BAB : 5

1040 Words
Angga sampai di kosan yang ditempati oleh Nessa. Tak terlalu sulit untuk mendapatkan alamat gadis itu. Tinggal menanyakan pada bos tempat gadis itu pernah bekerja. Sampai di sana, ia bingung, apa yang tengah terjadi? Ada kerumunan orang yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu. "Maaf, Mas ... apa benar di salah satu kos'an ini ada gadis dengan ciri-ciri, rambutnya lurus sepunggung, tingginya sekitar 160 centi dan kulitnya putih?" tanya Angga pada seorang laki-laki sambil menjelaskan ciri-ciri fisik Nessa. "Apa yang Anda maksud gadis yang bernama Nessa?" "Kalau namanya saya enggak tau, Mas," balas Angga. "Namanya Nessa. Dia kos di situ," tunjuknya mengarah pada sebuah kosan yang terletak tak jauh dari posisinya berdiri. "Makasih ya, Mas," ucap Angga hendak berlalu. "Tapi dia enggak ada, Mas. Barusan ada beberapa orang laki-laki berbadan tegap membawanya pergi dengan paksa," jelas laki-laki itu pada Angga. "Dibawa pergi? Kemana, ya, Mas?" "Maaf, kalau itu saya kurang tahu," jawabnya. Tadi mendapatkan alamat Nessa, mungkin hal yang sangat mudah. Tapi sekarang, gadis itu malah sudah dibawa pergi oleh orang lain. Kemana lagi ia akan mencari? Lagian, siapa yang membawanya pergi? "Ribet sekali hidup gadis itu," gumam Angga berlalu pergi dari sana kembali memasuki mobilnya. Pencariannya sia-sia saja. Ia segera pulang ke rumah. Sampai di rumah, pertanyaan yang sama dan seolah berulang-ulang selalu menyambut dirinya. Apalagi kalau bukan mamanya yang selalu mempermasalahkan 'wanita' yang akan menjadi pendampingnya. Mamanya menganggap mencari istri seperti mencari pasangan untuk semalam saja. Kamar, adalah tempat ternyaman, ter-tenang ... pokoknya jauh dari segala suara yang membuat kuping dan otaknya pusing. Tapi, di suasana yang sudah larut ini, pikirannya malah melayang-layang memikirkan Nessa. Apalagi setelah mendengar dari orang-orang yang mengatakan gadis itu dibawa paksa. "Astaga! Kenapa gue malah mikirin gadis itu," geramnya karena matanya terpejam, tapi pemikirannya seolah tak bisa diajak kompromi. Ia beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponsel miliknya yang berada di meja. Kemudian menekan beberapa nomor untuk mengirim pesan. Pesan terkirim dan ia kembali mondar-mandir di kamar sambil sesekali melirik benda pipih itu berharap segera mendapat balasan. Barulah, sekitar 10 menit berselang, ia mendapatkan pesan balasan. Sudut bibirnya sedikit terangkat saat membaca pesan singkat itu. "Ternyata kamu berusan dengan orang yang salah," gumamnya sambil menyambar sweater dan konci mobil miliknya sebelum keluar dari kamar. ''Kamu mau kemana lagi?" tanya mamanya saat melihat Angga yang pergi begitu saja tanpa pamit. "Pergi bentar," jawabnya terus melangkah pergi. Setidaknya sekarang ia sudah tahu kemana harus melangkah. Tapi, yang ia cemaskan adalah, kenapa gadis seperti Nessa malah berhubungan dengan tua Bangka itu. Masuk ke dalam rumahnya itu sama saja dengan bunuh diri. Mungkin langsung mati, tapi lebih tepatnya akan dibuat menderita terlebih dahulu. Ia terus melajukan kendaraannya dengan cepat. Lebih cepat sampai, itu lebih baik. Daripada ia terlambat. Benar sekali, tak butuh waktu lama untuknya sampai di tujuannya. Di depan pagar, ia sudah disambut wajah-wajah tak bersahabat oleh penjaga. "Ada apa Anda ke sini?" tanya salah satu dari mereka. "Bilang sama Bos kalian, saya mau bertemu," jawab Angga tak kalah dinginnya. Dua orang penjaga itu saling melempar pandang, hingga salah satu dari mereka berlalu pergi memasuki area rumah. Beberapa saat menunggu, dia kembali datang menghampiri. "Silahkan masuk," ujarnya pada Angga. Tentu saja keduanya tetap mengawal ke dalam rumah. Sampai di ruang utama, terlihat seorang pria tua duduk dengan Ekspressi tak bersahabatnya menyambut Angga. Sebenarnya ia tak ingin menginjakkan kakinya di rumah ini, tapi entah kenapa ia merasa harus menolong Nessa. Ia berdiri tepat di hadapan Widodo yang sedang duduk sambil memasang wajah dinginnya. "Dimana gadis itu?" tanya Angga langsung ke titik permasalahan. Widodo beranjak dari duduknya sambil tertawa. ''Anggara Surya Dipta. Sudah lama kita tak bertemu, dan sekarang kamu tiba-tiba datang dan menanyakan seorang gadis padaku? Aneh," jelasnya sambil menyeringai. "Sudahlah. Aku tak mau bertele-tele dan memperpanjang masalah. Berikan gadis itu padaku!" "Waw ... sepertinya gadis kecil itu sangat berharga bagimu, sampai-sampai menemuiku. Tapi sayangnya aku tak akan memberikannya padamu!" "Ya ... aku tahu. Semua akan sangat mudah dengan uang!" Kembali, tua Bangka itu tertawa saat Angga tahu apa yang dia inginkan. "Tapi maaf, sepertinya aku juga tertarik padanya. Lumayan, buat selingan." Sebenarnya Angga sangat geram mendengar perkataan itu. Tapi mencoba menahannya. Kalau ia turuti emosinya, bisa habis dirinya di rumah ini. Ia sendiri, sedangkan rumah ini penuh dengan penjagaan. Angga mengambil kertas cek di saku dan menuliskan nominal uang. Lalu, ia lemparkan pada laki-laki tua yang selalu membuat masalah di kehidupannya. Widodo tersenyum licik saat melihat jumlah nilai uang yang tertera di kertas cek itu. "Bagaimana kalau besok saja kamu membawanya. Biar malam ini dia disini," ujar Widodo. Tentu saja emosi Angga langsung naik dan hendak meninju rahang Widodo. Tapi, laki-laki itu mundur saat pukulan itu hendak mendarat di rahangnya. "Baiklah ... baiklah dia boleh pergi." Di saat bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan Nessa di sebuah kamar yang tak jauh dari posisinya berdiri. Dengan cepat, ia menuju ruangan itu dan membuka pintu yang terkunci dari dalam dengan paksa. Pintu terbuka, terlihat Nessa yang wajah dan tubuhnya penuh luka lebam, berada di pegangan dua orang perempuan. "Om ...," lirihnya. Angga berjalan menghampiri Nessa dan menyingkirkan tangan dua wanita yang masih memegangi pergelangan tangan gadis itu. Terlihat, bekas memerah di sana. "Kita pergi dari sini," ujarnya yang di angguki oleh gadis itu. Meskipun Nessa merasa badannya seolah remuk, tapi kembali berpikir kalau ia harus pergi dari tempat ini. Ia tak ingin hidupnya hancur dan sia-sia di tangan laki-laki tua seperti Widodo. Sampai di dalam mobil milik Angga, barulah ia bisa menarik napas lega. Tahu rasanya seperti apa? Ya ... mungkin inilah masalah terberat yang pernah ia rasakan sampai saat ini. Angga menanggalkan sweater miliknya dan memasangkan pada Nessa. Entah otaknya yang sedang tak beres, hingga hatinya dibuat terenyuh melihat kondisi gadis ini. Tubuhnya penuh luka lebam, si sudut bibirnya masih terlihat bekas darah yang mengering. Nessa memejamkan matanya. Lelah, itulah yang ia rasakan saat ini. Setidaknya bersama Angga tak semenakutkan berasama Widodo. Menurut Nessa, Angga lebih terlihat menyebalkan daripada menakutkan. Tak ada pembicaraan apapun. Nessa tertidur karena kelelahan, dan badannya pada sakit. Sedangkan Angga, ia fokus menyetir. Meskipun sesekali menyempatkan untuk melirik Nessa di sebelahnya. Beberapa saat kemudian, ia berhenti di sebuah rumah. Tapi bukan rumah orang tuanya, melainkan rumahnya pribadi. Ingin membangunkan Nessa, tapi ia tak tega. Jadilah, ia menggendong tubuh gadis itu memasuki rumah dan membawanya ke sebuah kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD