Aku membuka mata dan menatap sekelilingku. Ada kebingungan ketika menatap kamar yang asing ini. Kamar luas bernuansa putih dengan langit-langit yang tinggi dan ornament-ornamen kayu di seluruh pintu dan dinding. Semua ornamen-ornamen itu tampak sangat artistic. Sepertinya dikerjakan oleh seniman-seniman professional dan terlihat eksklusif juga mahal.
“ Di mana aku? Apakah ini penjara Bhutan?”
Aku mengeleng-gelengkan kepalaku binggung. Mana ada penjara sebagus istana di belahan dunia ini. Kalau ada pasti semua orang berlomba-lomba berbuat kejahatan agar bisa masuk penjara sebagus ini. Kamar ini benar-benar kamar yang berkelas. Dari perabotnya, ornament-ornament di interiornya semua adalah barang-barang bermutu. Aku meraba sprei putih bersih yang aku tiduri. Tanganku yang terlatih meraba semua jenis kain segera tahu, kalau kain spreinya ini adalah 100 % catton. Aku lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang besar yang terbuat dari kayu jati kualitas nomor satu. Pelan-pelan aku menginjakkan kakiku ke lantai marmer mengkilat lalu mencoba berdiri.
Auuuuuuhhhhhhh!!. Perutku rasanya sakit sekali. Bagian bawah perutku, terasa seperti ditusuk-tusuk dan nyeri sekali. Aku terduduk kembali.
Apa yang terjadi? Mengapa perutku bisa terasa sakit seperti ini? Aku tidak lagi mens. Apa petugas imigrasi itu melakukan sesuatu padaku?” Apa mereka mengoperasiku? Mengambil ginjalku atau hatiku?” Aku teringat dengan majalah yang pernah aku baca tentang banyaknya perdagangan illegal organ tubuh manusia di India. Bhutan kan juga berbatasan dengan India. Apakah aku sudah menjadi salah satu korbannya? Bagian tubuh apa yang di ambil mereka ? Aku membuka bajuku yang tampaknya juga sudah diganti. Melihat ke perutku, Tidak ada plaster besar di sana seperti saat saya dulu di operasi usus buntu. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda aku di operasi. Aku menghela nafas lega. Lalu mengapa perutku sakit sekali? Aku kembali berbaring untuk menenangkan diri sambil mencoba untuk berpikir. Apa aku telah diracuni? Ahh.. Tak mungkin? Kalau aku diracun pasti aku sudah tidak sadar sekarang dan mungkin sudah ada di peti mati. Aku memejamkan mata lagi dan mencoba diam saja sambil tetap berpikir keras. Aku harus diam dulu, karena semakin aku bergerak, semakin perutku terasa sakit. Otakku yang harus bergerak untuk berpikir. Aku mencoba mengingat kembali kejadian di bandara. Aku ingat aku di bawa ke ruang interogasi kecil yang dingin. Lalu ada petugas imigrasi atletis nan tampan yang menginterogasiku dengan mata dinginnya dan suara penuh amarah. Aku ingat tentang perkataan yang dikatakan petugas interogasi itu kalau aku berbohong dan aku akan dimasuk kan ke dalam penjara. Petugas itu menuduhku masuk ke negara Bhutan untuk berbisnis rokok. Kotak-kotak rokok yang ada di koper Rimowa Aldi sudah melewati batas yang boleh di bawa oleh seorang turis.
Bhutan menerapkan larangan keras untuk tidak merokok atau membawa rokok apabila seseorang sedang berkunjung di negara ini. Apabila melanggar maka akan dikenakan denda US $ 5000 atau dihukum dengan hukuman penjara selama enam bulan. Dan yang paling parah aku dituduh masuk ke Bhutan dengan menggunakan VISA PALSU. Ini bisa mengakibatkan aku dihukum penjara selama satu tahun baru kemudian di deportasi kembali ke Indonesia. Hatiku terasa panas dan sakit, nyeri menghantam ulu hatiku bagaikan godam bertalu-talu. Bagaimana aku bisa begitu bodoh? Begitu percaya kepada Aldi dan membuatnya berhasil menjebakku di sini dengan rencana jahatnya. Aku yakin , Aldi dengan otaknya yang memang encer sudah mengatur semua jebakan ini. Kalau bukan Aldi siapa lagi yang bisa memasukkan rokok-rokok itu ke koper miliknya? Aldi lah yang pergi mengurus visa dan segala keperluan kami di sini. Karena dia tahu kalau visa di pasporku palsu, maka Aldi pasti pura-pura sakit perut. Lalu pasti dia lari ke transfer area dan dengan connecting flight langsung terbang ke Calcutta India.
Aldi !! Kamu benar-benar lelaki berwajah domba tapi berhati serigala. Sampai hati kamu melakukan hal kejam ini padaku. Padahal aku sangat mempercayaimu, mencintaimu dan menyayangimu. Apa salahku padamu?
Kalau memang kamu ingin jabatan di perusahaanku, mengapa kamu tidak sabar menunggu beberapa tahun lagi? Aku memang berencana kalau aku hamil, aku akan mengundurkan diri dan menyerahkan semua urusan perusahaan padamu. Mengapa kamu tega menjebakku seperti ini ? Sekarang kepada siapa aku harus minta tolong?
Aldi pasti menyusun banyak scenario alasan-alasan pada kolega dan orang-orang yang mengenalku di Jakarta. Pasti Aldi sudah menyiapkan alasan logis apabila ada yang bertanya kepadanya mengapa aku bisa menghilang. Lagi pula pasti paman dan bibi ku di Jakarta tidak ada lagi yang peduli padaku. Sejak kematian papa dan mama, aku memang hanya hidup untuk memajukan pabrik tekstil kami. Demi harta, demi jabatan dan demi kekuasaanku. Aku tidak pernah keep in touch dengan saudara-saudaraku lainnya. Sejak kematian orangtuaku, aku tidak pernah lagi mengunjungi semua saudaraku waktu imlek atau sekedar bertelepon menanyakan kabar, juga tidak pernah aku lakukan. Mataku berair dan air mata mengalir keluar dari sudut mataku, aku menangis menyesali keegosisanku selama ini. Sekarang aku tinggal sendirian di sini, tanpa mengenal siapapun. Aku sendiri di negeri asing yang bahkan tulisannya saja tidak bisa aku baca. Bagaimana aku bisa berkomunikasi? Air mata penyesalan semakin deras jatuh ke pipiku. Aku segera menghapusnya. Pantang bagiku untuk menangis karena hal seperti ini. Aku sadar ini akibat perbuatannku yang terlalu sombong dan terlalu mementingkan diriku sendiri. Sehingga di usiaku yang hampir empat puluh tahun ini, aku terpuruk sendiri mengalami masalah yang besar ini tanpa ada yang tahu dan tanpa ada yang peduli di mana aku berada. Aku tidak punya teman, tidak punya sahabat yang akan mencariku. Aldi benar-benar aktor merangkap sutradara yang sangat hebat. Aku harus mengangkat topi dan mengacungkan dua jempol untuk semua rencananya yang berhasil membuat aku menjadi tahanan di negara asing seperti sekarang ini.
“ Aldi, sekarang kamu menang” desisku dalam hati penuh amarah . Tapi jangan senang dulu. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk bisa bertahan di negara ini dan pastinya bisa kembali lagi ke Jakarta. Pasti ada jalan untuk membebaskan diriku. Aku akan minta kepada petugas imigrasinya untuk menelepon kedutaan besar Indonesia yang ada di Thailand. Aku akan mengadukan permasalahanku pada Kedutaan Indonesia. Biarlah kedutaan Indonesia yang akan membantuku menyelesaikan semua masalah di sini biar keluar dari negara ini. Kalau memang aku harus membayar dendanya. Maka denda itu akan aku bayar segera. Di tas Hermesku, ada travel cheque senilai US $ 10.000 yang bisa aku cairkan segera.
Hatiku yang tadinya bergemuruh, sekarang menjadi lebih tenang dengan pikiranku ini. Tapi aku masih takut berdiri. Perutku terasa berdenyut-denyut sakit. Aku memandang keluar jendela. Matahari tampak sudah tinggi. Mungkin sudah sekitar jam 8 pagi. Aku memutar kepalaku ke sekeliling ruangan untuk mencari jam dinding. Tidak ada jam dinding satupun di ruangan besar ini. Aku mengangkat tangaku untuk melihat jam tangan Cartier kecil hadiah dari papa di ulang tahunku yang ke duapuluh satu , yang sejak itu tak pernah aku lepaskan kecuali waktu mandi. Tidak ada apa –apa di pergelangan tanganku. Semua bagian tanganku kosong melompong. Cincin berlian 1 karat yang biasa aku pakai di jari tengahku, juga tidak ada. Cincin kawin Bulgari ku juga tidak ada di jari manisku. Pasti semua barang-barangku telah di sita oleh petugas imigrasi. Kalau tidak , kemana semua barang-barangku? Baju yang aku pakai ini juga bukan baju Dior ku. Baju yang aku pakai sekarang terbuat dari kain khusus yang hanya diproduksi di negara Bhutan.Bahannya seperti wol tapi dengan serat yang lebih halus dan jarang, jadi kalau dipakai tidak sepanas kalau kita memakai bahan wol. Siapa yang mengganti bajuku?
Apakah petugas imigrasi itu? Mukaku merona merah. Kalau benar dia yang mengganti bajuku, berarti dia sudah melihat seluruh tubuhku? Apa tanggapannya? Tanya hatiku penasaran. Apakah dia akan setuju dengan pendapat Aldi si b******k itu, kalau tubuhkan masih sangat sexy diusiaku yang sudah 38 ini. Teringat nama Aldi aku kembali kesal. Jangan lagi percaya apa yang Aldi ucapkan kepadaku. Aldi benar-benar b******n kelas kakap. Segala yang dikatakan dan dilakukan nya selama 8 tahun perkawinan kami pasti hanya acting belaka. Aldi pantas mendapatkan piala Oscar untuk peran berpura-puranya selama ini di hadapanku. Kejadiaan ini, membuka mata hatiku tentang siapa Aldi sesungguhnya. Selama ini berarti tidak ada cintanya untukku. Semua yang Aldi lakukan adalah semu. Aldi hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkanku dan menguasai segala milikku.
Tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang terbuka. Aku segera bangkit dari tidurku dan duduk menyandar pada bantal. Perutku masih sangat sakit. Aku mencoba menahan rasa sakitnya dan hanya meringis sedikit untuk mengurangi nyerinya. Aku harus kuat , kalau tetap ingin hidup di negara yang asing ini. Seorang wanita dengan baju khas Bhutan masuk membawa mampan berisi makanan. Cara berjalannya takjim dan kepalanya nunduk dengan pandangan terpaku ke lantai. Langkah kakinya ringan tanpa suara. Dia berjalan lurus ke arah tempat tidurku tanpa sedikitpun matanya memandang diriku. Perempuan bertubuh mungil itu lalu meletakkan mampan berisi makanan di meja kecil di samping tempat tidurku. Dia menunduk sedikit tanda hormat kepadaku, lalu mundur dua langkah lalu beranjak pergi dari hadapanku. Aku menjerit memanggilnya.
“ Miss…. Where Am I ? What is this place? Is this a prison or something like immigration camp?”
Perempuan bertubuh mungil itu diam terpaku, kepalanya tetap menunduk, matanya tidak berani sedikitpun memandangku. Tatapannya masih nunduk terus ke lantai . Perempuan itu diam membisu, hanya kepalanya yang dia geleng-gelengkan dengan kuat
“ Can you speak English?” Tanyaku lagi sedikit putus asa.
Perempuan itu tetap menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa sedikitpun kepalanya terangkat untuk menatapku, dia bergegas pergi masih tetap dengan langkah ringannya. Kali ini sedikit berlari. Aku putus asa, diam tak bisa memanggilnya kembali. Aku menyerah saja, tak ada gunanya bertanya padanya. Sepertinya dia tidak mengerti Bahasa Inggris. Pintu besar itu tertutup, lalu aku mendengar suara anak kunci diputar. Baiklah, jadi aku ini tetap jadi tawanan, meskipun di tempatkan diruangan super mewah, tapi tetap tidak bisa keluar. Aku tetap harus dikunci dari luar. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam otakku dan tidak ada satupun yang bisa ku jawab. Aku masih tetap binggung dengan keadaan ku ini.
Pandanganku beralih ke makanan yang di bawa oleh perempuan bertubuh mungil tadi . Keliatannya sangat lezat. Ada semangkuk nasi putih lalu semangkuk ayam tumis jahe, juga ada segelas s**u . Perutku masih terasa sakit kalau aku berdiri. Aku harus kuat dan sehat kalau mau selamat. Aku memutuskan untuk makan agar tenagaku segera pulih dan mungkin perutku bisa berkurang sakitnya. Aku lalu mengambil nasinya dan mulai menyuap nasi beserta ayam jahenya ke mulutku. Aku makan dengan pelan sambil memandang keadaan di luar ruanganku lewat jendela besar di samping tempat tidurku. Aku makan dengan lahap, makanannya enak sekali. Pedas jahenya seakan menyebar dan membuat panas seluruh tubuhku. Aku tidak menyentuh susunya. Dari kecil aku memang alergi s**u. Aku hanya minum air putih yang terletak di lemari kecil di sisi lain tempat tidurku. Sesuai mengisi perut. Badanku mulai terasa bertenaga. Pelan-pelan aku mencoba berdiri.. AUhhhhhhhhhh!!!! Ternyata perutku masih sakit. Rasanya seperti kram saat haid, dan juga bagian bawahnya perih seperti teriris. Aku harus bersabar untuk tidak mencoba lagi berdiri, aku takut pingsan. Jadi aku memutuskan untuk kembali berbaring. Sayup-sayup dari luar ruanganku aku mendenggar suara lembut wanita yang sedang membaca paritta ( Alunan doa dalam agama Buddha) suaranya terdengar merdu dan menenangkan. Aku terhanyut dalam alunan paritta itu
“ Om ram om svar namo saptanam, samyaksambuddha kotinam jita, Om javrah bajra kundhi svaha, Om bhur m**i padme Hum”
Berulang-ulang terdengar alunan suara paritta itu. Sangat menenangkan dan aku terhanyut dalam nadanya yang berirama. Aku mencoba mengikuti alunan nya yang menenangkan jiwaku , tapi susah sekali. Lama kelamaan mataku terasa berat dan akhirnya aku tertidur lelap.
Ketika kebingungan melanda
Bagai roller coaster yang berputar di kepala
Tapi tak bisa kita hentikan dengan paksa
Kecuali sudah tiba waktunya
Jadi kita hanya bisa bersabar
Dan adaptasi menerima
Agar kebingungan itu bisa terurai sempurna