BAB : 6

1130 Words
Baru sampai di ruang tengah, Nessa terbangun. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna saat melihat posisi Angga yang begitu dekat dengannya. Apalagi dengan posisinya yang ada di gendongan Angga. Sontak, membuatnya terlonjak kaget hingga berakhir dengan ending tak menyenangkan. Ia nemplok di lantai dengan bokongnya yang menjadi korban utama. "Itu bukan kesalahanku, kamu yang histeris nggak jelas," ujar Angga sambil berpangku tangan menatap Nessa yang masih terduduk manis di lantai. "Tentu saja aku kaget! Om tiba-tiba ada di depan wajahku dan ternyata saya ada di gendongan, Om? Astaga! Jangan-jangan tadi Om sudah melakukan hal yang tak baik, ya? Padahal aku nggak berpikiran jelek sama, Om. Tapi ternyata balasannya ..." Angga gregetan mendengar ocehan serta tuduhan Nessa padanya. Dikira dirinya cowok apaan? Ia pria berpendidikan, pergaulannya juga masih di jalan yang benar, meskipun sesekali pernah khilaf. Tapi tetap saja bukan yang sampai melakukan hal seperti yang dipikirkan oleh Nessa. Angga tak menanggapi rentetan tuduhan Nessa. Ia menanggalkan kemeja yang masih melekat di tubuhnya dan melemparkan begitu saja di sofa. Meninggalkan kaos berwarna putih yang masih melekat . "Om mau ngapain?" Tentu saja sikapnya itu membuat Nessa makin dag-dig-dug. Apa yang mau dilakukan Angga? "Capek, mau istirahat. Apalagi mendengar ocehan nggak jelasmu itu," balas Angga sambil berlalu pergi dari hadapan Nessa melangkah pergi menuju lantai dua rumah. "Om!!!" Teriak Nessa. "Tidur, besok kita bicara lagi. Aku capek," balas Angga sambil terus melangkah pergi. "Arghhh ..." Ia mengeram dengan kesal. Nessa mencoba berdiri dari posisinya yang masih duduk di lantai. Dan ya ... badannya serasa remuk. Pukulan Widodo meninggalkan bekas yang lumayan di tubuhnya. Apalagi dibagian wajah, itu sungguh terasa sekali sakitnya. Ia melangkah perlahan mematuti ke seluruh ruangan rumah yang terbilang cukup besar. Masih dengan rintihan yang sesekali masih keluar dari bibirnya. "Ini rumah besar amat, ya," gumamnya bicara sendiri. Saat matanya masih fokus mengarah ke sekeliling ruangan, tiba-tiba Angga muncul begitu saja dari arah belakangnya. "Om!!!" Kagetnya sedikit berteriak. Ia benar-benar dibuat kesal oleh cowok bernama Angga. Haruskah dirinya muncul tiba-tiba layaknya hantu? Bisakah ia muncul di depannya, bukan dari arah belakang hingga membuatnya kaget? "Apa hobby kamu adalah berteriak? Ini sudah malam. Kamu mau, kita digrebek karena ketahuan tinggal satu rumah tanpa ada ikatan? Mau kamu, kita berdua dinikahi paksa?" "Ih ... amit-amit," ucap Nessa cepat. "Makanya, diam." "Bukannya Om mau tidur, kenapa balik lagi?" Yang paling membuat Angga kesal dan geram adalah saat Nessa memanggilnya dengan panggilan, Om. Padahal sudah beberapa kali juga ia melarang, tetap saja gadis sejenis Nessa tak bisa mengerti. Angga berjalan menuju dapur, tapi jangan berpikir kalau ia akan memasak. Tak berapa lama, ia kembali dengan sebuah wadah berisi air dan juga sebuah handuk kecil di tangannya. "Itu buat apaan?" Bingung Nessa. "Ayo kemari," pinta Angga meminta Nessa untuk duduk di sampingnya. Nessa hanya menurut. Ia duduk sambil otaknya terus berpikir. Apa niat si Om-om ini? Angga membasahi handuk kecil itu dengan air yang ia bawa dengan wadah, kemudian memerasnya hingga tertinggal rasa lembab. Setelah itu, menempelkannya di bekas luka lebam dan memar yang ada di wajah Nessa. "Sakit, Om," rintih Nessa menjauhkan wajahnya dari tangan Angga. "Hei ... kalau tidak diobati begini, rasanya akan tetap sakit. Kamu mau, malam ini nggak bisa tidur nyenyak karena luka-luka itu?" Nessa menggeleng. "Makanya, diam," komentar Angga kembali melanjutkan niatnya. Jadilah, Nessa pasrah saat Angga mengobati luka lebam di wajah dan juga tangannya yang membiru. Terdengar beberapa kali ringisan saat handuk itu menyentuh kulitnya. Ah, ia sudah seperti seorang pencuri yang habis di keroyok massa. "Apa ini masih sakit?" tanya Angga melihat plester yang masih menempel di siku Nessa. Ya, ia juga tak akan lupa kalau dirinya jugalah yang memasangkan plester itu. "Ya masihlah. Baru juga tadi dapat lukanya. Dan itu gara-gara, Om yang mau nabrak aku," ocehnya. Angga tak berkomentar lagi. Tanpa aba-aba ia langsung saja mencabut plester itu dengan cepat dari kulit Nessa. Seiring dengan terdengarnya teriakan heboh dari mulut gadis itu. "Kyaaa!!!!" Angga sampai harus menutup kedua telinganya dengan telapak tangan agar indera pendengarannya tak bermasalah karena mendengar teriakan itu. Nessa memukul lengan Angga saking kesalnya. "Jahat banget sih. Luka ku masuk sakit, masih perih, bisa nggak, sih, itu narik plesternya pelan-pelan," omelnya sambil terus memukuli Angga. "Heii ... kalau dicabut pelan-pelan bakalan lama. Aku harus dengar rengekan kamu dulu, mewek-mewek nggak jelas. Nah, kalau seperti ini, kan, prosesnya cepat." Angga membersihkan luka di siku Nessa dengan antiseptik, dan kembali menempelkan sebuah plester di objek itu. "Udah, kan. Sekarang, sana kamu tidur ... sudah malam. Besok kita bicarakan lagi hal selanjutnya," ujar Angga beranjak dari duduknya berniat untuk kembali ke kamar. "Selanjutnya, apa?" tanya Nessa. Tapi Angga seolah tak berniat membicarakannya sekarang. Ia capek. Nessa bingung apa yang sedang dibicarakan Angga. Apa sebenarnya niat cowok ini pada dirinya? Apa ia akan dijual? Apa dirinya akan dijadikan wanita penghibur seperti yang ada di film-film? Apa ia akan dijadikan istri simpanan? Apalagi Angga sebelumnya pernah memintanya untuk menikah. "Kita bicarakan sekarang saja," tambah Nessa seolah memaksa. Langkah Angga terhenti. Ia berbalik badan dan kembali berdiri di hadapan Nessa yang masih duduk di sofa. "Jangan menatapku seperti itu," ujar Nessa saat Angga menatapnya tajam layaknya pria m***m yang haus akan belaian. Itu menurut pikirannya, sih. "Menikahlah denganku," ujar Angga langsung dengan posisinya yang masih berdiri di hadapan gadis itu. "Apa?!" Nessa kaget. Padahal ini bukanlah pertama kali Angga mengatakan itu. Tapi tetap saja ia tak percaya. "Om!" Nessa memukul lengan Angga. "Kalau ngomong yang bener dong. Kebelet nikah, ya? Perasaan maksa saya buat nikah terus." Senyuman terukir di sudut bibir itu. Bahkan, Nessa dibuat sedikit pangling akan senyuman itu. "Bisa nggak, sih, kamu enggak berprasangka buruk dulu. Aku ini pria baik-baik. Jadi, jangan berpikir kalau aku berniat jahat padamu." "Kita baru kenal, dan Om ngajakin nikah. Apa aku salah kalau berprasangka buruk? Setidaknya aku harus menerapkan status waspada dulu, sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Bukan tidak mungkin kalau status siaga bakalan ..." "Stop!" Angga menutup mulut Nessa dengan telapak tangannya. Dari tadi kepalanya sengaja dibuat pusing oleh omongan gadis yang ada dihadapannya ini. Kecil, tapi sangat cerewet. Ya ... dia mengalahkan kecerewetan mamanya yang tadinya berada di posisi paling atas. Angga masih menutup mulut Nessa dengan telapak tangannya. Sementara sebelah tangannya malah merangkul pinggang dan membawa tubuh kecil itu agar semakin dekat dengannya. Sikap Angga membuat Nessa kaget. Kedua matanya terbelalak saat posisinya sekarang benar-benar sangat dekat dengan cowok itu. Aneh, benar-benar sangat aneh. Jantungnya seakan lepas dari pengaitnya dan bergelindingan di lantai. Darahnya seolah mengalir deras menuju hatinya. Ia bingung, perasaan apa ini? Atau, penyakit apa yang sedang ia alami? "Kalau kamu tidak bisa diam, tidak mau mendengarkan penjelasan ku, dan tidak bisa bersikap layaknya gadis kecil yang manis ... maka posisi kita akan terus seperti ini. Atau bahkan, aku bisa melakukan hal yang lebih padamu," jelas Angga semakin mendekatkan wajahnya kearah Nesaa. "Jadi, bagaimana?" bisiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD