Kemarahan Yang Sia-Sia

2331 Words
     Aku terbangun ketika mendengar suara pintu terbuka, aku berpaling  ke arah pintu dan melihat seorang laki-laki berperawakan pendek dan juga sudah agak berumur yang memakai jas putih , diikuti seorang wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi semampai  yang menemaninya berjalan mendekati tempat tidurku. Laki-laki tua itu pasti seorang dokter dan wanita cantik itu , siapakah dia? Apakah istri dari pemilik rumah ini? Siapa sebenarnya pemilik rumah ini? Apakah pemiliknya, petugas imigrasi yang menginterogasi aku waktu itu? Laki-laki dengan tatapan mata dingin atau orang lain kah? Aku cepat-cepat duduk bersandar di tempat tidur dan merapikan rambutku. Dokter dan wanita itu berjalan melewati meja besar di tengah ruangan dan segera mendekati tempat tidurku “ Hello, how are you today?” tanya dokter dengan ramah. Sang wanita cantik hanya berdiri diam di ujung ruangan dekat meja kecil di samping tempat tidurku. Wajahnya yang putih dengan mata bulat besar yang bersinar terang. Tidak ada senyum di wajahnya tapi meskipun tanpa senyum matanya terasa hangat dan menenangkan “ I’m fine. Just feeling bad at my stomach. What happened with me?”   Dokter itu tidak menjawab, dia hanya diam seribu bahasa.  Sang dokter langsung mengambil stetoskop di dalam tasnya dan menyuruhku berbaring kembali, lalu dia mulai memeriksaku   “ Auuuuuugghhhhh!!!!!”  Aku menjerit kesakitan ketika dia menekan bagian bawah perutku. Lalu sang dokter berpaling pada wanita cantik di samping tempat tidurku dan berbicara cepat dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku memandang mereka dengan kebingungan . Apa sebenarnya yang mereka bicarakan? Apakah aku terkena penyakit yang mematikan?. Selesai berbicara , dokter langsung menyimpan stetoskop ke dalam tasnya dan beliau langsung bangkit berdiri ,  beranjak pergi meninggalkan aku dan wanita cantik itu. Aku ingin menjerit menghentikan langkahnya, namun aku tahu itu akan sia-sia. Pasti ia tidak mau berhenti dan pasti ia akan terus melangkah pergi. Akhirnya aku diam saja dan memejamkan mata. Mencoba menikmati sakit di perutku akibat tekanan tangan dokter yang telah pergi itu. Wanita cantik itu melangkah maju menghampiri tempat tidurku. Sekarang di wajahnya tersungging sebuah senyum yang sangat manis. Aku membalas senyumannya. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain membalas senyuman itu? Tidak mungkin kan aku cemberut dan marah-marah atau menunjukkan sifat bossy ku. Aku berharap dengan senyuman ku itu , dia mau menjelaskan pada ku tempat apa ini dan yang terpenting menjelaskan kepadaku ada kejadiaan apa yang menimpaku, sehingga perutku bisa sangat sakit. Wanita itu lalu beranjak duduk di tepi tempat tidurku. Gayanya luwes nan anggun. Semua gaya, senyum dan tingkah lakunya menunjukkan aura yang begitu tenang sehingga membuat aku merasa nyaman berada di dekatnya. Wanita itu , masih dengan gaya anggunnya, merapikan selimutku, lalu mulai berbicara padaku dengan Bahasa inggris yang terbata-bata. “ Bagaimana rasanya badan anda? Apakah sudah terasa baik ” suaranya lembut dan merdu sekali “ Sakitnya hanya terasa kalau aku berdiri. Tapi tadi saat dokter itu menekan bagian bawah perutku, sakitnya terasa luar biasa. Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku? Aku ini sekarang ada di mana?  Apakah ini penjara atau camp imigrasi? Mengapa aku bisa berada di sini? Siapa yang membawaku ke sini? “ Tanyaku bertubi-tubi padanya. Aku ingin segera tahu apa yang terjadi. Rasa penasaran dalam hatiku membuat pertanyaanku padanya seakan tak ada tepi. Wanita cantik nan lembut ini memandangku binggung. Mungkin baru kali ini seumur hidupnya, dia melihat wanita yang berbicara dan bertanya tanpa henti plus dengan suara yang  berapi-api, tidak lemah lembut seperti dirinya. Aku melihatnya menghela nafas sebelum menjawab pertanyaanku . “ Ini adalah rumah kami, bukan penjara atau pun immigration camp”  Aku langsung memotongnya “ Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu! Mengapa aku bisa ada di rumah mu?” Dia menghela nafas lagi, lalu berkata sabar tetap dengan suarnya yang lembut mendayu-dayu “ Kalau kamu benar mau tahu, kamu seharusnya diam dulu dan mendengarkan penjelasanku sampai selesai. Kalau kamu terus memotong perkataanku, kapan aku bisa menjelaskan situasi ini kepadamu. Aku tahu kamu pasti kebingungan. Tapi yang terpenting, sekarang ini kamu berada di tempat yang sangat aman. Jadi jangan khawatir.” Aku sadar,  apa yang dikatannya sangat benar. Aku harus  sabar dan tidak terburu-buru menuntut penjelasan orang seperti saat aku jadi Boss di Jakarta. Ini negara orang . Sudah syukur, dia mau menerimaku di rumahnya padahal kita tidak saling mengenal . Seharusnya aku bersyukur karena dia sudah mau menjelaskan kepadaku meskipun dengan kemampuan bahasa inggris yang terbata-bata. Aku harus bisa meredam sifatku yang selalu terburu-buru tidak sabaran dan bertanya dengan gaya dan nada bagaikan seorang big boss. Sekarang ini aku sendirian di negara yang asing. Aku harus bisa membawa diri kalau ingin selamat dan kembali ke Indonesia. Aku segera menundukkan kepala dan mengangguk padanya lalu minta maaf. Wanita cantik  nan lembut ini lalu tersenyum manis padaku, menepuk-nepuk kakiku layaknya seorang sahabat. Ada perasaan hangat di hatiku. Sudah lama sekali aku tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Di Jakarta, aku sama sekali tidak memiliki seorang sahabat. Waktuku benar-benar habis untuk memajukan  pabrik. Sekarang aku baru merasa ada sesuatu yang hilang di hatiku, seperti rongga kosong yang melompong. Selama ini, aku selalu merasa menjadi wanita yang paling hebat, wanita mandiri yang bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Semua orang harus tunduk pada perintahku. Semua masalah bisa aku selesaikan dengan uang dan kekuasaanku. Semua orang ku anggap bagai pembantu dan pasti punya maksud tertentu apabila mereka mencoba mendekatiku. Jadinya semua teman-teman baik  dari teman teman sekolah atau kuliah menjauhiku. Aku benar-benar seperti tertampar keras dan disadarkan  sekarang. Wanita cantik bersuara lembut itu mulai lagi berbicara , tetap dengan nadanya yang tenang mengalun merdu. “ Namaku Rara Ngajin, kamu boleh memanggilku Rara. Sekarang kamu ada di rumah kami. Kamu bisa berada di sini karena dibawa oleh abangku. Abangku yang membawa kamu ke sini karena kamu pingsan di ruangan interogasi di bandara. Abangku tidak membawa kamu ke rumah sakit karena saat itu keadaan di bandara sangat kacau balau . Ada pemberontakan kaum minoritas Nepal di Bandara. Mereka menutup dan membakar bandara. Perdana mentri kami, baru saja  mengumumkan,  terhitung hari ini sampai waktu yang belum ditentukan semua akses masuk dan keluar dari negara Bhutan akan ditutup sampai keadaan dalam negri kami aman dan membaik kembali”.   Aku terbengong-bengong mendengar ceritanya. Mulutku terbuka lebar, kalau ada lalat mungkin lalat uda bisa terbang masuk melewati kerongkonganku. Mengapa aku bisa se sial ini? Sudah terperangkap  karena di jebak si b******n  Aldi dan melakukan kesalahan fatal di negara  asing,  malah sekarang aku tidak ada akses lagi untuk keluar dari negara ini.   “ Jadi aku juga tidak bisa menelepon ke kedutaan besar negaraku di Bangkok?” Tanyaku   Rara menggelengkan kepalanya. Aku memejamkan mataku putus asa. “ Sampai kapan keadaan ini berlangsung ? “ Tanyaku lagi “ Aku juga tidak tahu”.  Katanya tenang dengan suaranya yang merdu sambil menyunggingkan senyum manisnya. Naik darahku melihatnya tersenyum  Aku mulai berteriak.   “ Negara apa ini?” Mengapa aku bisa terjebak di sini? Aku ini datang ke Bhutan untuk liburan. Aku tidak tahu di koper milik suamiku , bisa ada rokok. Aku juga tidak tahu mengapa visaku bisa palsu. Suamiku yang bajiingan itu yang telah menjebakku dengan semua kekacauan ini. Mengapa kalian menahanku di sini? Kalian harus bertanggung jawab. Negara ini harus bisa memberikan hak-hak ku untuk bisa menelepon kedutaan besar negaraku. Aku tahu meskipun tidak ada perwakilan negaraku di Negara Bhutan ini, tapi aku berhak menelopon ke negara terdekat yang ada kedutaan besar Indonesia. Di Bangkok atau India. Aku ingin segera pulang kembali. Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Kalau perdana mentri kamu menutup akses keluar masuk ke Bhutan selama-lamanya bagaimana? Masak aku harus tinggal di sini selamanya? Aku nggak bisa tinggal di sini. Aku harus kembali ke negaraku segera!” Jeritku histeris. Air mata campuran marah , sedih dan frustasi sudah mengalir dari mataku. Air mata yang tidak bisa aku tahan lagi. Hilang semua rasa malu dan janjiku untuk tidak menangis di depan orang. Aku mulai sibuk mengelap air mata itu dengan tanganku Rara menarik tissue dari kotak tissue di samping tempat tidurku dan memberikannnya kepadaku. Lalu dia bangkit berdiri. Rara menatapku dengan mata yang sedikit menyala marah tapi dia berkata masih dengan suaranya yang lembut, tenang dan nada terkontrol tanpa emosi.   “ Kamu tidak mengerti permasalahan yang terjadi, dan kamu juga tidak mau mencoba menerima apa yang sedang terjadi pada dirimu dengan pikiran yang jernih. Jangan hanya bisa menjerit dan marah lalu menangis. Kamu pikir, kami mau menahanmu di sini? Kamu pikir, kami tidak sedih atas kejadian pemberontakan kemarin? Bukan hanya kamu yang tidak bisa keluar dari negara ini. Banyak turis-turis yang di bandara kemarin langsung diterbangkan kembali ke Kalkuta atau Bangkok. Dan masih banyak yang berdiam diri di hotel menunggu keadaan menjadi tenang sehingga mereka bisa dievakuasi lewat jalur darat. Mereka bisa langsung dipulangkan karena mereka tidak melanggar hukum negara kami seperti yang  kamu lakukan.  Mereka masuk ke negara kami dengan legal. Kami pasti akan mengusahakan untuk menerbangkan kembali ke negaranya dengan aman. Tidak seperti kamu, yang masuk ke negara kami dengan visa palsu juga membawa barang-barang yang dilarang. EH…. Uda ditolong bukannya terima kasih, malah marah marah dan jerit-jerit  tak karuan. Berpikirlah dengan jernih dan sabar. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kalau kamu tidak salah, jangan takut dan putus asa untuk memperjuangkannya tapi jangan dengan marah-marah dan menjerit tak jelas.  Lebih sabarlah !”   Aku memandangnya dengan takjub. Aku tahu ia marah atas kelakuanku yang menjerit -jerit padanya tadi, tapi sedikitpun suaranya tidak ada nada emosi. Aku mengatur nafas dan memejamkan mataku kembali agar aku bisa berbicara dengan tenang, tidak menjerit-jerit histeris seperti tadi. Tapi sebelum aku selesai menenangkan diriku. Rara sudah kembali mengeluarkan suaranya yang lembut.   “ Aku juga heran, kenapa abangku bisa membawa kamu ke sini?” Tidak biasanya dia membawa orang yang tidak di kenal ke rumah kami. Aku belum sempat menanyakannya, dia sudah terlanjur kembali ke kantornya”. Hatiku sudah mulai tenang dan tidak meledak-ledak lagi. Aku berkata dengan nada yang lebih terkontrol. “ Rara… maafkan kelakukanku tadi yang menjerit-jerit marah padamu. Aku sadar tidak seharusnya berkata dan berteriak seperti itu. Aku binggung , mengapa aku bisa ada di sini? Mengapa perutku bisa sakit sekali? Aku binggung sekali dengan semua kejadian yang menimpaku sekarang ini. Aku tahu aku telah dituduh masuk ke negara ini dengan visa palsu. Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau visaku palsu. Aku ini korban, dan dijebak oleh suamiku yang sangat jahat. Aku tahu tidak mudah bagimu untuk percaya padaku. Tapi itu memang kenyataannya yang terjadi padaku. ” Hatiku perih sekali mengingat nasib malangku ini lalu aku kembali menangis terisak-isak. Aku mengambil bantal dan menutup mukaku. Tiba-tiba aku merasa ada yang memelukku. Aku mengangkat bantalku dan menjatuhkannya di pangkuanku. Dan aku menemukan tangan Rara yang telah memelukku erat seakan memberiku kekuatan. Ia menepuk bahuku dan berkata. “ Sabar ya, nanti kalau abangku pulang, akan kita tanyakan kejadian yang jelas dan sebenarnya kepadanya. Mengenai statusmu sekarang dan mengenai sakit di perutmu. Abangku pasti akan menjelaskannya kepadamu. Tadi dokter juga tidak menjelaskan apapun padaku, jadi aku benar tidak tahu. Beliau hanya bilang , kamu mulai pulih dan tentang kondisimu selanjutnya , dia hanya boleh melapor pada abangku. Jadi aku bukan tidak mau menjelaskannya padamu. Hanya benar aku juga tidak tahu apa-apa”. Aku mengangguk mengerti hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Marah juga tidak berguna. Hanya menghabiskan tenagaku dan membuat aku mengeluarkan air mata.                  Rara sudah sangat baik mau menemaniku dan mau menjelaskan situasi yang terjadi sekarang . Kalau tidak ada Rara, pasti aku semakin binggung. Pertanyaan mengapa aku bisa ada di rumah ini sudah terjawab. Abang Rara yang membawaku ke sini. Tapi siapa abang Rara? Mengapa dia punya kekuasaan membawa orang yang bermasalah seperti aku ini keluar dari ruang imigrasi ? Dan mengapa dia mau mengambil resiko menyembunyikan aku di rumah pribadinya? Atau karena bandara terbakar dan dia mengabil kesempatan itu untuk menyembunyikan aku? Semua pertanyaan -pertanyaan itu sekarang yang berkejar-kejaran di benakku silih berganti. Semua pertanyaan itu seakan-akan tak sabar melompat keluar dari mulutku untuk bertanya pada Rara. Tapi aku tahu percuma bertanya padanya, pasti dia juga tidak tahu alasan abangnya. Lebih baik aku diam saja dan menenangkan diri dulu sambil menikmati pelukan hangat dari Rara. Pelukan hangat seorang sahabat yang sudah lama sekali tidak pernah aku rasakan. Rara melepaskan pelukannya dan memandangku dengan matanya yang jernih dan bening. “ Aku akan membantu sebisaku. Perasaanku berkata bahwa kamu tidak bersalah.Aku bisa percaya kalau kamu benar dijebak oleh suamimu seperti ceritamu tadi? Mengapa dia bisa begitu jahat? Apakah kamu mau menjelaskan padaku biar aku bisa lebih mengerti?”   Aku mengangguk tanpa ragu. Aku harus terbuka padanya. Kalau Rara bisa percaya padaku, aku juga harus bisa percaya padanya. Kalau tidak dengan Rara, kepada siapa lagi aku bisa minta bantuan?  Aku berharap kalau Rara benar-benar bisa  percaya padaku, dia pasti akan  bercerita pada abangnya tentang masalahku  dan nanti kalau keadaan negara ini sudah aman dan pemberontak sudah berdamai.  Abangnya pasti bisa membantuku untuk kembali ke Indonesia. Itu harapanku satu-satunya sekarang.   Lalu tanpa sedikitpun keraguan di hatiku, aku mulai bercerita padanya. Semua kisah hidupku tidak ada yang aku tutupi. Rara ikut tersenyum mendengar ceritaku tentang orangtuaku yang begitu menyayangi dan mencintaiku sebagai anak satu-satunya, matanya ikut berbinar waktu aku membicarakan tentang kisah cintaku dengan Aldi yang dulunya hanyalah karyawan di pabrik aku. Rara  ikut menangis ketika aku bercerita betapa hancur hatiku mengetahui Aldi suamiku, laki-laki yang paling aku percaya dan paling aku cinta telah menjebakku sehingga aku terdampar di negara ini. Hatiku lega setelah menceritakan semua kisah hidupku padanya. Aku memandang matanya dengan penuh rasa terima kasih, telah mendengar semua ceritaku. Dia tersenyum manis dan kembali menepuk-nepuk bahuku. Hatiku senang dan bahagia sekali, ternyata saat aku terpuruk sendiri dengan banyak masalah  di negeri asing nan jauh . Tuhan tetap sayang padaku dan Tuhan telah mengirim  hadiah  kepadaku ku berupa  seorang sahabat yang sebelumnya tidak pernah aku punya. Seorang sahabat bernama Rara.     Ketika kita  memiliki seorang sahabat Kita akan merasa memiliki  belahan jiwa  Tempat kita bisa berbagi tawa , dan duka.  Tempat kita bisa bercerita tentang segala kebaikan ataupun dosa Dan sahabat  pasti akan mengerti segalanya tentang kita Memarahi kalau kita bersalah Memuji kalau kita benar dan memeluk kita erat saat kita butuh dukungan itulah arti sahabat sebenarnya.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD