Laksana seorang ayah yang selalu mengkhawatirkan putranya, Mahesa berjalan dengan panuh gelisahan mencari keberadaan Zein Zulkarnain. Tapi dia selalu melupakan bahwa dirinya sendiri yang mengganti nama putra mahota tersebut, hingga ia bertemu dengan Merik, mereka berdua saling bertabrakan ketika Merik baru saja keluar dari kamar Zein untuk mengobati salah satu muridnya tersebut.
“Ah, maaf., sungguh saya tidak sengaja menabrak tuan.” Mahesa segera memintak maaf. Merik mengangguk, tapi sepertinya dia pernah bertemu dengan pria tersebut di suatu tempat, tapi entah kapan dan dimana sepertinya telah melupakannya.
“Tuan, apakah tuan tahu dimana putra saya? Dia salah satu murid perguruan ini, saya dengan dia terluka. Namanya Satria Dirgantara Mahardika, saya sangat mengkhawatirkannya,” tanyanya.
“Satria? Kebetulan aku baru saja dari kamarnya. Tenang, dia tidak apa-apa, hanya memang lukanya cukup dalam. Saya adalah Merik Netsu Kira, salah satu gurunya. Anda siapa?” balas Merik ramah.
“Mahesa jenar, itu nama saya,” jawab Mahesa.
“Apakah anda adalah bupati Pemis?” tanya Merik memastikan.
“Iya, benar. Saya menggantikan al marhum ayah saya,” balas Mahesa. Merik tertawa, ia bukan bermaksud menertawakan pria itu. Tapi kenapa dirinya bisa lupa bupati protektive pada anak angkatnya tersebut, dia sudah tahu kalau Satria bukan anak kandung Mahesa apalagi sikap pria itu seperti seorang pelayan pada majikannya, jelas menunjukkan hubungan mereka bukan ikatan darah.
“Apakah ada yang lucu?” Mahesa merasa heran karena tiba-tiba saja pria tersebut tertawa.
“Bukan, saya hampir saja lupa pada anda. Tapi, sepertinya Satria itu bukan putra angkat anda, karena anda memperlakukannya seperti seorang majikan. Kalau anda tidak keberatan, saya sangat ingin mendengar kisah singkat Satria,” jelas Merik.
“Maaf, saya sangat mengkhawatirkan putra saya. Jadi, saya bertemu dengannya dulu, lain kali kalau memang waktunya tepat, mungkin saya bisa cerita pada anda.” Mahesa segera pergi meninggalkan Merik, ia tidak ingin mendengarkan atau pun menceritakan apapun tentang Zein Zulkarnain pada siapapun, itu hanya akan menjadi ancaman untuk majikannya tersebut.
Merik sangat dongkol melihat sikap Mahesa, ia pun tersenyum jahil. Tapi ketika hendak melihat kejahilannya, telinganya ditarik oleh seorang wanita cantik.
“Tuan, Merik Netsu Kira. Sebaiknya anda tidak meneruskan niat jahil anda pada tamu perguruan ini, pimpinan menyuruh semua kepala devisi untuk berkumpul.”
Dengan sangat berat hati pria itu akhirnya menurut pada gadis tersebut, lain kali saja dirinya membuat perhitungan sekaligus mengerjai Mahesa Jenar.
**
Ka Lenan sangat marah pada perdana mentri dan putranya tersebut, mereka berdua tidak mendengarkan peringatannya untuk tidak membuat keributan di perguruan rajawali. Tapi malah memancing pimpinan perguruan tersebut untuk turun tangan sendiri.
“Ayah, aku tidak tahu kalau tua bangka itu adalah pimpinan perguruan rajawali. Dia sangat kuat, aku bahkan belum bisa mengalahkannya.” Ku Bangan mengadu pada ayahnya. Raja Xioxing itu marah sekaligus prihatin melihat nasib putranya, lihatlah sekarang anaknya itu seperti mumi karena seluruh tubuhnya diperban.
“Tentu saja kau tidak akan mampu mengalahkannya, Genzo itu adalah salah satu teman perguruan ayah. Sekalipun usianya lebih muda dariku, tapi ilmu bela dirinya sudah mencapai level tertinggi dalam usia masih muda. Sedangkan Avei itu bukan manusia biasa, dia itu mantan raja Jin. Ayah dengar, dia bertaubat dan memutuskan untuk menjdi Jin yang baik dan bergaul dengan manusia karena seorang boca. Apakah kau tahu siapa bocah kecil itu?” jelas Ka Lenan.
“Tidak, ayah. Aku hanya tahu kalau pria itu masih terlihat berusia 30 tahun, tapi kekuatannya sangat fantastis ayah,” jawab Ku Bangan.
“Benar, Yang Mulia. Dia memiliki ilmu aneh, seperti kelopak bunga sakura berterbangan lalu ketika dia bersyair, kelopak itu mengikuti irama syair itu lalu menyerang manusia.” Tong Sam Pah, ikut menyahuti ucapan rajanya.
“Bodoh! Itu adalah ilusi setan. Itu bukan bunga asli, itu hanya ilusi saja, ketika melihat kelopak bunga itu, sebaikya segera pergi. Kalau tidak, mungkin tubuh kalian bisa remuk.” Ka Lenan menata udara kosong, dia masih ingat pengalamannya bertarung dengan raja Jin tersebut. Dirinya hampir saja tidak bisa kembali kedunia manusia karena ilusi tersebut.
“Ayah, apakah ayah pernah bertarung melawan Avei?” tanya Ku Bangan penasaran.
“Lainkali saja ayah jelaskan, sekarang kamu istirahat saja. Ayah akan membuat perhitungan dengan Genzo, sekalipun dia memiliki kekuatan tinggi, tapi kau adalah putraku. Tidak seorang pun boleh menyentuhmu, mengenai Zein Zulkarnian. Apakah kalian sudah dapat kabar terbaru? Benarkah kalau Satria itu Zein?” tanya Ka Lenan.
“Tua bangka itu tidak mau jujur, ayah. Dia bilang di perguruan rajawali tidak ada yang bernama Zein Zulkarnain,” jawab Ku Bangan kesal.
“Jangan sampai mereka nanti menjadi sekutu Zein untuk memberontak kita. Aku akan kesana segera, Tong Sampah, kamu siapkan pasukan. Kita akan menyerang perguruan tersebut.” Ka Lenan memberi perintah pada pendana mentrinya.
“Baik, Yang Mulia.” Perdana mentri tersebut segera meninggalkan junjungannya dan untuk menjalankan perintah.
**
Sudah sejak kecil antara Zein dan Mahesa selalu saja seperti tikus dan kucing, meributkan hal yang tidak penting seperti sekarang ini misalnya,”Pangeran Zein, aku sungguh mengkhawatirkanmu. Tapi sepertinya kau tidak mengharapkan kehadiranku.” Mahesa hendak menyentuk kaki junjungannya tersebut.
“Singkirkan tanganmu! Aku sama sekali tidak tertarik bertemu denganmu!” Zein mendelik galak ketika mantan pengawalnya tersebut hendak menyentuh kakinya.
“Pangeran, Zein. Aku hanya ingin memijiti kakimu, kau sedang sakit. Biar aku pijiti.” Mahesa kembali membela diri.
“Sekali sentuh, ku potong tanganmu!” Zein Zulkarnain masih sempat mengancam mantan pengawal pribadinya tersebut sekalipun sudah tahu kalau sekarang pria itu sudah menjadi bupati.
“Satria…”
Yuda membuka pintu kamar Zein, di tangannya terdapat sebuah nampan berisi makanan,”Satria, aku membawakan makanan untukmu.” Ia terkejut ketika melihat bupati Pemis duduk manis di samping ranjang sahabatnya dengan wajah cemberut.
“Tuan bupati, salam tuan bupati.” Yuda memberi salam pada sang bupati.
Mahesa tersenyum ramah,”salam, Pangeran. Anda sungguh sangat berbaik hati membawakan makanan untuk putra saya.”
“Oh, jadi Satria ini seorang tuan muda kerajaan Pemis? Aku pikir dia orang Bintang Tenggara,” balas Yuda.
“Sudahlah, Yuda. Untuk apa kau mengurungi pengecut itu,” sergah Zein, ia masih ingat ketika Mahesa membawa dirinya lari meninggalkan ayahnya hingga sang ayah meninggal.
“Ayolah, pengeran Zein. Aku ini hanya ingin menyelamatkanmu, bagaimana pun juga aku ini adalah pengawal pribadimu, Yang Mulia Pengeran Zein Zulkarnain.” Mahesa berusaha menjelaskan pada junjungannya tersebut.
“Jadi, kamu benar-benar pangeran Zein Zulkarnain? Kau adalah putra Bintang Tenggara putra dari raja Ilyasa? Aku bahkan sangat ingin bertemu denganmu. Ayahku dulu sering menceritakan tentang keluargamu, karena itu. Apapun yang terjadi aku pasti akan selalu mendukungmu.” Dengan penuh senngat 45 pangeran Kayumas itu mengumumkan keputusannya. Zein dan Mahesa memandangya aneh.