Kisah Awal Anitta dan Johan (3)

1288 Words
Anitta POV Tak terasa sudah sebulan sejak teman sebangkuku berganti menjadi Johan. Selama itu pula aku jadi merasa sedikit dekat dengannya. Akhir-akhir ini pun selalu aku yang meluangkan waktu untuk merawat luka-lukanya. Meskipun pertanyaanku selalu nggak dijawab kalau menyangkut darimana luka-luka ini berasal. Hari-hariku lebih berwarna dengan rutinitas baru bersama Johan. Terkadang dia membuatku tertawa dan tersipu. Persaingan nilai yang biasanya menjadi obsesiku, tanpa sadar kulupakan. Karena Johan menyadarkanku bahwa menikmati waktu di sekolah bersamanya lebih menyenangkan dibandingkan dengan memikirkan nilai-nilai yang hanya sekedar angka. Tapi tetap aku mengerti batasku. Tak pernah nilaiku dibawah 90, karena Johanku ikut mengajariku pada materi-materi yang belum kumengerti. Saat itulah aku sadar, nggak mungkin aku bisa mengalahkan Johan yang terlampau pintar dariku, bahkan bisa dibilang dia memang jenius. "Ehh Nit, kamu nyadar nggak sih, kalau Johan itu kayaknya suka sama kamu Nit?" tanya Reta saat kami berjalan santai menuju kantin sewaktu jam istirahat berlangsung. Di kesempatan ini aku memang nggak menghabiskan waktu istirahatku di rumah kaca seperti biasanya. Karena aku tahu Johan dalam keadaan baik-baik saja setelah beberapa kali kubantu merawat lukanya. "Enggak mungkinlah. Dia emang nggak bisa deket sama sembarang orang. Trus kebetulan aja dia milih duduk sebangku sama aku, jadi keliatanya deket sama aku, gitu aja" jelasku panjang lebar. "Ehh nggak gitu juga kali Nit. Meskipun si Johan itu terbilang anak baru, tapi masa iya dia masih gak bisa punya temen meskipun udah sekolah disini sampai satu semster, kan aneh? tapi ajaibnya dia cuman deket sama kamu, Nit" imbalnya tak kalah panjang. Pembicaraan ini segera aku alihkan dari pikiran Reta, karena sebenarnya aku paling malas membicarakan satu hal yang masih belum pasti dan menjurus pada dugaan semata. Toh kalau memang ingin kupastikan, bisa kutanyakan padanya hari ini karena aku juga akan kerumah Johan buat ngerjain tugas kelompok dengan teman sebangku. Tak terasa bel pertanda pulang telah berbunyi. Sore ini kami akan langsung menuju kerumah Johan untuk mengerjakan tugas kelompok karena tenggat pengumpulan tugasnya sudah dekat. Kami mengarah kerumahnya naik mobil anjem pribadi Johan. Benar yang dikatakan Reta, kalau Johan ini memang berasal dari keluarga terpandang dilihat dari fasilitas yang disedikan keluarganya seperti supir pribadi berpakaian rapi lengkap dengan mobil sedan keluaran terbaru yang kami naiki sekarang. Tak menunggu lama kami sudah sampai dirumah Johan karena jalanan dari sekolah menuju kompleks perumahan cukup senggang. Sudah beberapa kali aku kerumah ini tapi rasa kagumku masih belum hilang. Rumah dengan pilar-pilar besar sebagai penyangganya dicat putih dengan ornamen emas dibagian atas dan bawah pilar bergaya eropa itu terlihat cukup kokoh. Sepanjang memasuki rumah, furniture minimalis yang terlihat pas dengan nuansa cat blewah keemasan. Sehingga rumah ini terlihat cukup hangat dan nyaman untuk ditinggali sebuah keluarga besar. Kami langsung menuju ke kamar Johan. Sekilas kulihat ruang-ruang dalam rumah ini selalu sunyi. Seperti hanya Johan sendiri dan beberapa pelayannya saja yang menghuni rumah sebesar ini. Saat langkah kakiku masuk ke kamar Johan, sudah tersedia berbagai camilan yang sengaja disediakan untuk menemani kami megerjakan tugas. Johan terlihat malas melempar ranselnya kesembarang arah. Sikap ini membuatku gatal ingin mengomelinya, namun kutahan karena memang ini diluar urusanku. Nggak mungkin kan aku yang hanya teman sebangkunya ini berani mengomeli seorang tuan muda kaya raya. Sudah hampir satu jam kami habiskan untuk mengerjakan tugas. Tugas ini hampir rampung. Tapi pinggang dan punggungku terasa pegal semua. Ku coba merenggangkan seluruh otot-ototku yang kaku sambil berdiri. Mungkin karena aku terlalu bersemangat merenggang badan kekanan dan kekiri tanpa memikirkan keseimbangan sehingga tubuhku tergelincir. Aku menutup mata bersiap merasakan sakit, namun sakit itu tak kunjung datang. "Hei hati-hati dong, dirumahku banyak barang mahal, klo rusak gimana?" omel suara bass yang sangat kukenal. "Ehh iya maaf Jo, aku nggak sengaja" jawabku malu-malu sembari perlahan membuka mataku. Astaga ternyata posisiku sekarang berada diatas tubuh Johan. Bisa kurasakan d**a bidangnya itu. Sepertinya dia terbiasa berolahraga karena meskipun tertutup seragam lengkap, aku masih bisa merasakan otot-otot kekar didada dan perutnya itu. Hah apa sih yang aku pikirkan, batinku sambil merutuki kecerobohan sikapku memandangi bagian dadanya. Aku berusaha bangkit dari posisi memalukan ini, tapi Johan menahan punggungku sehingga aku tak bisa lolos. Aku memandanginya lekat. Apa maksud sebenarnya dari perlakuan ini. Masa sih yang dikatain Reta itu benar. "Kenapa?" tanyaku polos padanya. "Aku nggak tau, tapi boleh kan kayak gini bentar aja?" pintanya menunggu persetujuanku. Aku bingung dengan semua kode ini. Tapi tubuhku tiba-tiba menurut dan sontak kuletakkan kepalaku diatas d**a bidangnya itu. Ku dengar detak jantung Johan yang berdegup kencang sama seperti milikku. Seketika yang terlintas dipikiranku adalah ya dia pasti menyukaiku. Senyum merekah dibibirku. Perasaan senang yang amat sangat pertama kali menyeruak didadaku. Apakah aku juga menyukai Johan selama ini? Aku tidak tahu, karena Aku sendiri nggak pernah punya pengalaman menyukai apalagi berpacaran seperti murid SMA kebanyakan. "Mau begini terus sampai kapan sih, Jo?" tanyaku meskipun tersipu. "Kalau kamu capek, berdiri aja nggak papa" jawabnya datar Tanpa melihat raut wajahnya, aku mencoba berdiri dari posisiku. setelah aku berhasil duduk mandiri, Johan juga segera membenarkan posisi duduknya. Suasana menjadi canggung saat itu. Aku yakin, degup jantung kami berdua masih tak karuan karena kejadian tadi. "Sorry " kataku memecah keheningan diantara kami. Kuperhatikan Johan masih terpaku melihatku. Tatapan matanya setajam elang, seolah siap menerkam mangsanya. Aku kembali terhisap ke dalam tatapan mata gelap itu seperti terjebak dalam medan magnet. Tak ada kata yang terucap diantara kami. Namun tiba-tiba pandangan Johan melembut dan perlahan dia mendekatiku. Gerakannya menuju kearahku. Aku tahu sekarang sorot matanya melihat dibagian bibirku. Saat aku menyadari itu, refleks aku memejamkan mata seolah bersiap mendapat kejutan yang akan diberikan Johan. Tak lama bibir kami bertaut. Cukup lama namun pasif. Satu fakta yang aku tahu sepertinya aku lah orang pertama yang menikmati bibir lembut Johan. Saat bibir kami mulai berjarak, ku buka mataku dan ku tatap intens sorot mata gelap yang masih mengintai bibirku. "Ini maksudnya apa ya Jo? Aku nggak ngerti kenapa kamu ngegituin aku?" tanyaku cepat meminta penjelasannya. " Aku juga nggak tahu. Tapi yang pasti sekarang kamu itu milikku, Nit" jawabnya tanpa melepas pandangannya dari bibirku. Entah dia terlalu malu untuk menatap mataku atau sedang meredam keinginan untuk menciumku lagi. Namun aku yakin Johan masih ingin menciumku lagi dan akan mencari kesempatan itu. Aku bersiap mundur, tapi johan berusaha memangkas jarak yang aku ciptakan. "Enggak Jo ini salah! Kita disini buat ngerjain tugas, kamu ingat kan! bukan malah kayak gini!" kataku mempertegas agar kita nggak ngelewatin batas. Terlihat ekspresi nggak setuju Johan yang memaksanya meredam emosi kecewa yang tiba-tiba merasukinya. Ku lihat dia meraup wajahnya dengan kasar dan menyugar rambutnya frustasi, seperti sedang menahan kekecewaan besar atas apa yang aku katakan. "Kamu dan aku masih belum paham perasaan masing-masing Jo, dan kita nggak bisa bertindak lebih jauh sebelum itu" jelasku untuk menghilangkan kekecewaannya. Memang benar kata orang tua, kalau berduaan dalam satu ruang tertutup antara cewek dan cowok yang ketiganya pasti setan. Lantas Johan berdiri cepat, sedang aku masih terduduk diposisi yang sama. Awalnya dia membelakangiku, namun sedetik kemudian dia menoleh dan menatapku intens. "Kalau begitu, mulai sekarang diperjelas aja kamu jadi pacarku. Ehh bukan, lebih tepatnya kamu jadi milikku" katanya spontan dengan sedikit kegugupan terselip. Aku nggak bisa menahan tawa. Aku memang belum pernah pacaran, tapi aku nggak nyangka bakalan menerima pernyataan cinta yang sekonyol ini dari laki-laki dengan gengsi yang begitu tinggi. "Kok malah ketawa sih?" "Terus kamu mau aku gimana Jo?" "Yah, kamu jawablah. Ehh enggak, kamu harus mau" "Kalau aku nggak mau gimana dong?" "Hah?! ya gimana ya? nggak mungkin lah, pasti kamu mau, aku tahu itu" "Kamu itu cowok paling kepedean satu sekolah" "Bodo. Pokoknya mulai sekarang kamu jadi milik Johan Ardiansyah. Nggak boleh ada yang deketin kamu selain aku" Itulah percakapan singkat yang sepertinya tersirat pernyataan cinta seorang Johan padaku. Seperti tergelitik, aku terus saja mengembangkan senyum karena kekonyolan yang diperlihatkannya didepanku. Terlihat posesif, tapi entah kenapa aku menyukainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD