46 - Perjalanan Pulang

1233 Words
"Tuan, sekarang aku sedikit paham kenapa Anda memberi perhatian lebih kepada bocah Rojik!" Hari sudah menjelang petang saat Aldert yang kini sedang naik di kereta kuda sama dengan Willem, dalam perjalanan kembali pulang, melempar kalimat untuk membuka percakapan. "Ohh… Memang apa kau pahami?" Sempat diam menikmati sajian pemandangan indah, dimana langit meronah merah bergelantung diatas pematang sawah sore itu, Willem lekas melempar pertanyaan saat mendengar kalimat pembuka percakapan Aldert. "Bocah Rojik ini, ternyata sangatlah cerdas! Intruksi yang Anda berikan untuk menyampaikan pengajaran-pengajaran dasar agar ia siap ketika tahun depan menempuh sekolah, sekedar satu dua penjelasan awal, sudah dapat ditangkap dengan baik!" ucap Aldert. "Begitu?" gumam Willem. Kembali melempar tatapan, untuk melihat keluar. Pada pemandangan indah pematang sawah Surabaya. "Tapi bukankah masih terlalu awal kau mengambil kesimpulan? Bagaimanapun juga, ini masih hari pertama kau memberi pengajaran!" lanjut Willem. "Nahh, sebenarnya justru itu Tuan! Ini masih hari pertama, namun daya tangkap bocah ini, sudah sangat membuatku terkesan!" balas Aldert. "Itu seperti aku menjelaskan kepada anak yang telah memiliki pengalaman menempuh pendidikan dasar sekolah sebelumnya!" lanjut Aldert. "Cukup menyampaikan awalan, maka semua akan seperti mengalir dengan sendirinya. Ia lekas paham hal-hal perlu dilakukan!" "Sekali sesi sore tadi, benar-benar membuatku tak henti berdecak kagum!" tutup Aldert. "Wahh, jika memang seperti itu, bukankah justru bagus? Pekerjaanmu, akan menjadi lebih ringan kedepannya." balas Willem. "Tentu, Tuan… Tapi ya itu tadi, aku hanya merasa perlu membagi tentang ini kepada Anda!" tanggap Aldert. "Hei Aldert…! Apa tak salah dengar? Kau merasa perlu membagi kepada Tuan Willem?" Wardiman yang sedari tadi menjalankan tugas sebagai kusir kereta, tiba-tiba melempar tanggapan. Tampak ikut mendengar percakapan. "Memang kenapa?" tanya Aldert. Mengerutkan kening. "Ehhh… Ehhh… Padahal lulusan sekolah HBS! Masak begitu saja tak mengerti! Bagaimana kau bisa kalah denganku yang lulusan sekolah jalanan ini?" ucap Wardiman. Menanggapi dengan intonasi nada kerasnya yang khas. "Wardiman! Langsung saja jika ingin menyampaikan sesuatu!" dengus Aldert. Terlihat cukup tersinggung. Namun juga penasaran disaat yang sama. "Ehhh… Ehhh… Kok malah marah!" tanggap Wardiman. Justru semakin menggoda dengan intonasi nada dibuat-buat saat mendengar suara kesal Aldert. "Hahhaha…" Willem sendiri, kini tampak tertawa. Merasa mendapat hiburan baru selain pemandangan indah langit senja sore hari Surabaya. Menatap bergantian sosok Aldert serta punggung Wardiman. Dua orang sedang terlibat percakapan. Pemilik perusahaan pertanian der Beele sekaligus Putra dari Assisten Resident Kota Surabaya ini, tak memberi tanggapan apapun selain tawa serta tatapan mata. Memutuskan diam sekedar menikmati pertunjukan. "Dari awal sejak Tuan Willem mengangkat tentang ingin agar Rojik menempuh sekolah, bukankah seharusnya sudah cukup jelas?" Wardiman, melanjutkan kalimat setelah sempat menjeda dengan menggoda Aldert. "Sejak pertama bertemu, Tuan Willem sudah cukup tahu bahwa bocah Rojik, adalah anak yang cerdas!" "Salah satu alasan pula kenapa saat tiga bocah lain diserahkan padaku, Rojik memiliki tempat berbeda!" Wardiman, menyampaikan pendapat dengan masih santai mengendalikan kereta. Beberapa kali memperlambat laju tarikan kuda saat melihat jalan sedikit berlubang. Mengarahkan untuk kereta kuda, bergerak sedikit menyamping agar tak sampai mengganggu kenyamanan Willem. "Jadi, Aldert, seorang lulusan HBS, anak keturunan Indo yang pintar dan gemar menulis-nulis, membawa buku catatan kemana saja, tak perlu dijelaskan, harusnya kau juga tahu! Dari semua orang, tentu Tuan Willem yang paling paham tentang bagaimana bocah Rojik, merupakan anak yang cerdas!" "Membuat telingaku gatal saat tadi kau mengatakan Tuan Willem, perlu tahu tentang hal-hal tadi kau kabarkan sebelumnya! Rojik anak yang cepat tanggap!" "Sudah paham sekarang, apa maksudku? Hehehe…" tutup Wardiman. "Hmmm…. Ya..!" balas Aldert singkat. Coba mempertahankan harga diri serta menutupi rasa malu. Bagaimanapun juga, apa yang baru disampaikan oleh Wardiman, memang sepenuhnya tepat dan terdengar benar. Tak ada satupun celah dapat digunakan untuk menyanggah balik oleh Aldert. "Hahahha… Wardiman! Biarkan saja! Jangan terlalu kejam begitu!" Sempat hanya diam menikmati pertunjukan, Willem akhirnya melempar tanggapan. Kembali masuk kedalam percakapan. "Aku cukup paham Aldert, hanya sekedar terlalu antusias! Jadi, jangan merusak kesenangan orang lain seperti itu! Hahhaha…!" lanjut Willem. Meski terdengar melempar kalimat seperti sedang menasehati Wardiman, namun tiap kali ia tertawa, jelas menunjukkan ikut terhibur oleh aksi baru dilakukan sosok Madura pengawal pribadi-nya tersebut. "Hehhehee… Bagaimana lagi Tuan, telingaku sangat gatal… Aldert seolah ingin bersikap keren mengabarkan sesuatu yang jelas itu Anda tentu sudah tahu sejak awal!" balas Wardiman. "Sungguh konyol… Hahhaa…!" Wardiman, menutup kalimat dengan tawa lantang. Tawa lantang yang mana tentu membuat wajah Aldert berkembang semakin kesal. "Sudah… Sudah… Jangan buat Aldert malah nanti berkembang menjadi tak antusias lagi! Biarkan ia memiliki dorongan untuk terus bersemangat mengajar Rojik!" ucap Willem. Coba mengarahkan pembahasan, menuju hal atau topik lebih berguna dari pada sekedar terus bercanda membully Aldert. "Aldert, Rojik memang anak yang cerdas! Alasan kenapa aku ingin suatu saat, bisa memiliki sumbangsihnya mengurus hal-hal penting diperusahaan der Beele!" lanjut Willem. "Meski memang tak bisa dalam waktu dekat, bocah ini, merupakan investasi jangka panjang yang cukup menjanjikan!" "Aku bahkan sudah memiliki beberapa gambaran tentang peran atau posisi yang nantinya dapat ia jalankan periode lima atau enam tahun dari sekarang!" "Untuk saat ini, selain hal-hal mendasar persiapan sekolah, sebisa mungkin ajari ia baca tulis dulu!" "Setidaknya bisa membaca dulu! Itu akan semakin mempermudah pekerjaanmu dengan ia mandiri belajar sendiri dari buku-buku koleksi ruang baca!" Willem, berkembang melanjutkan topik pembahasan, dengan intruksi spesifik kepada Aldert. "Baik Tuan, saya sepenuhnya mengerti!" balas Aldert singkat. Tanpa mempertanyakan apapun. "Oh ya, mengenai Hong Shiu, dia akan mulai bekerja ditempat kita besok!" tanggap Willem, kini mengganti topik pembicaraan perihal Hong Shiu, Keponakan Hong Kui yang pada pesta kemarin malam, menyampaikan keinginan untuk bergabung menjadi salah satu pekerja perusahaan pertanian der Beele. "Sudah kutentukan agar ia mengambil posisi juru tulis pada beberapa sektor produksi tertentu! Meringankan beban kerjamu!" lanjut Willem. "Bagaimanapun juga, kau sudah mendapat tugas tambahan memberi pengajaran kepada Rojik!" "Jadi, besok sempatkan waktu untuk memberi arahan pada Hong Shiu, apa-apa saja perlu dilakukan! Semacam alih tugas darimu!" "Sementara sektor apa saja yang Hong Shiu ambil alih, detailnya kusampaikan besok pagi sebelum memulai hari!" tutup Willem. Seperti biasa, cukup terperinci dan jelas dalam tiap penyampaian intruksi. Membuat siapapun mendengar, akan mudah atau lekas paham. "Baik, Tuan…!" Aldert, menjawab singkat sekali lagi. Tanpa memiliki pertanyaan atau keluhan apapun. "Hei….! Menyingkir…!" Willem baru menyelesaikan percakapan dengan Aldert saat suara Wardiman, terdengar berteriak seperti sedang memberi peringatan. Bersama seruan sosok Suku Madura tersebut pula, kereta kuda terhenti mendadak. "Hampir saja…! Kau mau mati atau apa? Jika mau mati, lakukan sendiri ditempat lain! Jangan memberi masalah! Merepotkan saja!" bentak Wardiman. Dengan intonasi suara keras nan garang. Memaki entah siapa. "Wardiman…! Ada apa?" tanya Aldert. Sementara itu, saat Aldert masih bertanya, Willem, sudah mengambil langkah turun dari atas kereta. Memeriksa sendiri apa sedang terjadi. "Hmmmm…?" Tepat ketika Willem memijakkan kaki pada tanah jalan, pemandangan pertama menyambut visinya saat menatap arah depan kereta, adalah sesosok gadis pribumi sedang bersimpuh. Dari luka-luka pada lutut, jelas ia baru terjatuh cukup keras. Gadis ini, tentu adalah alasan dari Wardiman mendadak menghentikan kereta kuda. Juga alasan sosok garang suku Madura mantan Boss rampok kini menjadi pengawal Willem tersebut, memaki marah. "M-maaf, Tuan…" "Maaf…!" Mengucap permintaan maaf, sorot mata gadis pribumi, tampak tak fokus kepada Wardiman yang sedang berdiri diatas kursi kusir kereta kuda sembari menenteng lengan pada pinggul. Willem bisa melihat perhatian Sang Gadis Pribumi, ada pada rerimbunan semak serta pepohonan bambu sisi jalan. Sekedar sekilas pandang, Willem lekas dapat menduga situasi gadis ini yang baru atau sedang dikejar seseorang. Terburu-buru lari dari pengejarnya, hingga berakhir jatuh saat kaget. Sempat tak melihat kedatangan kereta kuda dikemudikan Wardiman. "Mau lari kemana lagi kau gadis sial!" Benar saja, tak berselang lama, beberapa sosok menerobos rerimbunan pohon bambu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD