5 - Keributan Kecil

1268 Words
Melanjutkan inspeksi, Willem beberapa kali tak sengaja mendengar percakapan antar para pekerja. "Apakah kau sudah pernah melihat langsung?" tanya salah satu pekerja acak. Kepada kawan disebelahnya. Sembari memerah ternak sapi, pekerja yang baru mendapat pertanyaan, memasang raut wajah bangga sebelum mulai berucap menanggapi. "Kebetulan aku memiliki banyak kerabat di Sidoarjo! Nah, tiap lebaran saat aku mengunjungi keluargaku, cukup beruntung mendapat kesempatan melihat langsung dengan mata kepala sendiri!" "Wahh… Wahh… Katakan, secantik yang selama ini diceritakan orang-orang?" "Bukan sekedar cantik lagi! Jika Dewi Shinta dalam kisah wayang Ramayana benar adanya, mungkin akan seperti dirinya ini!" Mendengar balasan, pekerja yang pertama membuka percakapan, lekas mengerutkan kening. Sebelum cepat berubah ekpsresi wajah menjadi tampak antusias. "Kecantikan yang menimbulkan perang besar wangsa manusia dan raksasa! Rama melawan Rahwana? Kau pasti bercanda!" "Tidak sama sekali! Aku tak bercanda! Kau berkata seperti itu cuma karena memang belum pernah melihat secara langsung!" "Hmmmm… Bikin penasaran! Lusa atau kapan, bagaimana kalau kita mengambil libur dihari yang sama! Kau harus mengantarkan aku kerumah saudaramu di Sidoarjo! Siapa tahu punya kesempatan melihat langsung." "Boleh…!" "Janji ya! Jangan khawatir! Nanti kutraktir kopi di warung sebelah!" "Pyuhh… Cuma kopi? Sekalian satu bungkus kretek!" "Kau ini… Ehhh…" Hendak menyampaikan tanggapan, kalimat salah satu pekerja lekas terhenti saat melihat sosok tertentu berjalan mendekat. "Wahhh… Tuan Willem! Selamat pagi…!" "Pagi Tuan Willem…!" Willem yang baru selesai memeriksa kondisi sapi ternak, melewati dua pekerjanya dengan menampilkan senyum tipis sederhana. "Pagi…! Sudah sarapan?" tanya Willem. Menyapa balik. "Sarapan terbaik warung depan Tuan… Satu pisang goreng panas, ditemani secangkir kopi dan sebatang kretek!" balas salah satu pekerja. Antusias tersenyum lebar. "Nahh… Begitu bagus! Setidaknya sarapan sebelum memulai hari!" tanggap Willem. Seraya terus berjalan. Tampak sudah akan keluar meninggalkan kandang ternak sapi. "Kau tahu, Tuan Willem ini adalah jenis terbaik!" "Ya… Aku setuju! Tak terbantahkan kalau itu!" Dua pekerja, menghentikan kerjaannya sekedar untuk terus menatap kagum punggung Willem. Baru mulai kembali melanjutkan pekerjaan dengan lebih bersemangat, saat sosok Willem tak lagi terlihat. Diluar Kandang ternak, Willem yang masih bertahan dengan langkah kaki santai hendak menuju lokasi inspeksi selanjutnya, ternyata cukup tertarik dengan topik pembahasan dua pekerja sempat tak sengaja ia dengar. "Secantik digambarkan Dewi Shinta dalam cerita pewayangan Ramayana?" gumam Willem. Tampak telah membaca beberapa kisah pewayangan yang memang menurutnya sangat menarik. Membuat ia cukup familiar dengan tokoh-tokoh karakter utama. Tentu salah satunya Dewi Shinta dalam kisah Ramayana. Istri Rama yang kemudian diculik oleh bangsa Raksasa. Hendak dipersunting oleh Raja mereka, Rahwana. Situasi yang kemudian menciptakan perang besar. Selain Ramayana, kisah pewayangan menurut Willem sangat menarik, itu adalah Mahabarata. Pertempuran epic Padang Kurusetra melibatkan sosok-sosok anak keturunan dewa Hindu, merupakan bagian favoritnya. Willem bahkan memiliki penilaian bahwa siapapun telah menulis Ramayana dan Mahabharata, jelas merupakan sosok jajaran Sastrawan terbaik. Tak kalah dengan Sastrawan Eropa. "Aldert… Kau tahu siapa sedang mereka bicarakan tadi?" tanya Willem. Mendengar Willem akhirnya membuka percakapan, Aldert yang sejak ditegur sekedar cuma bisa diam menunduk, kini lekas mengangkat wajah. Mendapat momen untuk coba berguna. Sifat penjilatnya bagai mekar kembali. "Tuan… Yang mereka maksud pasti adalah anak gadis dari Bupati Sidoarjo! Kalau tak salah, bernama Kirana!" balas Aldert cepat. Langsung pada intinya. Berupaya memuaskan Willem. "Kirana, Anak Bupati Sidoarjo?" gumam Willem. "Gadis ini memang sedang banyak diperbincangkan, Tuan. Bukan sekedar kalangan rakyat pribumi biasa, banyak ningrat pribumi serta bahkan anak Indo sering mengangkat topik tentangnya!" Aldert, lekas melanjutkan saat melihat Willem tampak masih cukup tertarik. Seolah baru menemukan tali penyelamat untuk mendapat keakraban lagi dengan Tuan-nya tersebut. "Kabar terbaru, Bupati Tuban datang melakukan kunjungan untuk menjajaki apakah ada kemungkinan bagi putranya, dimana jatuh hati pada pandangan pertama ketika kebetulan bertemu disuatu acara, dapat menjalin perjodohan dengan gadis bernama Kirana ini!" "Datang pribadi menawarkan putranya, Bupati Tuban pulang dengan kekecewaan. Upaya lamaran ditolak mentah-mentah oleh Bupati Sidoarjo!" "Dialami Bupati Tuban, sekedar satu dari beberapa peristiwa sama sempat terjadi dalam kurun dua tahun belakangan!" "Cukup banyak Ningrat pribumi datang entah menawarkan Putranya atau bahkan melamar untuk diri sendiri, ditolak oleh Bupati Sidoarjo! Selalu dengan alasan sama, Putrinya masih belum harus menikah!" tutup Aldert. Coba memasang raut wajah seolah adalah sosok berwawasan luas meski segala baru ia sampaikan, jelas sekedar gosip ringan dapat didengar dan dijumpai pada pasar manapun dari mulut para ibu-ibu. "Wah… Kasus yang lumayan menarik dan tak umum! Bukankah para Ningrat Jawa ini, biasanya menganggap gadis remaja yang bahkan baru menginjak 15 tahun, sudah layak menikah?" ucap Willem. "Sibuk mencarikan jodoh dengan sesamanya. Tampak seolah ingin segera melepas tanggung jawab! Mengurangi satu beban dari jumlah anak yang puluhan dari kebiasaan mereka mengoleksi istri!" lanjut Willem. "Benar juga! Hahahah…." Aldert, lekas tertawa mendengar kalimat terakhir disampaikan Willem. "Hmmmm… Ada apa disana?" Tawa Aldert, baru terhenti ketika mendengar Willem bergumam sembari menatap heran sudut tertentu lokasi jauh tampak adalah kandang ternak ayam. "Ada Wardiman, Tuan. Kurasa masalah keamanan!" balas Aldert. Menyampaikan pendapat tentang situasi keributan didepan. "Cukup periksa untuk membuat menjadi sederhana!" balas Willem. Berjalan menuju kandang ternak ayam. ****** (Depan kandang ternak ayam) "Kau maling…! Masih bocah sudah belajar mencuri! Siapa menyuruhmu? Bapakmu?" Berdiri dengan dua tangan melipat kedepan, Wardiman memasang wajah garangnya nan khas saat kini, menatap sosok bocah lelaki bersimpuh ditanah bawah kakinya. "Berani mencuri disini saat aku, Wardiman adalah yang menjaga! Mau mati?" bentak Wardiman sekali lagi. Cukup kejam dan tanpa perasaan, menarik bilah celuritnya. "Ampun Tuan… Ampun… Aku tak akan mengulang mencuri lagi disini!" Merengek, bocah lelaki memohon ampun. "Tak akan mencuri lagi disini? Jadi masih mau mencuri ditempat lain?" Bocah lelaki masih merengek saat suara Willem, terdengar. Berjalan mendekat diikuti Aldert yang setia mengekor dibelakang punggung tiap saat. "Ahhh… Tuan…" Melihat kedatangan Willem, raut wajah Wardiman lekas bertambah tak sedap menatap sosok bocah. Jelas sedang merasa malu karena baru kecolongan saat bertugas jaga. "Hmmmm…." Menyambut tatapan Wardiman yang seolah ingin menelan bulat-bulat bocah lelaki, Willam segera memberi tanda isyarat tangan agar pengawal pribadinya tersebut menahan diri. "Kau beruntung Tuan Willem berada disekitar!" dengus Wardiman. Menyarungkan kembali Celuritnya. "Terimakasih Tuan… Terimakasih…" bocah lelaki, lekas berupaya memeluk kaki Wardiman. Aksi yang cepat dihindari mantan Boss Rampok itu dengan mengibas kaki. "Jangan berterimakasih padaku! Itu pada Tuan Willem!" dengus Wardiman. "Terimakasih Tuan Willem…" Cepat tanggap, bocah lelaki ganti ingin mendekati Willem. Namun sekali lagi, bertemu kibas kaki Wardiman. "Jangan mendekat sembarangan!" Tak lagi mendengus, Wardiman membentak garang. "Wardiman! Hajar saja maling cilik kurang ajar ini! Biar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa!" tanggap Aldert. Menatap rendah sosok bocah laki-laki. Bagaimanapun juga, sekedar pekerja pribumi biasa, sudah dianggap remeh oleh Aldert yang keturunan Indo. Kini saat itu justru adalah pribumi maling, Aldert berkembang benar-benar benci. Wardiman dan Aldert masih memasang wajah garang, sementara pada sudut lain, Willem bertahan hanya diam. Terus mengamati dengan sorot tajam ekspresi wajah bocah laki-laki. Menemukan hal tertentu yang tampak tak disadari Wardiman ataupun Aldert. "Wardiman, apa dicuri oleh anak ini?" tanya Willem. Akhirnya buka suara. "Seekor ayam jago Tuan!" balas Wardiman. "Begitu?" gumam Willem. "Bocah… Mau kau apakan ayam jago curian itu?" ucap Willem. Ganti bertanya pada bocah laki-laki dihadapannya. "Itu… Memberi makan adik-adikku Tuan… Kami kelaparan…" balas bocah laki-laki. Dengan intonasi nada memelas. "Ayam jago? Kenapa tak ayam betina? Mampu menghasilkan telur?" tanya Willem sekali lagi. Bertahan menatap tajam wajah bocah laki-laki bersama tiap pertanyaan ia lempar. "Ah… Itu…" Bocah lelaki, sekejap tampak bingung. Seperti tak menduga Willem akan melempar pertanyaan macam itu. Satu hal sedari tadi tak disadari oleh Wardiman dan Aldert, adalah meski selalu coba mengucap kalimat dibuat memelas, lengkap dengan ekspresi dibuat takut, Willem dapat melihat, sorot mata Sang Bocah, tak selaras menampilkan upaya sama. Sorot matanya justru tak menunjukkan ketakutan sama sekali. Cerdik mengamati sekitar. Jelas berupaya mencari jalan atau peluang dapat kabur. Tingkah yang membuat Willem, entah kenapa berkembang malah tertarik dengan bocah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD