Part. 3 Little Love

1426 Words
Marsha sangat terkejut sampai berdiri, sementara Kevin terkekeh dan berjalan menghampirinya. Jarak mereka sangat dekat, terlalu dekat malah. Marsha bahkan bisa merasakan desah nafas Kevin yang beraturan menerpa wajahnya. “Jadi miss Marsha, apakah anda akan menarik investor anda dengan berpakaian seperti ini?” Kevin menjentik rok Marsha, hingga wajah wanita itu memerah, “Atau memang, setiap hari anda berpakaian seperti ini?” Kevin meletakkan tangannya di bahu Marsha seolah memeluknya lalu merasakan aroma tubuh Marsha dari ceruk lehernya. Marsha bergidik lalu beringsut menjauh. Kevin menyeringai dan duduk kembali di bangkunya dan menyaksikan Marsha yang masih terdiam. “Jangan main-main Vin,” Marsha menetralkan detak jantungnya yang tadi berdetak sangat cepat bahkan seolah-olah jantung itu ingin berlari meninggalkan sarangnya. “Ya sudah, silahkan mulai presentasinya.” Ruang rapat yang hanya berisikan dua orang itu mendadak gelap karena Marsha meredupkan lampunya dan menyalakanproyektor. “Sebelumnya izinkan saya bertanya, apakah kamu mampu menginvestasikan dana untuk perusahaan ini?” Marsha mencibir dengan sebelah alis yang terangkat. Lalu Kevin berdiri dan menggeser posisi Marsha, dia mencolokkan USB ke pc dan membuka slidenya. “Ini adalah perusahaan-perusahaan yang saya pegang sahamnya, tidak hanya bidang rumah sakit, namun kami sudah melebarkan sayap ke industri kosmetik, pangan dan sandang. Hanya satu saja yang belum kami miliki, yaitu industri perhotelan dan travel. Saya rasa perusahaan kamu akan bisa melengkapi puzzle ini.” Kevin memperlihatkan beberapa perusahaan yang dipegangnya. Dia memang tidak main-main dalam berbisnis. Semenjak SMA dia sudah mulai memegang bisnis kakeknya yang menjalankan rumah sakit terbesar di Korea Selatan, dia bahkan kuliah di Amerika lalu kembali ke Korea dan menjelajah berbagai negara untuk menyerap ilmu dan juga melebarkan sayap bisnisnya. Maka, diusianya yang kini baru menginjak dua puluh lima tahun, prestasi Kevin layak diacungi dua jempol. Dia sungguh menguasai strategi bisnis. Lalu Kevin menjentikkan jarinya ke kening Marsha dan berjalan dengan mendongakkan kepala ke kursinya yang semula, mempersilahkan Marsha memaparkan keuntungan jika berinvestasi di perusahaannya. Setelah beberapa perdebatan kecil mengenai investasi itu akhirnya mereka mencapai sebuah kesepakatan, dan Marsha pun meminta sekretarisnya mencatat point penting mengenai kontrak baru dan membuat draftnya. “Jadi kapan kita bisa tanda tangan kontrak?” Kevin menyangga kepalanya dengan tangan yang diletakkan dimeja, menatap Marsha di seberang mejanya dengan tatapan intens. “Secepatnya akan saya kabari anda,” Marsha berdiri dan menghampiri Kevin lalu dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, Kevin masih duduk lalu membalas uluran tangan Marsha dan menarik wanita itu hingga jatuh ke pelukannya. Marsha meronta dengan menepuk bahu Kevin berkali-kali tetapi lelaki yang kini badannya lebih besar dari Marsha itu semakin mengetatkan pelukannya. “Kenapa kita gak nikah aja? Dan bisnis kita akan semakin besar,” Kevin menaik turunkan alisnya, telunjuk Marsha terangkat ke kening Kevin. “Mimpi!!” lalu dengan sekuat tenaga dia bangun dan membereskan bajunya yang agak lecek. “Oiya Sha!” Kevin memanggil Marsha yang berniat meninggalkan ruangan itu karena dirasa urusannya sudah selesai. “Apalagi?” “Setelah tanda tangan kontrak, siapin satu ruangan buat aku oke, biar bagaimanapun aku pemegang saham kedua terbesar setelah kamu disini.” Kevin berjalan menghampiri Marsha dan berdiri di sampingnya, lalu mengecup pipi Marsha sekilas dan meninggalkan Marsha yang masih berteriak protes akan aksinya. “Kevin m***m!!!” untunglah ruang rapat terpisah dari lantai lainnya sehingga tidak ada orang disitu kecuali mereka berdua. “Sialan Kevin!” Marsha mengusap kasar pipinya, seolah-olah bibir Kevin adalah najis yang perlu dihindarinya. *** “Tumben pulang cepet.” Marchell yang duduk di ruang tivi langsung mematikan televisinya dan berjalan ke ruang makan, menghangatkan makanan untuk Marsha, dia tahu wanita itu pasti belum makan malam. “Iya, akhirnya kelar juga masalah investor.” Marsha menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menenggak air minum. “Gimana dengan Kevin?” Marchell membawa makanan ke hadapan Marsha, wanita itu membaui aroma masakan di piringnya dan mulai menyendok ayam rica-rica yang super pedas kesukaannya. Jika masalah masak Marchell lah juaranya, masakannya selalu enak dan menggugah selera. Dia sudah memberi tahu Marchell tadi bahwa calon investornya adalah Kevin sahabat mereka semasa kecil. “Gimana apanya?” “Ya hubungan kalian, ada peningkatan gak?” “Huh, kakak harus larang aku sama dia. Dia m***m tau!” Marchell mengangkat kedua alisnya nampak tertarik. “m***m gimana?” Marsha teringat dengan perbuatan Kevin yang tadi dilakukannya di kantor, tapi dia tak sampai menceritakan itu, karena sebuah perasaan aneh tiba-tiba menggelitik hatinya hingga menimbulkan desir yang tak beraturan. “Koq bengong?” Marchell menyapukan tangannya ke wajah Marsha yang sudah merona merah. “Gak mau inget ah,” Marsha membawa piring ke tempat pencuci piring lalu mencucinya dan meletakkan di rak basah. Dengan cepat tangannya menggapai tas yang tadi tergeletak di kursi dan berjalan ke kamar. Kepalanya harus disiram dengan air dingin sekarang, untuk menyadarkannya bahwa dia tak jatuh cinta dengan Kevin, tak boleh jatuh cinta secepat ini. Namun ternyata keinginan tak sejalan dengan ekpektasi, karena ketika menjejakkan kakinya di kamar, Marsha justru langsung rebahan dan memeluk gulingnya. Bibirnya bahkan tersenyum kecil, meski sekuat tenaga ditahannya. Selama ini dia memasang tampang kaku dan dingin di hadapan Kevin, seolah dirinya tidak perduli. Padahal sudah dari dulu di dalam hatinya terpatri nama Kevin. Sejak pertama kali lelaki itu mengikrarkan janji akan menikahinya. Sejak pertama kali lelaki kecil itu mengiriminya email dan cerita tentang kesehariannya. Lalu Marsha teringat kembali dengan tahun-tahun dimana Kevin mulai jarang mengiriminya email dan pesan. Mulai seolah menarik diri darinya, karena pesan yang dikirim Marsha hanya dibalas sekenanya saja. Ya Marsha ingat itu, dimulai sejak mereka SMA, jika difikir-fikir menurut penuturan Kevin tadi bahwa lelaki itu mulai debut bisnisnya ketika SMA, mungkin itu yang membuatnya tak sempat mengirim email. Lalu pipi Marsha bersemu kembali, berarti Kevin tidak sibuk karena mempunyai kekasih lain disana? Melainkan sibuk dengan bisnisnya. Sebuah chat masuk di handphone Marsha. Kevin : Belum tidur? Me : Belum, kenapa? Kevin : Jangan lupa mimpiin aku, mimpi basah ya kalau bisa :D (Icon senyum) Me : Dasar m***m!!! (Icon marah) Lalu kevin mengirimi sticker bergambar animasi cium dengan mata mengerling genit, Membuat Marsha menyunggingkan senyumnya semakin lebar. *** Kinara menyantap makan siangnya di kantin rumah sakit, sebagai dokter jaga UGD hari ini, dia merasa lelah sekali. Bahkan jam makan siangnya sudah terlewat dua jam lalu. Lalu seorang pria mengenakan jas putih duduk di hadapannya, dia juga seorang dokter di rumah sakit itu. Sama seperti Kinara. Wanita berwajah oriental itu tersenyum dan mempersilahkan rekan sejawatnya makan bersama. Mereka masih asik bercengkrama, ketika dengan tiba-tiba seorang cowok tinggi menarik kursi di samping Kinara, dan menatap lawan bicara wanita itu dengan tatapan dingin seolah ingin menghabisi lelaki itu. “Marchell!” Kinara tersentak, Marchell mendaratkan ciumannya di kening Kinara, sambil tatapannya tak lepas dari wajah pria di hadapannya, menandakan seolah Kinara adalah miliknya dan tidak boleh ada yang mengganggunya. “Aku balik duluan ya dokter,” lelaki itu beringsut menjauh dan membungkuk hormat pada Marchell yang tersenyum miring. “Hmmm,, sepertinya kamu populer banget disini. Berapa banyak cowok yang jatuh cinta sama kamu hah?!” Marchell memiringkan wajahnya menghadap Kinara. Sementara dokter wanita itu hanya menyantap makanannya acuh. Ketika tangannya ingin mengambil minuman, Marchell mendorong gelasnya menjauh. “Banyak banget sampai gak terhitung, kapan aku bisa menikah dan punya suami kalau kamu terus jauhin cowok-cowok yang naksir sama aku, Mister!!” Kinara menekankan kalimatnya lalu merebut gelas di tangan Marchell meminumnya sampai tandas. Hatinya panas, butuh air yang banyak untuk mendinginkannya. Panas dengan sikap Marchell yang menggantungkannya. Dia sangat mencintai lelaki itu, tapi apa yang dia dapat? Dirinya seolah hanya mainan di keseharian Marchell. Sementara Marchell bebas berpacaran dengan siapa saja yang dikehendakinya. Seorang wanita berpakaian perawat berlari menghampiri Kinara wajahnya terlihat pucat karena panik. “Bu Dokter, Pasien yang tadi mengalami kejang bu.” Ucap wanita itu sambil membetulkan letak kacamatanya. Kinara langsung berdiri  sementara tangannya di pegang oleh Marchell. “Ini Urgent Chell,” Kinara mengedikkan kepalanya ke arah perawat, memintanya untuk pergi terlebih dahulu. “Ini yang bikin aku masih ragu,” Marchell berdiri hingga Kinara harus mendongak untuk menatap matanya, “Kamu selalu lebih mentingin pasien dibanding aku.” Marchell mencium bibir Kinara sekilas, dan meninggalkan wanita itu yang terlihat menahan nafas. Mata Kinara mengerjap, dia melihat jam tangannya dan berlari, bukan ke arah Marchell melainkan ke arah sebaliknya, ke ruang UGD. Tentu Pasien adalah prioritasnya, Marchell tidak bertarung nyawa sekarang. Tidak seperti pasien-pasiennya yang kebanyakan hanya mempunyai presentasi hidup yang kecil jika tidak dilakukan pertolongan pertama segera. Di belakang pintu kantin, Marchell menatap punggung Kinara yang berlari menjauhinya hingga tidak terlihat lagi. Lututnya lemas, dia memilih bersandar pada tembok. Sementara tangan sebelahnya menekan d**a kuat-kuat. Sakit! Teramat sakit. *** --------- To Be Continued.... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD