(Sore harinya)
"Nahh… Mulai besok, kau akan bekerja disini! Kandang ternak ayam! Berkumpul dengan para ayam jago kegemaranmu!"
Willem, menampilkan senyum tipis sederhana saat mengantar Rojik dan tiga kawannya, kelokasi awal mereka tadi pagi tertangkap.
"Apa perlu kami kerjakan Tuan?" tanya Rojik bingung. Bocah berumur 12 tahun ini, tampak tak terlalu paham. Sedikit riak ketidaksenangan, juga tampil untuk dapat ditangkap Willem dari sorot matanya.
"Hmmmm… Apa masih perlu bertanya? Tentu saja merawat ayam! Kalian akan bertemu dengan pekerja yang sudah lebih dahulu bertugas disini besok pagi! Dia akan menjelaskan lebih lanjut tentang detailnya!" balas Willem.
"Aldert…! Sampaikan pada pekerja yang kumaksud ini untuk membimbing para bocah!" lanjut Willem. Sedikit melirik Aldert yang seperti biasa, setia menemani dibelakang punggung.
"Ya Tuan…!"
Aldert, lekas mengeluarkan sebuah buku catatan, membalik pada halaman jadwal esok hari. Menambahkan untuk di pagi hari, menyempatkan bertemu petugas kandang ternak ayam dimaksud oleh Willem.
"Kau tampak masih kurang puas dengan pengaturan ini." ucap Willem. Menyadari raut wajah Rojik. Juga tiga kawannya yang lain.
"Hei…! Belajar berterima kasih! Selain menawarkan sekolah dan pekerjaan, Tuan sudah bersedia memberi tempat tinggal! Meski memang sederhana, dan disebelah kandang ternak ayam, bukankah masih lebih baik dari pada tinggal dijalanan atau kebun orang!" dengus Wardiman.
Sebelumnya, tepat setelah sarapan pagi bersama, Willem memang menawarkan untuk empat bocah, tinggal di gubuk sederhana terletak disebelah kandang ayam. Tempat istirahat siang para pekerja yang jelas ketika malam, kosong tak dipergunakan.
"Bu… Bukan begitu Tuan… Kami hanya…"
Rojik, tampak bingung untuk menyampaikan tanggapan. Tertahan kalimat ditenggorokan saat merasa tak menemukan rangakaian kata tepat dapat digunakan sebagai balasan.
"Hmmm… Kalian mungkin belum paham! Jika kalian bekerja, akan ada upah untuk hasil pekerjaan kalian! Dengan kata lain, aku akan memberi Gulden sebagai bayaran!" ucap Willem.
"Gulden? Kau akan memberi kami Gulden jika bekerja?" tanya Rojik. Tampak menjadi cukup antusias.
"Yahh…! Sebagai awalan, setengah Gulden untuk dua hari kerja! Bagaimana?" tanya Willem.
"Ehhh… Setengah untuk dua hari? Seperti sangat sedikit?" tanya Rojik. Tampak reflek karena tak terlalu memahami sistem tukar mata uang Gulden.
"Sedikit kepalamu! Setengah Gulden sudah akan cukup bagi kalian untuk membeli tiga kilogram gula!" dengus Wardiman.
"Tiga kilo?"
Memasang wajah terkejut, sebelum berkembang berbinar sorot matanya, Rojik lekas menatap tiga kawan disebelah. Tatapan yang berambut sorot berbinar antusias sama.
"Tuan, kau tak sedang bercanda bukan?" tanya Rojik. Memastikan.
"Hmmmm…"
Mendengar pertanyaan, Willem merogoh saku-nya. Melempar empat koin masing-masing setengah Gulden kepada empat bocah. Dimana lekas dengan terburu menangkap koin setengah Gulden tersebut.
"Hehh… Ini tak bercanda! Gulden beneran!" ucap salah satu bocah. Menggigit koin setengah Gulden baru ia terima. Dari reaksi bersemangat keempat bocah yang memperlakukan koin setengah Gulden bagai itu harta paling berharga, menyimpan hati-hati disaku celana, jelas ini adalah pertama kali mereka memiliki Gulden.
"Anggap itu upah awal! Selain mendapat Gulden, Rojik, kau bisa memilih salah satu ayam jago yang menurutmu bagus, untuk bisa kau rawat! Terserah mau kau jadikan ayam sabung atau apa!" ucap Willem.
"Benar Tuan? Sungguh luar biasa! Mimpi apa aku semalam!" sahut Rojik. Dari pada mendapat Gulden, terlihat lebih bersemangat mendengar ia bisa memilih satu ayam jago untuk memenuhi kegemarannya adu sabung ayam.
"Jadi sudah kalian putuskan menerima pekerjaan ini?" tanya Willem.
"Tentu…!"
Keempat bocah, menjawab hampir serentak tanpa perlu berfikir.
"Bagus kalau begitu! Aldert! Besok pagi juga siapkan pakaian layak untuk mereka! Aku tak ingin pekerja yang bekerja untukku, tampil lusuh tak karuan! Hanya akan membuat mata ini gatal!" lanjut Willem. Memberi tugas tambahan kepada Aldert. Bersambut Asisten pribadinya tersebut, kembali mengeluarkan buku catatan. Sedikit menggerutu tak ikhlas, secara tak langsung bisa dikatakan melayani para bocah.
"Seperti para pekerja lain, akan ada bonus bagi kalian jika yang kalian kerjakan, memiliki hasil memuaskan!"
"Juga diakhir tahun, akan ada evaluasi, menentukan apakah kalian layak mendapat kenaikkan upah!"
"Bekerja sungguh-sungguh, mungkin tahun depan, upah kalian tak lagi setengah Gulden. Bisa 1 Gulden untuk dua hari kerja!"
Sempat memandang dengan sapuan pada empat bocah, sorot mata Willem terhenti pada Rojik.
"Khusus kau Rojik, satu atau dua minggu lagi akan kudaftarkan sekolah! Itu bersifat wajib!" gumam Willem.
'Lagi-lagi sekolah, apa sebenarnya itu?' gumam Rojik dalam hati, tak mengerti. Meski begitu, memutuskan sekedar mengangguk. Takut peluang bekerja mendapat Gulden dari Willem, batal jika ia menolak.
"Bagus…! Kalian bisa ambil waktu untuk istirahat sekarang!" tutup Willem. Seraya mulai berbalik untuk berjalan meninggalkan tempat.
"Hei… Ingat jangan ada yang coba kabur! Selama kalian masih di Surabaya, aku akan dapat menemukan dengan cukup mudah!" dengus Wardiman. Menyempatkan melempar ancaman.
"Sampai kalian mengecewakan Tuan setelah semua yang ia tawarkan! Bukan Wardiman lagi, tapi ini yang akan bicara!" tutup Wardiman. Menonjolkan gagang Celuritnya. Sebelum ikut melangkah pergi.
"Hei… Itu justru terlihat kita sedang disekap!" gumam salah satu bocah. Lirih. Sembari menatap canggung punggung Wardiman.
"Disekap dengan mendapat Gulden dan boleh memilih ayam jago?" balas Rojik. Tersenyum lebar.
"Hahhaha… Benar juga…"
Kalimat balasan yang segera bersambut tawa riang tiga kawannya.
Sementara itu pada lokasi lain, Aldert yang masih berjalan mengikuti punggung Willem, tampak tak sabar lagi menahan untuk tak bertanya.
"Tuan… Kenapa kau begitu murah hati pada mereka?" tanya Aldert.
"Murah hati? Siapa? Aku?"
Seperti biasa, Willem mengawali jawaban dengan melempar pertanyaan balik.
"Yah… Mereka jelas hanya sekedar kumpulan bocah pencuri! Calon-calon sampah masyarakat dimasa depan!" ucap Aldert.
"Hei Aldert! Aku sama sekali tak sedang bermurah hati!" balas Willem.
"Lalu?" kejar Aldert.
Wardiman yang sudah menyusul, ikut mendengarkan percakapan. Sejujurnya memiliki pemikiran heran sama dengan Aldert.
"Bocah-bocah itu, adalah investasi sosial yang sangat bagus!" ucap Willem.
"Investasi sosial?"
Aldert berkembang semakin bingung.
"Sederhananya, bisa juga dikatakan seperti ini. Segala kuberikan pada mereka, sekedar upah murah untuk menghasilkan calon-calon pekerja unggul yang loyal!"
"Kebetulan juga mereka masih bocah, jika itu tadi komplotan pencuri dewasa, mungkin akan lain ceritanya!" lanjut Willem.
"Jadi, karena aku merawat sedari bocah, terlebih mereka berasal dari jalanan, tak memiliki sanak saudara, maka empat anak itu akan merasa berhutang budi! Dan hutang budi, adalah jenis hutang yang sangat sukar untuk dilunasi!"
"Memiliki nilai tak terbatas!"
"Semua akan bermuara kembali pada keuntungan hanya untukku! Seperti sempat kusampaikan diawal, empat bocah ini memiliki potensi terbaik menjadi pekerja paling loyal!" tutup Willem.
Mendengar penjelasan Tuan-nya, baik itu Aldert maupun Wardiman, reflek saling tatap satu sama lain. Sejujurnya agak ngeri dengan bagaimana cara berfikir Willem.
"Hmmmm… Aldert, apa tak ada jadwal penting apapun untuk sore ini?" tanya Willem. Memecah keheningan sempat terjadi sepanjang perjalanan pasca ia tadi menyampaikan kalimat simpulan tentang motif memberi kesempatan pada empat bocah pencuri.
"Ahhh… Itu…"
Aldert, lekas membuka kembali buku catatan. Memeriksa jadwal untuk sore ini.
"Tuan, saudagar Tionghoa, Hong Kui, seharunya sudah menunggu diruang tamu! Ia memiliki jadwal untuk bertemu dengan anda! Membahas beberapa hal tentang bisnis ternak!" ucap Aldert.
"Hong Kui ya? Kudengar dia juga baru membuka tempat hiburan malam tak jauh dari sini!" balas Willem.
"Yah, baru seminggu! Ada kabar mengatakan ia hendak membuat acara khusus besok malam ditempat hiburannya! Mungkin itu juga menjadi salah satu pembahasan hendak diangkat dalam pertemuan nanti!" ucap Aldert.
"Ohh… Acara ajang promosi pastinya! Bagaimanapun juga, masih jarang ada tempat hiburan macam ini ditanah Hindia! Sekedar satu di Batavia setahuku!" tanggap Willem.
"Seharunya begitu!"
Sampai dipelataran gedung utama tempat kerja Willem, karena hari sudah menjelang sore, Wardiman pamit mempersiapkan kereta kuda.
Willem dan Aldert, melanjutkan memasuki ruang. Dan benar saja, sosok pria Tionghoa berperawakan khas, sudah menunggu diruang tamu.
"Tuan Willem…"
Pria Tionghoa, lekas berdiri untuk menyapa Willem saat melihat sosoknya datang memasuki ruang.
"Pastinya Hong Kui…! Mari keruang kerjaku agar lebih nyaman!" balas Willem. Menyambut sapaan sembari memasang senyum tipis sederhana.
"Aldert, sampaikan pada pekerja dapur menyiapkan teh!"
"Baik Tuan…"