Part. 4 Kiss Me

1557 Words
Tidak seperti keluarga Shane, yang tidak memperbolehkan anak-anaknya tinggal diluar rumah kecuali setelah menikah. Keluarga Rio justru membebaskan anak-anaknya memilih tempat tinggal sendiri setelah mereka lulus kuliah. Seperti Kinara yang lebih sering tinggal di apartementnya setelah mendapatkan gelar dokter, atau Kevin yang baru beberapa hari kembali ke Indonesia lebih memilih membeli rumah di kawasan elit. Kecuali Keysha yang memang masih kuliah dan nampak tidak tertarik untuk tinggal berjauhan dengan kedua orangtuanya, mengingat sifatnya yang manja. Kevin membeli rumah mewah dua lantai yang dibelakangnya terdapat kolam renang dan beberapa pohon. Suasananya memang diubah menjadi terlihat hangat dengan lampu yang agak redup dan cat kecoklatan di sisi temboknya. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi yang menghadap kolam renang, tangannya asik menggeser-geser layaripad di hadapan. Sebuah grafik yang melonjak signifikan, bukti kalau usaha yang dirintisnya semakin sukses. Dan rekeningnya yang semakin terisi penuh. Tidak sia-sia dia menghabiskan belasan tahun di luar negri jika hasil yang diraihnya seperti ini. Tinggal menunggu waktu untuk dapat menikmatinya bersama Marsha, wanita yang dicintainya. Wanita yang masih saja berpura-pura akan perasaannya. Kevin yakin bahwa selama ini Marsha sudah menaruh hati padanya, hanya saja benar yang dikatakan Marchell wanita itu mempunyai gengsi yang besar. Sama seperti tahun-tahun dimana Marchell mengunjunginya, namun Marsha selalu menolak untuk ikut, namun ketika Marchell pulang, dia akan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan konyol. Sedang apa wanita itu? *** Duo kembar Marchell dan Marsha melakukan Video call di depan laptop, yang terhubung dengan mamanya di negeri nun jauh disana. Thea yang berlatar belakang rumah sakit, nampak setia menemani Shane yang terbaring di ranjang. “Kalian sudah makan malam?” Thea mengclose up wajahnya, sementara Marchell merangkul Marsha yang menghadap ke layar laptop miliknya. “Udah ma, gimana operasi papa? Maaf ya kami gak bisa nemenin kesana, Marsha nih sibuk banget.” Marchell mengerucutkan bibirnya, sebal karena Marsha bahkan tak bisa lepas dari pekerjaannya meskipun sudah mendapatkan investor baru. “Operasinya lancar, tapi papa masih butuh istirahat, minggu depan mungkin kita pulang.” “Oke ma, bilang papa urusan kerjaan lancar papa gak usah khawatir, nikmatin liburannya sekalian honeymoon ke lima ratus kali.” Ledek Marsha yang dibalas anggukan antusias oleh Marchell “Jangan lupa pulang bawa adik ya ma, yang lucu.” Marchell memamerkan deretan giginya yang putih. Tersenyum nakal ke wajah mama yang sudah merona. “Apaan sih kalian, kami ini udah tua gak bisa punya anak lagi, mending kalian cepat-cepat nikah kasih kami cucu, oke!” Thea mengedipkan matanya, lalu memberi salam singkat dan menutup panggilannya. Jika difikirkan maka keinginan Marchell dan Marsha sama, mereka ingin membina rumah tangga yang harmonis seperti yang orangtuanya lakukan. Mereka adalah contoh teladan yang patut ditiru, di usianya yang sudah setengah abad, mereka masih terlihat saling mencintai. Meskipun terkadang ada silang pendapat kecil, namun tak memudarkan binar cinta yang terpancar diantara keduanya. *** Kevin mengetuk pintu ruangan Marsha, setelah wanita itu mempersilahkan masuk, tanpa canggung Kevin melangkahkan kakinya kedalam, sambil menatap keliling pada ruangan besar itu. Tidak terlalu banyak barang disana, meskipun jabatan Marsha sekarang sudah naik menjadi CEO. “Ada apa?” Marsha menopang dagunya. Kevin pun duduk di hadapannya. “Kemarin aku udah minta ruangan kan? Apa sudah disiapkan?” Kevin bersandar pada kursi putar yang didudukinya. Lalu Marsha mendial telepon melakukan panggilan ke sekretarisnya. Tak berapa lama, sekretaris Marsha yang bernama Reni masuk dan membungkuk hormat pada Kevin. “Ren, antar Pak Kevin ke ruang direksi ya, sudah rapi kan ruangannya?” “Sudah bu, mari pak,” Reni mempersilahkan Kevin mengikutinya, tentu saja mata wanita itu tetap tak lepas menatap kagum pada pria yang bersamanya. Bahkan Marsha merasa sekretarisnya ini agak centil, terlihat dari lipstiknya yang cukup tebal. Mungkin sebelum masuk ke ruangan Marsha, wanita itu memoles lagi pemerah bibirnya. Entahlah Marsha lebih memilih acuh dan menatap kembali laporan pemasukan yang dikirim dari beberapa hotel diluar kota. Jika sudah memegang kerjaan, Marsha seringkali lupa waktu. Sedari kecil dia suka sekali dengan kesibukan. Bahkan dia cenderung membenci bermalas-malasan. Beda dengan Marchell yang kadang bisa tiduran seharian di kamar. Jika liburan tiba pun Marsha lebih suka membaca buku atau membuat miniatur hotel. Hingga tak heran jika dia mengambil kuliah jurusan bisnis dan bertekad untuk meneruskan perusahaan orangtuanya. Sedangkan Marchell, meskipun sudah mempunyai restoran sendiri, dia masih sering terlihat santai dirumah. Dia tidak suka menghabiskan waktu dengan melakukan sesuatu yang rumit, memikirkan hal-hal yang membuat kepala rasanya ingin pecah. Padahal ketika sekolah dan kuliah pun nilainya selalu bagus meski tidak belajar sepenuh hati, apalagi jika dia berlajar dengan serius, mungkin di usianya yang sekarang dia bisa menjadi professor. “Makan siang bareng yuk,” Marsha mendongak, melihat suara yang tiba-tiba saja membuyarkan konsentrasinya melihat proposal dari beberapa arsistek untuk merenovasi hotelnya. Dia mengalihkan pandangan ke jam tangan, sudah masuk waktu makan siang. “Aku lagi banyak kerjaan,” Marsha kembali menekuri proposal itu, hingga Kevin, pria yang mengajaknya makan itu dengan paksa menarik kertas yang dipegang dan duduk di meja Marsha. “Kalau gitu, kita makan disini aja.” Kevin menaik turunkan alisnya, lalu menelepon assistennya untuk dibawakan makanan ke ruangan Marsha. Marsha mendekap tangannya dan bersandar di kursi. Tangannya menggulung rambut ke atas, menonjolkan leher jenjangnya. Semua tak lepas dari pandangan Kevin. Lelaki itu bahkan meneguk salivanya dengan kasar, bibirnya terasa ingin melahap leher itu, meninggalkan tanda merah disana. Berkali-kali Kevin menggeleng, mengenyahkan fikiran kotornya, namun godaan di hadapannya sungguh tak bisa teralihkan. Diapun memajukan wajahnya menatap mata Marsha, dan mencuri ciumannya secepat kilat. Marsha mendorong kursi mundur, namun pegangan Kevin pada kursi itu membuat hal yang dilakukannya sia-sia. Marhsa melotot, dari jarak sedekat ini dia bisa melihat mata Kevin yang terpejam dan masih tak ingin melepas bibirnya. “Sssttt..ooo..” Marsha ingin mengucapkan kata stop atau berhenti namun sial, huruf O yang keluar dari bibirnya justru membuat celah di bibir manis itu, hingga dengan mudah Kevin menyusupkan lidahnya disana, membelai halus saraf-saraf sensitif di mulut Marsha. Hingga wanita itu ikut terhanyut dan menghentikan penolakannya, dia bahkan nampak menikmati dan mengikuti permainan Kevin. Lelaki itu merupakan pencium yang ulung, karena dengan kemampuannya, Marsha yang tadinya melakukan penolakan pun ikut terlena. Lama mereka saling berpagutan. Hingga terdengar suara ketokan pintu yang membuat keduanya menarik diri. Wajah Marsha memerah, malu karena pertahanannya sudah jebol. Sementara Kevin tersenyum sambil memegang bibir dengan jempolnya, berusaha menghapus sisa lipstik Marsha yang menempel disana. “Ma..Masuk,” suara Marsha terdengar serak, dengan kasar dia mengelap bibirnya yang dia yakin sekarang pasti ukurannya lebih besar karena bengkak akibat ciuman panas Kevin barusan. Reni menghampiri Marsha yang masih terlihat salah tingkah, pandangannya beralih ke Kevin dan bibirnya tersenyum melihat lelaki itu yang terlihat cool. “Ada apa Ren?” Marsha mengalihkan Reni yang mendadak dungu karena menatap wajah Kevin, mungkin saja dia sedang berimajinasi liar sekarang. “Hmm,, itu bu.. ada petugas katering di depan.” “Oh, persilahkan masuk, saya yang pesan tadi.” Ucap Kevin tanpa persetujuan dari Marsha. Setelah Marsha mengangguk, baru kemudia Reni beringsut menjauh dan membuka pintu seluruhnya agar petugas katering pesanan Kevin bisa menata makanannya disana. Menata? Ya ternyata Kevin tidak hanya memesan satu menu, karena beberapa orang yang masuk ke dalam dan mulai membuka plastik wrap yang menutupi piring-piring di hadapannya. Bukan menu sederhana yang dipesannya, melainkan menu komplit, bahkan sampaidessertnya disiapkan. Setelah petugas itu berlalu, Marsha berjalan dengan mata terbelalak ke arah meja yang sekarang disulapnya menjadi meja restauran. “Kamu mau pamer hah!” Marsha duduk di Sofa dan Kevin pun mengambil bagian disampingnya. “Kenapa? Kamu harus banyak makan biar tubuhnya berisi dan enak dipeluk.” Kevin terkekeh, sementara Marsha mengerucutkan bibirnya. Dia membuka sumpit dan mulai mencicipi makanan berupa dari anekaSea food. “Hmmm enak,” Marsha menikmati setiap makanan yang masuk ke mulutnya, sementara Kevin masih tak lepas memandangi wanita di hadapannya. “Ayo makan, jangan bengong.” Ucap Marsha masih tak mengalihkan pandangannya, lalu Kevin mengambil udang saus pedas dan menyuapi Marsha. Entah terbawa perasaan lapar, entah karena enaknya masakan itu, Marsha menurut saja di suapi oleh Kevin, hingga lelaki itu tak bisa menahan senyumnya dan ikut larut memakan menu yang tadi dipesannya. “Gimana enak gak?” tanya Kevin, Marsha mengangguk, tangannya masih sibuk menyuap makanan itu satu persatu. “Mau lagi?” mata Marsha membulat sempurna, ini saja belum habis, masa Kevin menawarinya makanan lagi. “Ini aja belum habis.” Kevin menangkup dagu Marsha dan menarik hingga mereka bertatapan. Lalu Kevin memajukan bibirnya ingin mencium Marsha, tapi naas sumpit yang dipegang Marsha sudah lebih dulu menempel di bibir itu. “m***m!” Kevin terkekeh dan melepaskan pegangannya di dagu Marsha. “Tapi enakkan? Jujur deh kamu nikmatin kan?” Kevin mengangkat kedua alisnya, membuat wajah Marsha merona. “Diem deh!” “Enggak,” Kevin tak kalah keras, “Berisik!” Marsha menutup mulut Kevin dengan tangannya lalu Kevin menggelitiki pinggang Marsha sampai wanita itu tertawa terbahak-bahak, dan memang pinggang merupakan area paling sensitif bagi Marsha, dia tak akan tahan jika seseorang menggelitikinya di bagian situ. “Stop Vin, adududuh..” Tubuh Marsha menjadi lemas dan ingin jatuh, dengan cepat Kevin menangkap punggungnya hingga mereka bertindihan di atas Sofa. Lama mereka bertatapan, entah siapa yang memulai karena kini sepasang muda mudi itu sudah saling mencumbu lagi. Menyalurkan rasa yang lama terpendam, kerinduan yang membuncah tanpa bisa dibendung lagi. Karena untuk pertama kalinya mereka saling terbuka dengan apa yang dirasakannya tanpa penutup lagi. Dan hubungan keduanya pun akan jauh lebih dekat setelah penyatuan ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD