Bertahan memasang wajah bingung setelah mendapat pertanyaan Willem, mata bocah lelaki mulai semakin cepat coba menyapu sekitar.
Bocah lelaki ini sendiri, meski berpenampilan cukup kotor, sekedar memakai celana pendek tanpa baju atasan layaknya anak-anak pribumi pada umumnya, tentu juga tak memakai alas kaki, menurut Willem, sebenarnya cukup rupawan jika dirawat dengan baik. Tak kalah dengan anak-anak Ningrat kaum pribumi.
Terlebih sorot mata penuh kecerdasan yang selalu ia tampilkan, licik tak henti coba mencari cara untuk kabur, benar-benar menambah minat Willem. Bagaimanapun juga, sangat jarang ada anak rakyat biasa kaum pribumi memiliki sorot mata seperti sedang ditampilkan oleh anak ini.
"Hei bocah…! Siapa namamu?" tanya Willem. Tak lagi mengejar untuk anak laki-laki menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Itu Tuan… Aku tadi cukup terburu-buru sehingga tak memikirkan apapun! Cepat mengambil paling dekat, Ayam Jago itu!" balas anak lelaki. Justru menjawab pertanyaan Willem diawal.
'Ohh… Semakin menarik! Lekas mencari celah, pengalih agar tak harus menyebut nama!' gumam Willem dalam hati. Berkembang malah semakin tajam tatapan matanya. Kini juga dibumbui senyum tipis sederhana sempat ia tampilkan, berkembang melebar membentuk seringai.
Tak henti mengikuti kemana arah pandangan bocah lelaki, sorot mata Willem menangkap perubahan riak ekspresi wajah saat tatapan Sang Bocah, sampai pada sudut tertentu belakang kandang ternak ayam.
"Aldert…! Pegangi dia!"
Secara tiba-tiba, Willem memberi intruksi kepada Aldert. Intruksi yang tak mendapat pertanyaan apapun untuk segera dilaksanakan oleh Asisten pribadinya tersebut.
"Ehhh…."
Tampak sudah hendak melangkah coba kabur. Bocah lelaki kaget saat itu Aldert, meraih pergelangan tangannya.
"Wardiman…! Coba periksa belakang kandang!"
Melanjutkan intruksi, Willem kini memberi arahan pada Wardiman.
"Siap Tuan….!"
Wardiman, menyempatkan membalas dengan intonasi nada suaranya yang khas. Sebelum cepat menarik lagi celurit-nya untuk berlari menuju belakang kandang ternak ayam.
"Hei…! Berhenti! Jika tidak, sekali salah satu dari kalian tertangkap, maka celurit ini yang akan bicara!" seru Wardiman gahar. Melempar peringatan saat melihat beberapa sosok bocah, lari tunggang langgang dari arah belakang kandang ternak ayam tepat bersama ia mulai mendekat.
Mendengar ancaman Wardiman sendiri, para bocah tampak ketakutan. Lekas menghentikan langkah secara bersama. Tak lagi coba kabur.
"Dasar bocah-bocah berandal! Jadi kalian ini satu komplotan!" maki Wardiman. Menendang salah satu bocah. Sebelum menarik dua sisanya untuk dibawah kepada Willem.
"Wahhh… Sepertinya komplotan kalian memiliki rasa kesetiakawanan yang bagus!" ucap Willem. Tepat disebelah bocah lelaki yang sedang dipegang erat Aldert pergelangan tangan-nya.
Aksi dari berhenti serentak tiga bocah pasca Wardiman mengucap ancaman, ditangkap oleh mata tajam Willem sebagai bentuk dari kesetiakawanan. Tiga bocah bisa saja bergerak menyebar. Membuat dua bisa lolos meski satu tertangkap. Namun memilih menghentikan aksi kabur, tak ingin satu kawan yang tertangkap, bernasib naas menjadi korban celurit Wardiman.
"Tuan… Mereka cuma menemani! Itu aku yang mencuri! Jadi tolong jangan hukum juga… Cukup aku saja tak apa-apa!"
Tak seperti sebelumnya, kini bocah lelaki benar-benar menampilkan sorot mata mengiba kepada Willem. jelas mencemaskan teman-temannya.
"Kuputuskan nanti! Sekarang kalian semua, ikut aku…!" balas Willem. Berjalan meninggalkan tempat bersama Aldert dan Wardiman, mengawal empat komplotan bocah pencuri.
Meninggalkan area kandang ternak ayam, Willem membawa untuk menuju gedung utama. Tepatnya memasuki ruang kerja pribadinya.
"Tuan… Sekarang aku tau siapa para berandalan kecil ini! Mereka pastinya adalah kompolotan yang beberapa waktu belakangan, sering meresahkan warga sekitar!"
Wardiman, membuka percakapan. Sebagai mantan Boss rampok, ia memiliki jaringan informasi cukup bagus dikalangan masyarakat umum. Terutama dikalangan dunia kriminal. Bagaimanapun juga, meski telah pensiun, nama Wardiman masih cukup tersohor.
"Itu kalian bukan, yang sering mencuri ternak warga? Khususnya ayam jago!" bentak Wardiman. Bentakan yang bersambut sekedar empat bocah, membisu. Bertahan menunduk hanya bisa menatap lantai. Memandangi kaki-kaki lusuh mereka yang tanpa sendal.
"Kau suka berjudi?" tanya Willem. Memecah keheningan.
Pertanyaan yang cepat membuat bocah lelaki tertangkap pertama, satu yang memiliki sorot mata penuh kecerdasan, mengangkat wajah untuk beberapa saat. Memandang Willem dengan wajah terkejut seolah sedang berkata 'Kok bisa tahu?'. Sebelum kemudian cepat kembali menunduk.
"Judi sabung ayam tentunya! Jenis yang kulihat cukup digemari kalangan masyarakat umum!" lanjut Willem. Saat tak mendengar balasan apapun keluar dari mulut bocah lelaki.
"Hei…! Tuan Willem bertanya! Apa kau bisu?" bentak Aldert.
"Anu… Iya…"
Merasa sosok Willem sangat menyeramkan. Dimana seolah bisa terus membaca pikirannya meski sedari tadi ia sudah berusaha tak banyak bicara, Bocah lelaki, tak punya pilihan selain menjawab jujur.
"Begitu…! Lalu, jawab dengan benar sekarang! Aku tak akan mengulang sekali lagi! Siapa namamu!" lanjut Willem. Kembali menanyakan nama. Tampak hanya tertarik pada bocah pertama. Sepenuhnya tak menaruh perhatian tiga yang lain.
"Ahh…"
Terlihat ragu, hati bocah lelaki segera menjadi dingin saat sapuan matanya, kebetulan melihat sosok Wardiman yang sudah kembali menggenggam gagang Celurit. Satu isyarat mengatakan jika berani tak mengikuti intruksi Tuan-nya, maka ia harus bicara dengan bilah celurit.
"Rojik Tuan… Saya Rojik…!" balas Bocah lelaki. Akhirnya mengenalkan nama.
"Hmmm… Jawab yang benar! Jangan coba berbohong!" dengus Aldert.
"Tidak… Aku tidak…"
"Aldert… Dia sudah jujur!" potong Willem. Tak melihat riak-riak ketidakjujuran dari sorot mata Rojik saat memperkenalkan nama. Sepenuhnya jatuh pada intimidasi permainan mental Willem yang dilengkapi aksi garang ancaman celurit Wardiman.
"Jadi Rojik, apakah kau sudah sarapan?" ucap Willem kemudian. Melempar pertanyaan yang tak terduga.
"Tuan?"
Bahkan Aldert, tampak tak mengerti kenapa tiba-tiba membahas tentang sarapan. Berlaku juga untuk Wardiman. Mengerutkan kening.
"Aldert…! Panggil bertugas di dapur untuk menyiapkan sarapan!" ucap Willem. Tak menjawab raut heran Aldert dan Wardiman. Juga empat bocah yang kini ikut memasang wajah tak mengerti. Saling tatap bingung satu sama lain.
"Baik…."
Tak berani membantah, Aldert sekedar bisa mengikuti intruksi. Pergi untuk memanggil petugas dapur menyiapkan sarapan.
Tak berselang terlalu lama dari Aldert kembali menjalankan intruksi, beberapa sosok petugas dapur datang menyiapkan meja. Mengisi meja makan telah disiapkan, dengan beberapa jenis hidangan khas Eropa biasa digemari oleh Willem.
"Hmmm… Selain roti selai, harus kuakui ayam goreng khas Jawa dengan bumbu rempah-nya, adalah yang terbaik!" ucap Willem. Menjadi pertama menyantap makanan saat yang lain berada di ruangan, bertahan diam.
"Aldert… Wardiman…! Ambil kursi!" lanjut Willem. Mempersilakan ikut bergabung.
Sedikit canggung, terutama Wardiman. Dua orang ini memutuskan mengikuti intruksi. Bergabung dimeja makan sama dengan Tuan-nya.
"Hei… Kalian juga boleh makan jika mau! Ayam goreng ini sangat lezat!"
Willem, melanjutkan dengan menatap empat bocah. Sementara Aldert dan Wardiman, relfek melempar pandangan tajam seolah berkata 'jangan berani-berani menerima tawaran'.
Empat bocah, kembali menampilkan wajah bingung. Tak tahu harus bagaimana.
"Ada empat kursi masih kosong! Cepat ambil tempat!"
Baru ketika Willem kembali mengucap kalimat, kini dengan intonasi nada sepenuhnya tegas, empat bocah tak berani untuk bahkan sekedar ragu. Reflek mengambil tempat duduk. Juga Wardiman dan Aldert. Cepat menarik tatapan mereka sebelumnya. Takut disadari oleh Willem.
"Aldert…! Ambilkan masing-masing satu potong ayam untuk mereka!"
Intruksi selanjutnya dari Willem, dilaksanakan dengan agak tak rela oleh Aldert. Memotong sekenanya satu ayam goreng diatas meja tak jauh dihadapannya. Sedikit melempar pada piring masing-masing bocah.
"Makan…!" dengus Aldert.
Mengikuti intruksi, dibawah tatapan tajam Aldert dan Wardiman, empat bocah mulai makan. Ayam goreng yang sejujurnya memang terasa sangat lezat, tak sempat dirasakan oleh keempat bocah. Memakan dengan terburu menelan cepat hanya beberapa kali kunyah.
"Rojik, kau berasal dari mana?" tanya Willem. Memecah keheningan sempat terjadi.
Sekali lagi, pertanyaan Willem bersambut wajah terkejut Rojik. Penasaran bagaimana Willem tahu kalau sebenarnya, ia bukan penduduk asli Surabaya.
"Itu Tuan, aku berasal dari pulau jauh! Kebetulan tersesat saat menyelinap salah satu kapal dagang! Tertinggal di pelabuhan Surabaya saat sempat berlabuh!" balas Rojik.
"Begitu? Apakah kau pernah sekolah?"
"Sekolah? Apa itu?"
Rojik, reflek bertanya balik. Tampak benar-benar tak mengerti. Coba menoleh untuk melihat kawan-kawannya. Meminta bantuan penjelasan. Tatapan yang bersambut gelengan masing-masing tiga kawan disekitar. Mereka tampak juga tak tahu.
"Jika kau mau tinggal, membantu aku disekitar, mungkin akan kupertimbangkan untuk memberi kesempatan sekolah! Kulihat kau juga dalam umur cukup!" ucap Willem.
"Tuan… Apa itu sekolah?" tanya Rojik sekali lagi.