Halaman belakang rumah Kevin sedang ramai sekarang. Disana terdapat Kevin tentunya, Marsha, Marchell, Kinara dan Keysha. Mereka asik menikmati Pizza dengan minuman bersoda yang dicampur dengan gumpalan es batu.
Keysha dan Marsha tentu yang mendominasi percakapan, sesekali Marchell menimpali sementara Kevin dan Kinara lebih memilih menikmati masa-masa ini. Masa dimana mereka merasa nyaman bersama-sama, persis seperti mereka kecil dahulu.
Sebelum Kevin meninggalkan Indonesia. Dua keluarga itu biasa menghabiskan liburan bersama.
Setelah itu semuanya tak sama, mereka tetap berlibur bersama tapi tanpa Kevin dan tidak sesering biasanya.
“Aku angkat telepon dulu, dari rumah sakit takut penting.” Kinara bangkit dan menjauh dari sana, lalu Marchell mengekornya dengan alasan ingin menelepon pihak restauran.
Kini hanya tinggal Marsha, Kevin dan Keysha. Hingga kemudian Marsha merasa sesuatu ingin melesak keluar dari tubuhnya dan memang harus di keluarkan.
“Aku mau ke toilet dulu ya,” Marsha bergegas dengan agak cepat, karena dia tak bisa menahan pipis.
Keysha memanyunkan bibirnya sambil menegak cola yang hampir habis, Kevin ingin menuanginya lagi namun soda di botol juga sudah habis.
“Kaka ambil minuman lagi ya,” tanpa jawaban Keysha, dia sudah pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Membuat Keysha semakin cemberut.
Di halaman depan, Kinara mematikan ponselnya, bukan sesuatu yang terlalu penting ternyata. Dia terlonjak kaget melihat Marchell yang sudah bersedekap dengan punggung menempel di tembok.
“Ngagetin aja kamu!” Kinara berjalan di samping Marchell namun dengan sigap lelaki itu menangkap tangan Kinara dan menariknya, dia membalikkan tubuhnya. Hingga Kinara tersudut di tembok.
Marchell memenjarakan Kinara dengan kedua lengan kokohnya lalu menghirup nafas Kinara dalam- dalam. Bibirnya tersenyum tipis dengan jarinya diusap ke bibir Kinara lalu jemari itu turun ke dagu dan belahan d**a wanita itu.
Hal kecil yang selalu membuat Kinara tak bisa menolak setiap belaian yang diberikan Marchell kepadanya.
Bahkan hanya dengan belaian itu saja Kinara bisa merasa melambung tinggi. Dan semakin terhanyut dalam perasaannya.
Mata Kinara seolah menyorotkan kehausan, haus akan ciuman Marchell yang memabukkan. Dan diapun melumat bibir lelaki di hadapannya. Tangan Kinara mengusap punggung Marchell dan menekannya lebih kuat agar bisa menyatukan tubuhnya.
Marsha keluar dari toilet dan mengerutkan keningnya ketika melihat Kevin sedang membungkuk di depan Kulkas besar. Setelah menemukan yang dicari, Kevin segera membalikkan tubuhnya dan terkesiap kaget. Karena Marsha yang sudah berdiri di belakangnya.
Marsha terkekeh melihat ekspresi Kevin, lelaki itu langsung mengacak rambut Marsha dengan lembut. Membuat Marsha mengerucutkan bibir namun dia pula yang merapikan rambut Marsha.
Saling bertatapan sedekat itu membuat Marsha tidak tahan lagi untuk tidak mengecup bibir yang ternyata rasanya sangat manis itu.
Diapun mendaratkan bibirnya sekilas, mata Kevin membelalak karena aksi Marsha yang tiba-tiba.
“Koq gitu?”
“Apanya?” Marsha menunduk menyembunyikan semburat merah wajahnya.
“Harusnya gini,” Kevin mengangkat dagu Marsha dan menempelkan bibirnya disana, perlahan namun pasti bibir yang menurut Marsha rasanya manis itu melumat bibir Marsha dengan ciuman menuntut, hingga akhirnya Marsha membuka celah bibirnya dan membiarkan Kevin masuk lebih dalam lagi.
Keysha dilanda kejenuhan, tenggorokannya sudah haus namun Kevin belum juga datang membawakan minuman. Apakah lelaki itu mengambil cola di Arab? Lama banget!
Akhirnya Keysha memutuskan mencari Kevin ke dalam, matanya membelalak melihat sepasang sejoli sedang memadu kasih di dapur, Kevin dan Marsha.
Keysha bahkan menutup mulutnya tak percaya, matanya mendelik jahil dengan langkah berjingkat dia menjauhi kedua orang yang sedang dilambung asmara itu.
Berfikir bahwa dia akan menceritakan berita bagus ini ke Kinara dan Marchell. Bahwa dua orang yang dari dulu jarang akur itu kini telah bersama.
Keysha celingukan di halaman depan, tak diketemukannya dua orang yang dicarinya. Diapun melangkah ke samping rumah. Kaget!
Dua kali dia kaget malam ini. Karena sekarang dia menyaksikan tubuh Marchell menekan tubuh Kinara ke tembok secara posessif. Bahkan terlihat jelas kalau tangan Kinara mengusap lembut punggung lelaki itu naik dan turun.
Entah kenapa hati Keysha mencelos. Bibir yang tadinya tersungging senyum kini memudar. Tak menyangka akan menerima kejutan mendadak seperti ini.
Mendapat kenyataan bahwa kedua kakaknya mencintai kakak beradik pula. Bolehkah?
Akhirnya Keysha memutar tumitnya dan kembali ke halaman belakang, berpura-pura kalau tidak terjadi apa-apa, kalau dia tidak melihat apa-apa. Meskipun entah kenapa? Hatinya terasa sakit melihat dua kejadian ini.
“Darimana kamu?” Kevin ternyata sudah duduk di tempat tadi bersama Marsha. Dia bahkan sudah menuangkan cola ke gelas Keysha. Gadis itu menenggak habis minumannya dan menuang lagi isi dari botol itu ke gelasnya sampai penuh.
“Jalan-jalan, bosen sendirian.” Kevin mengacak rambut Keysha, membuat Keysha berdecih kesal. Sementara Marsha hanya tertawa melihat ekspresi dua kakak beradik itu.
Kinara dan Marchell ikut bergabung seolah tidak terjadi sesuatu diantara mereka. Kali ini obrolan mereka tidak di d******i oleh Keysha, karena wanita itu lebih banyak bungkam. Takut salah bicara. Dia masih menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah mereka berempat sudah tahu apa yang terjadi?
Mungkinkah pasangan Marchell-Kinara atau Marsha dan Kevin yang akan bersanding ke pelaminan nanti?
***
Kinara mengunjungi pasien-pasiennya yang kini sedang berjemur di halaman rumah sakit. Sudah menjadi rutinitasnya bahwa setiap pagi dia akan menyempatkan diri berkeliling, selain sebagai dokter juga bertindak sebagai pemilik rumah sakit swasta ini.
Karena kepuasan pelanggan selalu menjadi yang nomor satu, baik itu dari pasien atau keluarga pasien sendiri. Yang memang merogoh kocek jauh lebih banyak dibandingkan biaya jika harus ke rumah sakit lain. Namun setidaknya dirumah sakit ini, mereka memang benar-benar di perhatikan dengan fasilitas peralatan dan kualitas dokter yang sangat baik.
Kinara mengernyitkan kening ketika melihat lelaki tua yang duduk sendirian dibawah pohon. Lelaki itu duduk di kursi roda dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya.
“Itu pasien yang kemarin masuk UGD?” tanya Kinara pada salah satu perawat yang merangkap sebagai assistennya dirumah sakit.
“Iya dokter, namanya Rick. Dia tidak mempunyai anggota keluarga. Yang membawa kesini pun assistennya.” Veli, asssiten Kinara menjelaskan riwayat penyakit yang diderita Rick. Kinara mengangguk dan menghampiri lelaki itu, sambil tangannya diangkat, melarang Veli mengikutinya.
Karena sesuai informasi dari Veli, bahwa Rick itu termasuk pria bertemperamen keras dan susah di dekati.
“Pagi bapak Rick.” Sapa Kinara, dia langsung duduk di kursi dekat Rick. Lelaki itu hanya menoleh sekilas dan membuang pandangannya kembali, acuh.
“Bagaimana kondisi bapak sekarang? Apakah ada yang membuat bapak tidak nyaman, oiya saya Kinara.” Kinara masih tersenyum meskipun tidak dibalas oleh Rick.
“Apa yang membuat pemilik rumah sakit seperti dirimu menghampiri lelaki tua penyakitan seperti saya?” jawab lelaki itu dingin. Kinara memutar bola matanya dan mengangguk. Mengerti bahwa lelaki ini pasti kesepian.
“Entah, mungkin karena aku merasa ini kewajibanku atau memang ini hobbiku,”
“Jadi hobi kamu, mencari tahu tentang hidup orang lain!” Alis Rick terangkat, pandangannya masih tak beralih menatap Kinara. Hingga wanita cantik itu tertawa.
“Bukan, aku hanya ingin tahu saja apakah ada sesuatu yang membuat bapak tidak nyaman?”
“Tidak ada,”
“Hmmm baik,” Kinara merasa mungkin yang dibutuhkan Rick adalah kesendirian, diapun berdiri untuk pamit namun deheman Rick menghentikan langkahnya.
“Saya sudah tidak sabar ingin bertemu istri saya,” Kinara memutuskan untuk duduk kembali,mendengar setiap kata yang diucapkan lelaki itu.
“Istri bapak dimana?”
“Saya yakin dia tengah bahagia di surga dengan anak kami.” Kinara terdiam, raut wajah Rick terlihat teduh, bahkan mata keriputnya kini nampak basah. Hingga Kinara mengusap lengan lelaki itu pelan, berusaha menyalurkan kekuatannya.
“Bapak mau cerita?” lelaki itu menatap Kinara sekilas, lalu kembali menatap kosong pada pemandangan di depannya.
“Kami saling mencintai, meski orangtua kami melarang. Dia merupakan wanita yang cantik dan pintar, berbagai cara kami lakukan agar kami bisa menikah. Termasuk menghamilinya,” Rick menarik nafas panjang. Lalu melanjutkan ceritanya, “Orangtua saya masih sangat kolot tapi dia tak ingin nama baiknya tercemar, akhirnya diapun menikahkan kami berdua.
Saat itu kami menjadi pasangan yang paling bahagia, hingga usia kandungan istri saya tujuh bulan, dia mengalami kontraksi hebat. Ternyata kami tidak menyadari kalau kanker juga bersarang di rahimnya, menyakitinya dan anak kami. Anak kami meninggal tanpa sempat dilahirkan.
Saya hanya bisa memeluk jasad anak kami, seorang bayi laki-laki yang tampan, sayang Tuhan tak memberikan kesempatan kami untuk bersama lebih lama.” Rick mengusap air mata dengan jarinya yang gemetaran. Kinara terenyuh dia memberikan Rick sapu tangan untuk mengelap air yang berjatuhan itu.
“Butuh waktu bertahun-tahun untuk merelakan kepergian jagoan kami, dan selama itu pula kami tidak dikaruniai anak, sampai akhirnya Tuhan mengambil dia dari pelukan saya, lima tahun yang lalu, tapi kamu tahu nak?” Kinara menggeleng masih dengan senyum menghias bibirnya meskipun matanya kini nampak sendu.
“Malam tadi dia datang, cantik sekali, dia datang bersama anak kami persis seperti dirinya ketika berusia tujuh belas tahun, dan bayi itu terlihat sehat sekali di pelukannya. Dia bilang sudah waktunya kita bersama.” Kinara tak bisa lagi membendung air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dia menggenggam erat jemari Rick.
“Kalau nanti saya kritis, tolong jangan selamatkan saya, karena saya pasti sedang berbahagia karena akan bertemu keluarga saya,” Kinara menggeleng, sebesar inikah perasaan cinta seseorang?
Dia bahkan rela meninggalkan semuanya di dunia ini, demi bersama keluarga yang terlebih dahulu meninggalkannya.
“Pak Rick, tidak baik ngomong seperti itu, sebagai dokter saya pasti akan berusaha menyelamatkan nyawa pasiennya, jika saya membiarkan bapak, itu sama saja saya melanggar sumpah yang telah saya ucapkan.” Rick mengangguk, dia paham mengenai profesi yang digeluti wanita di hadapannya.
Tapi cerita yang dipendamnya bertahun-tahun silam itu terasa melegakkan setelah diucapkan, setelah ada yang mendengarkan. Kinara melihat jam di tangannya dan mendorong kursi roda Rick, karena matahari yang semakin meninggi, sudah bukan waktunya lagi untuk berjemur.
Dengan lemah lebut dihelanya tubuh ringkih Rick ke atas tempat tidur ruangan VIP. Lalu Kinara menyelimuti Rick. Lelaki tua itu memegang tangan Kinara.
“Saya berharap bisa mempunyai pasangan seperti bapak, yang sangat mencintai istrinya dan cintanya tak pernah pudar meski sudah puluhan tahun lamanya.” Tapi Rick menggeleng.
“Saya justru berharap kamu bisa menemukan pria yang tidak hanya mencintai kamu, tapi bisa memberikan kebahagiaan untuk kamu, mempunyai keluarga kecil yang bahagia dengan kehadiran anak-anak disekitar kalian.” Kinara mengangguk, entah kenapa bayangan wajah Marchell terlintas begitu saja di benaknya.
Marchell yang terlihat dewasa, menggendong anak bayi, buah hati mereka. Menciuminya dengan penuh kasih sayang. Mungkinkah?
Kinara pun meninggalkan Rick yang nampak sudah tertidur pulas. Dia memegang dadanya yang terasa seperti ada lubang besar.
Hanya butuh waktu beberapa menit saja, membuat Kinara merasa sayang dengan pasiennya itu. Bahkan Kinara berjanji dalam hatinya bahwa dia akan menjaga Rick sepenuh hati, segenap jiwa. Dia akan mendampingi Rick di saat-saat yang mungkin krusial di hidupnya.
***