BAB : 7

1102 Words
Nessa mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Angga. Yakali dirinya bisa bertahan dengan posisi mencekam seperti ini. Hembusan napas Angga yang menyentuh kulitnya saja membuat bulu kuduknya meremang. "Bagus," respon Angga melepas tangan yang menutup mulut Nessa begitupun rangkulan yang ada di pinggangnya. Ia duduk di sofa, sementara Nessa masih berdiri mematung. Apalagi yang sedang dilakukannya kalau bukan menetralkan detak jantung begitupun aliran darahnya yang tadi seolah naik ke ubun-ubun. Sepertinya ia sedang tak baik-baik saja. Buktinya, perlakuan Angga tadi membuat hatinya dag-dig-dug, kan, aneh. "Seperti yang pernah ku katakan padamu ... aku ingin mengajakmu menikah. Karena kalau tidak, semua harta warisan akan diberikan orangtuaku ke panti asuhan. Tentunya aku tidak akan membiarkan itu sampai terjadi." Oke, dan kembali Ekspressi tak suka ditunjukkan oleh Nessa. "Jangan berpikir dulu kalau aku enggak laku." "Aku nggak ngomong apa-apa, kok. Om sendiri yang mengakuinya," komentar Nessa sambil tertawa. Padahal dalam pemikirannya memang itulah yang sedang ia pikirkan "Nyari cewek itu mudah, semudah menjentikkan jari. Yang susah itu, nyari cewek baik-baik. Setidaknya di otaknya tak ada kata uang ... uang dan uang." "Tunggu," timpal Nessa menghentikan omongan Angga dan beralih ikut duduk di sofa. "Mau cari wanita yang dalam pikirannya tak ada kata, uang?" "Hmm ...," angguk Angga. "Dan Om ngajak aku nikah?" "Ya ..." "Apa Om kemarin mengalami kecelakaan, atau sebuah benturan keras di kepala, mungkin?" "Tidak sama sekali." "Lalu, kenapa otak Om seperti mengalami pergeseran separah itu?" Angga menyentil dahi Nessa karena kesal. Berani sekali gadis ini mengatakan kalau otaknya sedang mengalami pergeseran. "Sakit tahu," berengut Nessa sambil menyentuh bekas sentilan Angga. "Kamu pikir aku lagi stress? Kamu pikir otakku bermasalah?" "Habisnya, Om bilang mau nikah sama aku. Lah, aneh banget, kan? Kita nggak saling mengenal, aku aja nggak yakin kalau Om orang baik-baik. Om enggak tahu, kan, kalau aku juga gadis yang di otaknya masih memikirkan tentang uang?" celetuk Nessa memandangi Angga. "Hei ... jangan lupa kalau kamu bisa ada di sini dengan selamat, itu berkat aku. Coba kalau tidak, mungkin saat ini kamu akan jadi pemuas nafsunya Widodo," jelas Angga. Mendengar penjelasan Angga, Nessa sekarang mulai paham maksud semuanya. "Oo ... ternyata Om nyelamatin aku biar bisa nikah sama aku. Ah, tidak, lebih tepatnya, Om mau jadiin aku istri bayaran demi harta warisan?" "Bagus, akhirnya kamu paham," respon Angga sambil mengacak rambut Nessa. Akhirnya penjelasannya bisa dipahami oleh bocah ini. "Aku nggak mau!" "Kamu harus mau." "Enggak akan!" Angga tersenyum licik sambil berpangku tangan di depan Nessa. "Kamu pikir membawamu keluar dari sarang laki-laki b***t itu gampang? Semua enggak gratis, Nessa. Aku, mengeluarkan banyak uang agar semuanya mudah." Nessa hanya diam. Ia tadinya berpikir kalau Angga membantunya karena memang dengan rasa kemanusiaan. Tapi ternyata dengan mengharapkan sebuah balasan. "Baiklah ... kalau kamu nggak mau ya udah, aku akan menarik uangku kembali dari Widodo dan mengembalikan kamu padanya," tambah Angga bersiap membawa Nessa. "Eh ... aku nggak mau," tolaknya menjauh dari jangkauan Angga. "Jadi?" Nessa kembali berpikir. Mungkin inilah yang dinamakan nasibnya seolah sedang berada di ujung tanduk. Selamat, tapi dipaksa menikah dengan Angga. Lepas, tapi malah lepas ke sarang tua bangka seperti Widodo. Dipikir pake otak kualitas kw pun akan sangat jelas kalau nasibnya mungkin akan lebih baik bersama Angga daripada bersama Widodo. "Jagan berpikir terlalu lama. Aku menyelamatkanmu tadi bahkan tak memikirkannya terlebih dahulu." "Tak berpikir apa? Om kan memang sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari. Pantas saja dari beberapa hari kebelakang, Om selalu merecoki hidupku. Tenyata ini," oceh Nessa. "Tinggal jawab, mau bersamaku atau Widodo?!" "I-iya ... baiklah. Aku sama Om aja," jawab Nessa berat. Ini lebih berat daripada mencari jawaban soal Fisika yang menurutnya sangat menguras keringat di otaknya. "Oke. Jawaban sudah ku dapatkan. Besok kita lanjutkan lagi. Sana tidur," suruh Angga sambil berlalu pergi dari hadapan Nessa. Gadis malang mungkin itulah sapaan yang pantas untuk dirinya. Bagaimana tidak, saat ini garis hidupnya seolah berada di tangan orang lain seperti Angga. Bodoh! Itu jugalah yang pantas untuk menilai dirinya. Ia seolah menjual hidupnya demi uang. Terpaksa, ia juga tak ingin menghabiskan hidupnya dengan menjadi jaminan dari sebuah hutang di tangan orang seperti Widodo. Malam seolah berlalu sangat lambat. Ia coba untuk hanyut dalam tidurnya, tapi tetap tak bisa. Pikirannya melayang seperti daun maple kering yang bertebaran di jalan. "Saat ini masalah dengan Widodo berakhir. Mulai sekarang, aku hidup dengan masalah baru yang diciptakan oleh om-om menyebalkan itu," geram Nessa sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Tenang, ia tak sedang berniat bunuh diri kok. Otaknya masih berada di jalur yang benar. Miskin boleh, b**o jangan sampai. Pagi ini, yang lebih tepatnya waktu sudah menunjukkan pukul 9 dan Nessa masih bergumul dibalik selimut tebalnya. Maklum saja, semalam ia telat tidur, otomatis ia juga jadi telat bangun. Apalagi tempat tidur dan kamar ini benar-benar membuat dirinya ingin tidur lebih lama lagi. Tapi bukan berniat mati suri loh. "Heii ... bangun," ujar seseorang. Ya ... ia bisa mendengar itu dengan jelas. Tapi tak merespon, karena menganggap itu hanyalah suara angin yang tiba-tiba bicara di telinganya. Jadi, abaikan saja. Tapi, ia langsung kaget dan terbangun karena tiba-tiba seseorang membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Bagaimana tidak, pakaian yang ia kenakan saat ini masih dress kekurangan bahan yang dipaksa oleh orang suruhan widodo untuk mengenakannya. "Om!!!!!" Ia berteriak sambil melempar sebuah guling ke arah Angga. Astaga! Sepertinya dia benar-benar masuk kategori om-om m***m. "Jangan berteriak," respon Angga sambil melempar balik guling yang tadi dilemparkan Nessa padanya. "Om nggak sopan banget, sih. Harusnya ketok pintu dulu, kalau aku ijinin masuk, baru boleh masuk. Coba tadi kalau posisinya aku lagi ganti baju, gimana?" Senyum terukir di sudut bibir Angga. "Gimana? Ya kalau aku tertarik padamu, tanpa persetujuanmu pun aku bisa mendapatkannya. Sayangnya aku nggak minat." "Ck ... dasar! Menyebalkan!" "Sudah, jangan terus berdebat denganku. Hari ini aku akan membawamu bertemu dengan orang tuaku. Jadi, bersiaplah." "Tapi ..." "Dan jangan mempermalukan ku," timpal Angga langsung membuat perkataan Nessa terhenti. "Bisa tidak, kalau aku bicara jangan diserobot dulu?" tanya Nessa, membuat langkah cowok itu terhenti. Dia kembali berbalik dan duduk berhadap-hadapan dengan Nessa. Tiba-tiba ia merasa deg-deg'an lagi. "Tentu saja tidak." Angga meletakkan telapak tangannya di atas kepala Nessa. "Karena hidup kamu mulai sekarang ada dalam aturanku. Jadi, jangan sampai membuatku marah ataupun kesal. Aku, tak sebaik yang kamu lihat. Jadi, jaga saja sikapmu padaku kalau memang ingin baik-baik saja. Paham?" Entah sedang terhipnotis dengan perkataan yang keluar dari bibir Angga hingga Nessa hanya memberikan anggukan sebagai jawabannya. Padahal dalam hatinya ia sudah merasa sangat geram. Ingin rasanya kukunya yang panjang mencakar wajah Angga. Tapi, tetap tak bisa. "Bagus," balas Angga sambil mengacak rambut Nessa lembut dan berlalu pergi. Gadis itu masih diam membisu. Hingga saat bunyi pintu yang tertutup membuyarkan lamunan gilanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD