45 - Situasi Canggung

1234 Words
(Ruang baca) Masih dengan wajah tak menentu, Raden Mas Bagus, menunggu kedatangan Kirana dalam suasana canggung. Beberapa kali membenarkan posisi duduk tampak tak nyaman. Lebih tepatnya gugup. Sama seperti Kirana, Putra Bupati Solo ini, sebenarnya ingin pembelajaran hari itu dibatalkan saja. Terlalu malu bertemu dengan Kirana pasca secara tak sengaja, mendengar semua tadi seharunya tak ia dengar ketika mengunjungi muka pintu kamar anak gadis Sang Bupati Sidoarjo. Raden Mas Bagus, begitu sulit mengenyahkan segala pemikiran tertentu sedang bergelayut dalam benaknya tiap kali kembali teringat suara-suara melenguh Kirana. "Aduh… Bagaimana nanti aku memiliki muka bertemu dengannya!" gumam Raden Mas Bagus lirih. Bulir-bulir keringat, mulai berjatuhan dari kening. Hanya sekedar memikirkan setelah ini bakal bertemu Sang Pujaan hati, sudah membuat d**a pelajar HBS tersebut, berkembang berdetak sangat kencang. Coba meringankan segala rasa gugup, selain berkali-kali membenarkan posisi duduk, Raden Mas Bagus juga tak henti merapikan segala alat tulis terletak diatas meja tepat dihadapannya. Meskipun pada dasarnya, semua telah sangat rapi. Upaya meredakan perasaan gugup masih dilakukan oleh Putra Bupati Solo ketika suara langkah kaki, terdengar mendekati pintu. Suara langkah kali yang lekas membuyarkan semua usahanya. Membuat Raden Mas Bagus, berkembang semakin kikuk karena tahu, itu pasti adalah langkah kaki dari Kirana. "Selamat sore…." Benar saja, bersama suara langkah kaki terhenti tepat dimuka pintu ruang baca, kini giliran suara merdu nan halus Kirana, terdengar. Menyambut suara salam Kirana, Raden Mas Bagus tampak membeku. Tak lekas menjawab. Lebih tepatnya, bingung harus membalas seperti apa. Situasi yang menyebabkan suasana, malah dibekap keheningan karena pada sisi lain, Kirana sendiri juga terdiam pasca mengucap salam. Dua muda-mudi. Tampak masih terpengaruh peristiwa memalukan sebelumnya. Sama-sama bingung bagaimana harus bersikap saat nanti bertatap muka langsung. Sejujurnya, baik Kirana maupun Raden Mas Bagus, akan lebih memilih pertemuan hari itu, dibatalkan saja. Hanya saja, aksi usil Emma disaat terakhir menjawab pertanyaan Raden Mas Bagus dengan mengatakan Kirana akan siap belajar, membuat pasangan murid dan tentor, harus rela tertambat pada situasi ganjil nan kikuk saat ini tersaji. Raden Mas Bagus terdiam duduk dalam ruang baca, menatapi pintu. Sementara Kirana disisi lain, juga sama, berdiri termenung menatap pintu. "Hei…! Sampai kapan kau akan berdiri saja disana?" Seolah menjadi penyelamat suasana, juga penyuram situasi disaat sama, suara Emma terdengar memecah keheningan. "Kirana! Kau mau berdiri saja disana sampai Magrib? Dan hei Bagus yang didalam! Kau juga akan membiarkan saja Kirana tetap berdiri dimuka pintu tanpa mempersilakan masuk?" Emma, menyerukan kalimat dengan cukup keras hingga pasti dapat didengar oleh Raden Mas Bagus sedang berada didalam ruang baca. "Emma…!" Kirana sendiri, lekas menoleh kebelakang, menatap sahabatnya tersebut sembari mulai memasang raut wajah cemberut. "Apa? Kau seharusnya berterimakasih! Bagaimana jadinya jika itu aku tadi tak memutuskan untuk memeriksa!" balas Emma. "Bisa-bisa kau benar akan hanya tetap berdiri disitu sampai Magrib!" lanjut Emma. "Emma! Kirana! Ada apa?" Semakin membuat suasana runyam, percakapan Emma dan Kirana, nyatanya didengar oleh Raden Mas Adiwangsa yang memang ruang kerjanya berada tepat disebelah ruang baca. Sosok Bupati Sidoarjo, melangkah keluar untuk melihat apa gerangan sedang terjadi. "Ehhh… Ayahanda…" gumam Kirana. Sempat menunduk malu tak tahu harus menyampaikan penjelasan seperti apa, hingga kemudian, cepat mengangkat kembali wajah saat teringat, Emma masih berada disekitar. Coba mencegah sosok sahabatnya melanjutkan aksi-aksi usil, terutama saat Sang ayah sedang terlibat, Kirana memberi tatapan dibuat sedikit melotot untuk Emma. Seolah ingin menyampaikan secara isyarat, untuk Emma berhenti melakukan hal-hal usil. Aksi Kirana sendiri, tatapan sedikit melotot usaha berpenampilan serius, justru bersambut senyum cerah diwajah Emma. Malah menjadi gemas melihat ekspresi sahabatnya itu. "Salam Tuan Bupati….!" Melanjutkan pasca tersenyum gemas, Emma lekas memberi salam hormat kepada Raden Mas Adiwangsa. Menundukkan kepala, tak mengangkat wajah saat mulai berbicara dihadapan sosok pembesar Ningrat Bupati Sidoarjo tersebut. Meski merupakan keturunan Indo, Emma menampilkan sikap yang lebih kearah Pribumi Jawa. Menghormati para pembesar. Bagaimanapun juga, Emma memang selama ini tinggal dan dirawat oleh Sang Ibu. Sekedar beberapa kali mengunjungi kediaman Sang Ayah diperumahan elite kaum Totok Belanda wilayah Sidoarjo. Hanya saja, karena telah menempuh pendidikan Eropa, sosok Emma yang besar dalam didikan adat Jawa, berkembang menjadi semacam anomali aneh. Perpaduan unik dari gabungan beberapa sikap. Terbuka pemikiran khas kaum terpelajar, dapat dilihat dari bagaimana cara ia bercanda yang cukup tak sesuai dengan attidute tertutup wanita Jawa, namun lain sisi, ia juga masih mempertahankan sikap-sikap sopan. Mampu menempatkan diri saat harus bertemu atau menghadap sosok pembesar macam Raden Mas Adiwangsa, Ayahanda Kirana. "Ya… Emma! Katakan, apa yang terjadi? Dan kau Kirana? Kenapa masih disitu? Belum mulai belajar?" Membalas salam Emma, Raden Mas Adiwangsa lekas melempar pertanyaan kepada dua sosok gadis muda. "Nahh… Itu Tuan Bupati, saya juga sekedar kebetulan lewat, mempertanyakan apa sedang terjadi saat melihat Kirana, masih diam mematung. Menatapi pintu tak lekas masuk!" jawab Emma. Bersikap seolah tak tahu apa sedang terjadi dengan melempar kalimat polos, lengkap berkombinasi dengan raut wajah polos juga. "Emma… Kau ini… Dasar…." gumam Kirana. Tak henti menatap kesal kearah sahabatnya. Tatapan kesal yang berbalas Emma masih menampilkan wajah polos. "Kirana! Kenapa tak segera masuk untuk mulai belajar?" tanya Raden Mas Adiwangsa sekali lagi. "Yah Ayahanda… Ini tadi saya sudah hendak masuk. Sekedar membenarkan sendal terselip!" balas Kirana. Tak punya pilihan selain harus berbohong. Memikirkan untuk menjelaskan situasi sebenarnya pada Sang Ayah, alasan kenapa ia ragu masuk kedalam ruang baca bertemu Raden Mas Bagus, terasa sungguh salah, terlebih jelas sangat memalukan. "Adinda Kirana, kau boleh masuk!" Setelah dari tadi sempat terdiam, suara Raden Mas Bagus, akhirnya terdengar dari balik pintu. Putra Bupati Solo ini, jelas juga mendengar semua percakapan sedang berlangsung. Tak ingin berkembang semakin runyam, ia memutuskan untuk meminta Kirana lekas masuk saja. Memahami bagaimana sulit Kirana jika harus menjelaskan apa terjadi kepada Sang Ayah. Juga, tentu ikut membuatnya malu. "Ayahanda, Kirana belajar dulu!" ucap Kirana. Sempat ragu, namun tak punya pilihan selain mulai membuka pintu ruang baca. "Belajar dengan baik!" seru Raden Mas Adiwangsa. "Yah, Ayahanda…" balas Kirana. Melangkah memasuki ruang baca. "Emma, kau berencana menginap? Akhir pekan ini?" Tepat setelah sosok Kirana tak lagi tampak, Raden Mas Adiwangsa, melanjutkan bertanya kepada Emma yang masih menatap pintu ruang baca telah tertutup. Sempat menampilkan raut wajah penasaran. Sungguh ingin melihat bagaimana situasi canggung antara Kirana dan Raden Mas Bagus didalam. "Saya sudah berencana pulang Tuan Bupati…!" Menarik tatapan penasaran, Emma menjawab pertanyaan Raden Mas Adiwangsa. Masih dengan sikap sopan menunduk hormat. "Cukup banyak tugas dari sekolah harus diselesaikan meski sedang libur!" lanjut Emma. "Hari ini sekedar menjenguk Kirana karena rindu!" tutup Emma. ***** (Bagian dalam ruang baca) Kirana, lekas mengambil posisi duduk menghadap Raden Mas Bagus yang berada disisi lain meja belajar. Tak tahu harus mengatakan atau membuka percakapan macam apa, gadis polos ini sekedar cuma bisa diam. Terus menundukkan kepala. Tak berani, terlalu malu untuk berada dalam situasi saling tatap langsung dengan pemuda tentor belajar baca tulisnya tersebut. Situasi Kirana, tentu juga sebenarnya kini hinggap dirasakan oleh Raden Mas Bagus. Terbayang suara-suara melenguh sempat ia dengar sebelumnya, benar-benar membuatnya, berkembang kikuk, gugup saat harus benar-benar berada saling berhadapan menatap sosok Kirana. Hanya saja, Raden Mas Bagus sepenuhnya paham, itu harus dirinya pertama membuka percakapan. "Kirana…. Mengenai tadi…." "Tadi?" Sempat berfikir keras memilih kalimat tepat untuk coba membuka percakapan, nyatanya yang dipilih Raden Mas Bagus sebagai topik pemecah suasana, benar-benar salah total. Mengawali dengan justru mengangkat hal yang sangat dihindari dan tak ingin didengar oleh Kirana. Menyebabkan gadis itu, berkembang memerah ronah wajahnya. Menunduk semakin dalam menatapi jari-jemari sedang menggenggam erat lutut. "Ahhh…." Raden Mas Bagus, memasang wajah seperti orang bodoh. Menyadari baru membuat kesalahan konyol menyebabkan situasi malah berkembang semakin canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD