan Winter membuka salah satu tas mewah itu dan mengambil dompet yang ada di dalamnya. Winter kembali memasuki toilet sebelum wanita yang ada di toilet keluar.
Cukup lama dia diam di toilet hingga suasana sepi senyap terasa.
Winter memutuskan keluar dari bilik toilet itu, namun dia harus menahan langkahnya karena kini Paula sudah berdiri menunggu kedatangannya.
Paula bersedekap dengan ekspresi dinginnya. “Kenapa lama?.”
Aura kuat Paula yang jahat bisa Winter rasakan, namun tidak ada setitikpun sebuah rasa takut di hatinya. Apa yang Paula lakukan tidak lebih dari seorang pecundang yang tengah berusaha terlihat kuat untuk menyembunyikan semua kekurangan di dalam dirinya.
Winter tertunduk tidak mau menatap mata Paula, dia tidak boleh menatap Paula karena tidak ada ketakutan di mata Winter. Jika Winter tidak dapat menunjukan ketakutannya, Maka Paula akan curiga.
Dalam beberapa langkah Paula mendekat dan berdiri di hadapan Winter. Paula meraih wajah Winter dan mencengkramnya dengan kuat, lalu mengangkatnya, melihat mata Winter yang tetap melihat ke bawah.
“Ada apa denganmu Winter?.” Tanya Paula terdengar seperti bisikan.
“Apa maksudmu?.”
Paula melepaskan cengkramannya dengan jijik dari wajah Winter. “Jangan membohongiku lagi, aku tahu kau sudah berubah.”
Perlahan Winter mengangkat pandangannya dan membalas tatapan Paula. “Kenapa kau menuduhku?.”
“Kau tidak memesan makanan, dan kau tidak meminum minumanmu. Itu sudah cukup membuktikan kau berubah dan pembangkang.” Tuduh Paula dengan tajam seakan hal-hal sekecil itupun Winter harus melakukannya di bawah perintah Paula.
“Apakah pantas kau marah hanya karena hal sepele seperti itu?.” Bisik Winter samar, dia tidak melupakan tugasnya untuk tetap berpura-pura takut seperti Winter yang asli.
Rahang Paula mengeras, dia tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana Winter. Jika dia semakin banyak marah kepada Winter, nanti akan memunculkan keributan.
“Mana kartumu?.” Tangan Paula terbuka di hadapan Winter meminta kartu Winter untuk membayar makanan yang dia pesan.
Winter masih mematung dan bernapas dengan kasar, hatinya terasa cukup panas karena marah melihat bagaimana tidak tahu malunya Paula. Keterdiaman Winter sengaja dia lakukan agar sedikit terlibat perdebatan lagi.
Apa yang Winter inginkan ternyata terjadi.
Paula merebut tas Winter seperti pencuri.
“Jangan Paula.” Tolak Winter menarik tasnya dan memeluknya.
“Jangan katamu?. Kau sudah setuju untuk membantuku.” Paula menarik lebih keras tas Winter.
“Tapi kau sudah berbuat kasar padaku.”
“Kenapa sekarang kau protes?. Aku selalu memperlakukanmu seperti ini. Berikan tasmu padaku Winter, sahabat macam apa kau ini?. Kau ingin pertemanan kita berakhir hanya karena ini?.”
“Biar aku yang mengambilnya sendiri Paula.”
“Tidak, aku tidak bisa lagi percaya dengan pembohong sepertimu.”
Paula dan Winter terus saling menarik tas dan memperbutkannya, di tengah keributan kecil itu Winter mengeluarkan dompet yang di curinya dan memasukannya ke dalam tas yang di gendong Paula.
Karena kesal dengan penolakan Winter, Paula semakin keras menarik tas Winter hingga tas itu jatuh terlempar ke lantai dan berserakan.
“Lihat Winter, karena kebodohanmu yang tidak mengikuti apa kataku, kau kembali mendapatkan kesialan.” Tunjuk Paula pada barang-barang Winter yang kini berserakan di lantai.
“Hikss..” Winter mulai menangis.
Dengan kesal Paula membungkuk dan memungut satu persatu barang-barang Winter. Paula kembali berdiri dan membuka dompet Winter, melihat isinya yang kini sudah berbeda dan tidak seperti biasanya.
Dompet itu hanya berisi beberapa lembar uang dan dua blackcard. Paula mengambil salah satunya blackcard dan mengembalikan tas Winter seperti sebuah lemparan. Paula tidak perlu bertanya apapu karena dia tahu semua sandi keuangan Winter.
Dengan tenang Paula memasukan blackcard itu ke dalam saku jaket sekolahnya. Paula bersedekap di hadapan Winter, melihat Winter yang tertunduk menangis ketakutan.
“Sebaiknya kau pulang jika tidak nyaman. Aku akan mengembalikan kartumu besok.” Ucap Paula dengan senyuman lebarnya.
Winter mengangguk dan mengusap air matanya, “Terima kasih Paula.”
Tanpa berbicara lagi, Paula segera pergi mengacuhkan Winter dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi karena kini sumber uang Winter ada di tangannya. Paula akan menggunakannya sepuasnya.
Winter kembali menghapus air matanya usai kepergian Paula, gadis itu tersenyum miring menatap dirinya sendiri di cermin.
Dengan langkah lebar Winter segera pergi keluar dari restaurant tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada teman-teman Paula yang sejak tadi tidak mempedulikan keberadaannya.
Winter mematikan handponenya agar tidak bisa di hubungi siapapun.
Dengan langkah lebar Winter semakin pergi jauh keluar dari bangunan restaurant.
***
“Kemana Winter?. Bukankah dia ke toilet?. Ini sudah lama.” kata salah satu teman Paula yang menyadari ketidak hadiran Winter.
“Kita harus memeriksanya.”
Paula segera duduk di kursinya, gadis itu tersenyum lebar terlihat tenang dan sama sekali tidak peduli dengan keadaan Winter sekarang. “Dia sakit, aku baru saja mengantarnya keluar. Jangan terlalu memikirkannya.”
“Benarkah?. Pantas saja dia hanya memesan minuman.”
“Kau teman yang sangat baik untuk Winter. Dia sangat beruntung memilikimu, tidak ada yang mau tetap di sisinya setelah banyak kasus memalukan yang selalu menyangkutnya.”
Paula kembali tersenyum lebar, inilah yang dia inginkan. Tidak hanya membuat Winter berpikir bahwa dia beruntung memiliki teman Paula. Paula juga ingin semua orang berpikiran sama. Mereka harus menganggap Winter beruntung karena Paula masih mau berteman dengannya.
“Aku juga beruntung memiliki teman seperti dia meski terkadang merepotkan.” Jawab Paula menggantung.
“Apa maksudmu?.” Tanya teman Paula tampak penasaran.
Paula melirik gelas yang di pesan Winter masih utuh.
Sangat di sayangkan, dia sudah memberikan beberapa ratus dollar kepada Waiter untuk memberikan obat pencahar di juss itu, namun Winter tidak meminumnya.
“Dia selalu mengadu kepada ayahnya jika aku mengabaikannya sedikit saja. Dia membuatku merasa tidak memiliki waktu karena terus mengikutiku, aku tidak bisa menolaknya karena ayahnya sangat berkuasa. Namun, walaupun begitu aku merasa senang berteman dengannya.”
“Astaga, dia tidak tahu malu sekali.”
Paula menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan seringai jahat penuh kepuasan di bibirnya karena kini teman-teman Paula terus membicarakan hal-hal buruk tentang Winter.
Tidak berapa lama seorang Waiters datang karena panggilan Paula. Dengan kepala sedikit terangkat Paula membuka dompetnya dan menunjukan deretan kartu berharganya di hadapan semua orang.
Paula memberikan kartu Winter untuk membayar semua makanan yang dia pesan. Keangkuhan dan rasa percaya diri Paula memadam ketika waiters itu berkata.
“Maaf nona, transaksi Anda di tolak.”
“Coba sekali lagi.” Pinta Paula yang tampak tenang terlihat tidak menyadari akan sesuatu. Paula kembali memasukan beberapa pin yang selalu dia gunakan.
“Di tolak. Anda bisa menggunakan kartu lain?. Atau mau saya telepon pihak bank?”
Paula terdiam, gadis itu terpaku mulai merasa panik karena kartu pribadinya tidaklah memiliki saldo yang besar. “Beri aku waktu beberapa menit.”
“Baik.”
“Paula, apa yangt terjadi?. Semuanya baik-baik saja kan?.” Tanya teman Paula yang mulai kebingungan juga.
Paula mempertahankan senyumannya meski dia semakin di buat panik melihat bill tagihan restaurant yang bertotal lebih dari seribu dollar karena memesan menu makanan terbaik restaurant.
Paula tidak mungkin bisa menelpon pihak bank karena kartu itu bukan miliknya. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Winter?.
Teman-teman Paula yang semula tampak senang bahagia mulai saling berbisik ikut khawatir. Paula melihat ke belakang, melihat waiters barusan tengah berbicara dengan manajer restaurant.
Jika transaksi terus di tolak, Paula benar-benar akan malu dan kehilang muka di hadapan semua orang, terutama teman-temannya.
Dalam satu tarikan napas panjangnya Paula memberanikan untuk berdiri dan segera menemui menajer juga waiters itu. Mau tidak mau Paula harus mengeluarkan tabungan pribadinya yang selama ini dia sembunyikan.
Paula membuka tas di dalam gendongannya hendak mengambil kartu yang dia sembunyikan. Namun ketika Paula hendak mengambil kartunya, tangannya menangkap sebuah dompet dan mengeluarkannya.
Gadis itu terdiam kebingungan karena itu bukanlah dompetnya. Dengan bingung Paula membuka dompet itu dan melihat deretan kartu juga lembaran uang yang begitu tebal.
Paula tersenyum tanpa sadar karena ada uang yang bisa dia pakai tidak peduli itu milik siapa, Paula mengambil uang-uang itu dari dompet. Tiba-tiba senyuman yang sempat terlukis di bibir Paula langsung hilang ketika di menit selanjutnya sebuah tangan merebut dompet itu dan membuat beberapa lembar uang yang sempat Paula ambil terjatuh ke lantai.
“Dasar pencuri!” maki seorang wanita cantik berbicara bahasa Rusia, wanita itu menatap tajam Paula penuh kemarahan.
Paula mamatung tidak mengerti bahasa wanita itu. Bibir Paula menekan dengan wajah pucat pasi tersadar jika wanita yang berbicara bahasa asing itu adalah si pemilik dompet.
“Panggil polisi, aku benar-benar sangat kecewa dan merasa tidak aman disini.”
***
Tubuh Paula gemetar hebat dengan wajah pucat pasi penuh sangat tertekan karena di cecar banyak pertanyaan polisi. Paula tidak bisa berkata apapun karena dia sendiri bingung siapa yang sudah membuat dompet itu berada di dalam tasnya.
Paula tidak bisa membela diri karena melalui cctv terekam jelas jika Paula mengambil uang dari dompet itu untuk membayar makanan.
Rasa malu dan takut bercampur satu mengusai hati dan kepalanya. Paula sangat takut di tahan atas pencurian, di sisi lain dia juga malu karena teman-temannya melihatnya, bahkan Paula langsung di blacklist dari restaurant.
Wanita Rusia itu tampak harus berbicara banyak dengan perwakilannya lalu memutuskan untuk mencabut tuntutannya karena Paula masih anak sekolah, namun tuntutan itu akan di cabut dengan syarat bahwa Paula harus membayar ganti rugi karena sudah membuat pertemuan penting wanita Rusia itu batal karena harus mencari dompetnya terlebih dahulu.
Rahang Paula mengeras menyembunyikan setumpuk kemarahan kepada Winter. Seharusnya Winter di yang di permalukan dan mendapat masalah, bukan dirinya.
Setelah lebih dari delapan jam Paula tertahan di kantor polisi, akhirnya dia bisa keluar usai membayar ganti rugi dan membayar uang yang cukup besar kepada pihak restaurant karena sudah membuat kegaduhan.
Lana, ibu Paula terlihat sangat marah dan malu. Tidak hanya kehilangan banyak uang, namun Paula juga sudah membuat catatan yang buruk dalam hidupnya.
Siapa yang sudah berani-beraninya menjebak dirinya?. Paula benar-benar penasaran dengan orang itu.
To Be Continue..