44 - Golongan Indo

1234 Words
Hanya saja, seperti kebanyakan anak-anak golongan Indo yang lahir dari perut seorang Gundik atau bernasib layaknya Emma yang Ibunya dipakai sekedar memenuhi kebutuhan, pelampiasan sesaat menemani malam, mereka tak menyandang nama Eropa milik Sang Ayah. Cukup memiliki satu nama saja tanpa imbuhan nama keluarga. Emma, Aldert, dan banyak lain memakai nama sederhana. Sangat jarang ada Totok Belanda, mengakui resmi anak mereka dari hasil hubungan dengan wanita Pribumi. Sekedar satu dua cukup beruntung memiliki Bapak yang mengakui secara hukum. Menyantumkan nama Belanda pada akta kelahiran. Bagaimanapun juga, hubungan antara Totok Belanda dengan anak-anak Indo mereka, memang cukup rumit. Tak adanya status pernikahan resmi, membuat anak-anak Indo ini sulit mendapat pengakuan didepan hukum. Mereka mungkin masih tinggal bersama bapak-bapak Totoknya, namun ketika nanti akan berkembang pada pembagian harta warisan dan sejenisnya, maka status mereka akan ditangguhkan. Semua kembali menunggu pada apakah Bapak Totok mereka yang telah mati, masih memiliki anak atau sanak keluarga di Eropa. Sekedar masih memiliki paman atau sepupu jauh, maka warisan akan jatuh pada kerabat tersebut. Bahkan jika itu mereka ada di Eropa sana. Jarang membuat kontak atau hubungan dengan Sang Ayah. Jika tak sempat datang langsung ke tanah Hindia, kerabat sanak keluarga jauh ini, memiliki opsi untuk mengirim segala harta ke tanah Eropa. Situasi yang mana banyak membuat anak-anak Indo, tak terlalu mengharapkan harta Bapaknya. Memaksimalkan sebaik mungkin kesempatan dapat menempuh pendidikan formal dari garis darah setengah Eropa mereka miliki, untuk bersungguh-sungguh dalam pendidikan. Berharap ketika lulus, dapat membangun nama sendiri. Berdiri di kaki sendiri. Salah satu alasan pula dari ketika pesta selamatan Toko Purnama, banyak anak-anak pelajar HBS Indo, ingin dapat diterima perusahaan pertanian der Beele. "Apakah ini bagus?" tanya Kirana. Tampak memilih baju. Meminta pendapat Emma. "Cukup bagus! Lagipula, sebenarnya memakai baju apapun, semua akan tetap tampak bagus jika itu kau yang mengenakan Kirana!" balas Emma. Tersenyum menatap sosok sahabatnya. "Emma… Berhenti! Kau juga sangatlah cantik! Mata biru indah, wajah juga indah! Belum lagi aduh, tinggi yang semampai! Hanya membuat iri!" ucap Kirana. "Tak salah dengar? Kau iri denganku? Hahhhaha…!" tanggap Emma. "Tentu saja!" balas Kirana. "Ehh… Kau hanya masih terlalu polos! Seandainya tak sering menunduk malu-malu, kau akan bisa melihat bagaimana cara para pemuda entah Ningrat atau Indo, memandang kearahmu!" tanggap Emma. Masih tersenyum manis menatap sosok Kirana. Berkembang seolah menjadi gemas. "Asal kau tahu, mereka seperti hendak akan melompat kapan saja untuk mulai menerkam! Hehehhe…!" lanjut Emma. Sedikit mencubit pinggang Kirana. "Melompat, menerkam! Apa sih…" tanggap Kirana. Lekas kembali malu-malu. Kini sembari mulai menanggalkan pakaian. Hendak memakai baju tadi sempat ia pilih. "Nahh… Nahh… Tubuh indah itu! Bagaimana kau bisa iri denganku yang meski tinggi, namun kurus ini?" ucap Emma. Menatapi bagian tubuh tertentu Kirana yang sedang bertumbuh. Cukup menonjol dibeberapa titik meski masih berselimut pakaian dalam. "Hei… Hentikan menatapi seperti itu! Malu!" tanggap Kirana. Coba menutup bagian tubuh dengan dua tangan. Aksi yang percuma karena dua telapak, jelas tak akan cukup. "Hehhehe… Bagaimana malu? Kita sama-sama wanita! Jika dihadapanku saja kau malu, seperti apa ketika nanti malam pertama bersama suamimu?" tanya Emma. Semakin jauh dengan melempar kalimat menggoda sembari mulai bercanda mencubit-cubit bagian tubuh Kirana sedari tadi sedang coba ia tutup dengan tangan. "Hahhaha… Emma! Itu geli! Sudah, cukup bercandanya! Hentikan! Jangan disitu, membuat merinding kau tahu! Sungguh perasaan aneh!" ucap Kirana. Berusaha menyingkirkan jemari nakal Emma. "Ehhh, terasa aneh tapi ingin terus bukan?" tanya Emma. Benar-benar totalitas menggoda sahabatnya. "Emma… Jangan ahhh, hentikan!" Wajah Kirana, berkembang semakin memerah. Menggeliat coba menjauhkan Emma. "Ehh…?" "Siapa?" Kirana dan Emma, masih bercanda saat satu suara seperti langkah kaki sosok baru terperosok jatuh, terdengar dari luar pintu. "Ehhemmm… Ini saya… Anu… Itu…!" Membalas seruan reflek Kirana dan Emma, suara Raden Mas Bagus, menjawab dengan intonasi nada ganjil. Balasan yang lekas bersambut keheningan dari dalam kamar Kirana. Baik itu Kirana ataupun Emma, terdiam, sekedar bisa saling tatap satu sama lain. "Ayahanda adinda Kirana, Tuan Bupati, meminta saya memanggil karena tampak cukup lama Adinda belum keluar kamar!" Sempat juga terdiam pasca kalimat tergagap ganjil tadi ia ucap, Raden Mas Bagus melanjutkan. "Apakah terjadi sesuatu sakit atau apa! Mungkin pelajaran hari ini perlu ditunda?" Kembali mengucap kalimat, Raden Mas Bagus menutup dengan sebuah pertanyaan. Masih dengan intonasi nada tergugup. "Emma… Bagaimana ini?" Didalam kamar, Kirana yang kini tahu Raden Mas Bagus berada di luar kamarnya, tepat didepan pintu, lekas bergumam lirih kepada Emma. Berbisik dengan wajah panik. "Apanya bagaimana?" Emma yang sebenarnya cukup memahami sumber pertanyaan panik Kirana, dimana kini juga diselingi wajah merah padam, justru menyambut dengan seolah tak paham. Bertanya balik memasang wajah dibuat polos. Jelas berniat tetap menggoda. "Bagaimana apa sih? Jelas ini memalukan! Sejak kapan Raden Mas Bagus ada didepan pintu? Jangan-jangan ia mendengar semua ucapan kita tadi yang jelas akan sangat ganjil ditelinga seorang pria!" ucap Kirana. "Ucapan ganjil yang mana sih? Geli? Jangan disitu? Hanya membuat merinding? Merinding tapi ingin terus? Yang itu maksudmu?" Emma, cukup jahil dengan justru mengulang segala kalimat ganjil tadi sempat ia dan Kirana ucap dalam candaan jemari menggelitik bagian tubuh tertentu. Bahkan sengaja sedikit mengeraskan kalimat. Raden Mas Bagus yang mana masih berada tepat didepan pintu masuk, tentu memasang raut wajah tak menentu saat kembali mendengar kata-kata Emma. Merinding tubuhnya saat otak, seperti otomatis memikirkan aneh-aneh meski ia sudah coba mengenyahkan. Bagaimanapun juga, sesopan atau sehalus apapun Raden Mas Bagus sebagai Ningrat keturunan keraton Solo, tetap saja, ia adalah seorang pemuda. Cukup sensitif mendengar kalimat-kalimat tadi kebetulan hinggap ditelinganya. "Hei… Emma! Aduh…. Jangan! Sudah ah, aku malu! Lebih baik tak jadi belajar saja!" ucap Kirana. Semakin panik. "Kenapa tak jadi belajar? Bukankah ini adalah favoritmu? Hari Jumat ceria?" tanggap Emma. "Raden Mas Bagus! Kau bisa kembali keruang belajar, Kirana akan siap beberapa saat lagi!" Melanjutkan, Emma cepat mendahului saat melihat Kirana, sudah akan bicara membatalkan pelajaran. Terlalu malu. "Ehh… Emma!" Masih dengan suara tertahan, sedikit berbisik, Kirana menarik-narik baju Emma saat menjadi sangat gemas. Gemas juga panik sekaligus. "B-baik kalau begitu! Saya tunggu di ruang baca!" Hanya saja, tak sempat Kirana menemukan kalimat tepat untuk menyangga apa baru disampaikan oleh Emma, Raden Mas Bagus mendahului dengan konfirmasi menunggu diruang baca. Putra Bupati Solo, lekas berjalan meninggalkan tempat dengan wajah merah. Memiliki banyak pikiran tertentu dalam kepala membayangkan apa saja tadi disentuh Emma membuat Kirana melenguh geli dengan suara tak terlupakan terus terngiang dimana menyebabkan beberapa hal dalam tubuhnya, menjadi hidup b*******h. "Aduh… Emma! Kau ini… Bagaimana sekarang? Bagaimana aku bisa belajar sekarang?" tanya Kirana. Memukul gemas sahabatnya. "Hehhhe… Apanya bagaimana? Belajar ya belajar! Kau ini ada-ada saja!" balas Emma. Bertahan tetap menggoda. Tampak sangat menggemari bagaimana ekpsresi Kirana saat menjadi panik. "Dia jelas mendengar semua! Sungguh memalukan! Gara-gara kau sih!" ucap Kirana. "Bukan masalah besar ahhh…! Sudah, sekarang kubantu memakai baju! Biar cepat! Raden Mas Bagus sudah menunggu tuh!" balas Emma. Lekas mengambil baju pilihan Kirana sempat jatuh bersama tadi ia menjadi panik saat mendengar suara Raden Mas Bagus. "Kau tak ingin ikut belajar? Temani aku kalau begitu! Tanggung jawab!" ucap Kirana. Saat Emma membantu mengenakan pakaian. "Boleh-boleh saja! Tapi apa kau yakin ingin mengajakku? Aku sendiri tak masalah! Justru akan menyenangkan berada disekitar antara kau dan Raden Mas Bagus!" ucap Emma. Dengan intonasi nada terdengar menggoda. Menyiratkan niat tertentu. Terlebih, saat itu ia kembali memainkan jari nakal menyentuh geli beberapa bagian tubuh sensitif Kirana. "Ahhh… Hentikan! Geli! Sudah Emma!" lenguh Kirana. "Juga, jangan ikut! Aku berubah pikiran! Kau tak boleh ikut ke ruang belajar!" imbuh Kirana. Lekas panik memikirkan hal-hal memalukan lain nanti kemungkinan akan dilakukan Emma dihadapan Raden Mas Bagus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD