Kisah Awal Anitta dan Johan (2)

1109 Words
Anitta POV Sejak kejadian kunjungan rumah di hari itu, Johan hampir tidak pernah membolos. Hanya saja terkadang dia datang ke sekolah dengan kondisi lebam-lebam dan ada beberapa luka di sudut bibir serta pelipisnya. Aku heran dengannya. Jangan-jangan selama ini dia bolos sekolah untuk menutupi luka-luka itu. Sudah hampir dua bulan Johan selalu masuk sekolah meskipun dengan kondisi seperti itu. Teman-teman sekelas hanya berani menggunjing dibelakang, termasuk juga para guru. Saat mereka melihat luka-luka Johan, justru mereka malah menghindar. Aneh bukan, kenapa semua orang bersikap begitu padanya. Kenapa nggak ada satupun yang mau menanyakan perihal kondisinya yang selalu seperti itu atau menyarankan dia buat ke UKS. Tak terasa bel istirahat berdering. Pikiranku selalu terganggu dengan luka-luka itu. Akhirnya aku jadi nggak tahan untuk bersikap seolah aku nggak peduli. Meskipun dia anak baru yang nggak bisa bergaul dengan yang lain, tapi tetap dia teman sekelas yang mungkin seorang trouble maker tapi bagaimanapun juga dia tetap manusia. Dan sudah sewajarnya sesama manusia itu saling peduli satu sama lain, bukan?! Aku segera melangkahkan kaki keluar kelas menuju UKS untuk mengambil beberapa plester. Aku sudah hafal betul kemana Johan menghabiskan waktu istirahatnya, di rumah kaca taman belakang sekolah. Langkahku sudah dekat dengan sebuah pohon yang rindang tempatnya berteduh. Pohon ini berada pas disamping rumah kaca. Kulihat dari kejauhan, dia dengan tenangnya bersandar pada batang pohon sambil memejamkan mata. "Nih, pakailah!" kataku sambil menyodorkan plester jumbo bermotif bintang padanya. "Nggak usah, nanti bisa kering sendiri" jawabnya tanpa membuka matanya. Kesabaranku mulai diuji lagi. Mungkin hal ini juga yang membuat semua orang menghindarinya. Selain tampangnya yang terlihat semakin sangar dengan luka-luka, sikapnya itu juga menyebalkan. "Pantas saja aku yang jadi juara satu, standart pertolongan pertama untuk merawat luka aja nggak paham" timpalnya menambahi ketika tanganku seperti tak mau beranjak karena dia nggak mau menerima plester yang ku berikan. "Apa sih, kalau emang nggak mau pake ya udah, aku simpen lagi. Itung-itung hemat bisa dipake pas aku butuh" kataku sambil melengos pergi. "Aku kan udah bilang, nggak gitu cara ngerawat luka. kamu harus bersihin lukanya dulu baru dikasih plester" perintahnya sambil menarik tanganku sampai aku berbalik dan terhenyak mendekatinya. Entah karena kaget atau apa, yang jelas jantungku jadi berdegup tak karuan dibuatnya. Aku terdiam melongo untuk beberapa saat karena perlakuan itu. "Kok jatuhnya malah kayak diperintah ya?! aku perjelas ya boskuh, disini aku menawarkan bantuan bukan malah seenak jidat bisa disuruh-suruh" omelku sejenak setelah kewarasanku kembali. "Kalau mau ngebantu ya jangan setengah-setengah dong. Jangan jadi sama pasifnya kayak yang lain yang cuman bisa ngomongin aku dibelakang" timpalnya malas. Astaga jadi selama ini dia selalu tau kalau orang-orang ngomongin dia dibelakang. Tapi kenapa dia selalu diem aja sih, batinku. Aku jadi ngerasa kalau sebenernya Johan ini rapuh. Namun dia selalu berhasil membentengi perasaannya dengan tembok tebal yang menjulang tinggi. Sampai-sampai nggak ada yang menyadari apa yang sebenarnya dia rasakan. Seketika ada rasa penyesalan dihati saat mengingat bahwa aku yang memaksanya untuk ke sekolah. Jika tahu dia broken kayak gini, jelas memaksa bukanlah jawabannya. Keputusanku tetap sama, yaitu pergi dari taman belakang sesegera mungkin. Pikiranku melayang membayangkan perasaannya yang sebenarnya bukan urusanku. Tiba-tiba saja tangan dan kakiku bergerak sendiri kembali ke UKS untuk mengambil betadine dan kapas untuk membersihkan lukanya sebelum diplester sesuai dengan arahan Johan padaku. Ketika aku kembali ke taman, dia masih belum beranjak dari tempatnya. Perlahan aku sapukan kapas yang sudah dilumuri betadine itu pada luka yang ada disudut bibir dan pelipis Johan. Cukup serius aku berusaha membersihkan darah yang sudah mengering itu. aku sapukan perlahan seolah aku mengerti bahwa luka itu pasti akan perih jika dibersihkan. Tapi Johan tak menunjukkan gerakan yang berarti seperti asumsiku. Tak sadar aku jika Johan memperhatikanku entah sejak kapan. Aku terdiam ketika aku menyadari dia memperhatikan aktifitasku. Agak lama kami berpandangan, hingga sepoi angin bertiup menyadarkan ku dari padangan mata kelam Johan yang tidak bisa aku hindari. "Sakitkah?" tanyaku memastikan. "Nggak, terusin aja" Kata-kata itu seolah membiusku. Nafasku jadi tak karuan tanpa sebab. Tanganku yang sedari tadi mengusapkan kapas betadine tiba-tiba berhenti. Jarak diantara kami cukup dekat, sengaja seperti ini karena memang aku cukup serius untuk membersihkan luka di sudut bibir Johan. Aku tak ingin dugaannya tepat bahwa kepedulianku setengah-setengah seperti yang lainnya. Sudah menjadi tabiatku yang tidak suka jika dibanding-bandingkan dengan yang lain, terlebih lagi jika disampaikan dengan nada menantang. Entah berapa lama waktu yang dihabiskan saat itu. Saat dimana kami berdua seperti patung batu yang kemudian dibuyarkan dengan bunyi bel pertanda istirahat sudah usai. Saat sudah sepenuhnya sadar, segera aku alihkan tanganku dan berusaha secepat mungkin menyabet plester dan menempelkannya secara tepat pada bagian luka. "Kenapa kamu mesti luka-luka seperti ini sih?! Lain kali nggak usah cari masalah kalau emang nggak bisa berantem" timpalku tanpa melihat sorot mata tajamnya yang masih terpaku melihatku. Segera aku bergegas berdiri dan mengajaknya kembali ke kelas. Tanpa menunggu persetujuannya, aku setengah berlari meninggalkannya. Tanpa sadar pipiku memerah memikirkan apa yang tadi telah aku lakukan. Astaga sebenarnya apa yang merasukiku sampai aku bisa melakukan hal seperti itu tadi. *** Esoknya, satu hal yang kusadari adalah hilangnya Reta dibangku sebelahku. Dibangku itu telah duduk seorang laki-laki yang tengah menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangan. Lebih mirip seorang siswa yang tertidur lelap saat jam kosong, tapi ini masih pagi. cowok berperawakan bidang yang dengan tak tahu malunya berselonjor malas meskipun bel masuk sekolah belum berbunyi. "Mana Reta? Dia nggak masuk? Terus ini siapa sih?" tanya ku kesal pada sosok yang seprtinya sedang berpura-pura tidur itu. "Ahh... Aku pindah dibelakang sini, Nit, Sorry ya nggak bilang-bilang dulu" sontak aku menoleh ke sumber suara itu dan menyipitkan mataku. "Terus yang duduk disebelahku ini siapa?" tanyaku pada Reta seperti sedang menagih pertanggungjawaban sedang Reta hanya memberi kode dengan menggerakkan kedua bahunya tanda tak tau. "Berisik. Tinggal duduk aja pake ngomel" jawab sosok itu sambil mengangkat kepalanya dan menoleh kepadaku. "Johan!!! kok jadi kamu seenaknya gini sih duduk disebelahku. Tempat dudukmu sendiri dimana, kenapa mendadak pindah gini sih?!" protesku padanya. Tanpa menanyakan bagaimana pendapatku dia menarik paksa tanganku hingga tubuhku terduduk disebelahnya. Aku masih nggak habis pikir, kok bisa dia bersikap seperti ini padahal aku udah terlanjur nyaman duduk sebangku dengan Reta selama ini. "Nah duduk diem gini kan enak. Pokoknya mulai hari ini kamu duduk disebelahku dan harus ngajarin aku semua biar aku nggak ketinggalan pelajaran, ya kan ketua kelas" jelasnya sambil menopangkan kepalanya pada satu tangan dan tersenyum lebar. Mendapat perlakuan ini seketika aku blushing. Entah seperti apa pandangan teman-teman sekelas lain yang melihat tingkah konyol Johan sekarang. Yang jelas aku malu banget dan nggak berani melihat gimana ekspresi teman-teman saat ini. Aku nggak pernah mendapat perlakuan kekanak-kanakan seperti ini. Ehh tapi kenapa malah jadi aku yang salting gini sih, gerutuku dalam hati sambil melepas ranselku perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD