28 - Antar Ningrat

1246 Words
"1000 Gulden? Tuan Willem, tak sedang bercanda bukan?" Mendengar tawaran Willem, bahkan Hong Shiu yang sejak awal memandu acara selalu menampilkan wajah tenang nan mempesona, lekas menjadi terkejut bukan main seperti halnya para hadirin memenuhi ruang. Menatap dengan sorot mata melebar kepada Pemilik Perusahaan Pertanian der Beele tersebut. "Nona Hong Shiu, setahuku Lelang ini memang bukan agenda candaan bukan?" Seperti biasa, Willem suka bermain kata. Membalas pertanyaan dengan lemparan pertanyaan balik. Seringai sempat ia tampilkan untuk Laurens, kini juga telah lenyap. Wajah Putra Asisten Resident Kota Surabaya, berganti kembali berhias senyum tipis sederhana. "Ahh… Ya… Maafkan pertanyaan tak mendasar tadi!" Lekas memahami maksud dari pertanyaan Willem, Hong Shiu mendapat kembali ketenangannya. Senyum menawan juga kembali menghiasi wajah gadis muda nan cantik ini. "Sekedar cukup terkejut dengan nilai tinggi anda tawarkan, sama seperti kebanyakan tamu undangan terhormat hadir disekitar!" lanjut Hong Shiu. Menampilkan sikap sedikit menundukkan wajah tanda rasa sopan. "Tak masalah…! Lagipula, semua tinggal menunggu Sahabat Laurens…" balas Willem. Tampak santai melirik kearah Laurens Both, dimana menempati beberapa deret kursi dari tempat duduknya. Terpisah oleh dua sosok Totok Belanda lain. "Ohh… Benar sekali! Tuan Laurens, bagaimana? Apakah ingin melanjutkan persaingan harga?" Hong Shiu sebagai pemandu acara, lekas mengikuti arahan Willem, melempar pertanyaan untuk Laurens, meski cukup jelas sebenarnya sudah akan mengetahui jawaban. Sekedar pertanyaan formalitas yang justru menempatkan Putra Assisten Resident Kota Gresik tersebut dalam situasi tak nyaman. Kesulitan hanya untuk sekedar menjawab bahwa ia menyerah dalam persaingan. Bagaimanapun juga, itu sudah berkembang ia terlanjur melempar kalimat-kalimat provokatif bagi pihak lawan. Terbawa gengsi mempertahankan harga diri. Pada sudut lain, Willem sendiri bertahan dengan senyum serta lirikan seolah menikmati pertunjukan. Santai meminum teh yang baru diseduh ulang oleh Aldert. Segala dialami Laurens, nyatanya memang sudah sesuai skema ia atur. Secara tak sadar Hong Shiu mengikuti pengaturannya saat melempar pertanyaan. Willem, sekali lagi meminjam tangan orang lain untuk secara tak langsung menampar Putra Assisten Resident Kota Gresik itu. "Lekas beri jawaban! Jangan membuat lelang terhambat hanya untuk menunggu hal yang sudah pasti!" Melihat Laurens bertahan diam memasang wajah bersengut merah padam menatap tajam kearahnya untuk beberapa saat, Willem justru melempar kalimat bernada santai. Sama sekali tak terpengaruh dengan bagaimana cara Laurens menatap tajam penuh kebencian. "Jika memang uang saku tak cukup, maka bisa simpan untuk nanti ketika ada barang lelang lain mungkin lebih murah, sehingga dapat kau jangkau dengan kemampuan finansial pemberian bapakmu itu!" lanjut Willem. Semakin menjadi tajam kalimat keluar dari mulutnya. Benar-benar tanpa belas kasihan menempatkan Laurens dalam situasi kerendahan mutlak. "Kau…" Laurens, sepenuhnya tertancap didasar kubang lumpur. Seolah sedang menatap keatas begitu tinggi sosok Willem yang kini menatap rendah kepadanya dengan sorot hina nan membuat sakit hati. 'Hmmm… Rasakan itu! Siapa suruh membuat masalah, sengaja mencari gara-gara! Sekarang baru tahu dengan siapa berhadapan!' Aldert yang sedari awal bertahan setia berdiri dibelakang punggung Willem, bergumam dalam hati. Menampilkan wajah tampak sangat puas, ikut menikmati bagaimana nasib naas nan malang sedang dialami oleh Laurens. Wajah buruk tak henti ditampilkan oleh Putra Assisten Resident Kota Gresik sempat terus menghinanya sebagai darah campuran miskin, menjadi semacam candu kesenangan menggebu memenuhi hati Aldert. Kepuasan yang tak dapat terlukiskan. Sukar untuk dideskripsikan dengan kata-kata. "Tuan Laurens…" Hong Shiu diatas panggung, hendak kembali bertanya atas kejelasan agenda lelang barang pertama sesi kedua. "Aku menyerah!" Hanya saja, tak sempat kalimat Hong Shiu selesai, itu lekas terpotong dengan Laurens menyampaikan jawaban. Bergumam dingin dengan intonasi nada sepenuhnya ditekan. Jelas sedang sangat marah dan masih tak terima atas segala baru ia terima. "Wahhh… Baiklah… Terimakasih atas usahanya Tuan Laurens!" ucap Hong Shiu. Melempar kalimat selipan seolah coba untuk memberi penghiburan bagi Laurens. "1000 Gulden pertama!" "1000 Gulden kedua!" "1000 Gulden ketiga!" Lekas melanjutkan dengan menghitung ketukan palu, Hong Shiu tak lagi melakukan aksi menjeda apapun. Tak berupaya melempar kalimat pancingan seperti sebelum-sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia cukup tahu harga 1000 Gulden tadi dilempar oleh Willem, terlalu tinggi untuk coba disaingi siapapun. Bahkan mungkin akan menjadi angka paling tinggi dalam acara lelang sedang berlangsung. "Maka resmi! Barang Lelang pertama untuk sesi kedua, Batu Prasasti peninggalan kerajaan Majapahit, jatuh ketangan Tuan Willem! Pemilik perusahaan pertanian der Beele serta Putra Assisten Resident Kota Surabaya dengan harga akhir cukup fantastis! 1000 Gulden!" Hong Shiu, secara resmi mengumumkan. Sebuah pengumuman dilakukan secara cukup dramatis yang mana juga disambut dramatis oleh seluruh hadirin undangan pesta. Tiap Kalangan, entah itu Pribumi bergaris darah Ningrat, ataupun para pelajar HBS golongan Indo, berseru antusias sembari bertepuk tangan meriah. Sekali lagi, atas segala skema dan kalimat licin keluar dari mulut Willem memanfaatkan sedikit sikap arogansi Laurens, menjadikan sosok Putra Asisten Resident Kota Gresik, semacam sosok musuh bersama bagi semua kalangan. Lain sisi, kemenangan Willem menjadi semacam kemenangan bersama. Situasi yang tampak hanya dapat dibaca oleh Hong Kui. Saudagar Tionghoa sedang cukup tersohor namanya ini, menjadi semakin segan dan hormat kepada sosok Willem. Lebih kearah takut untuk coba membuat masalah dimasa depan. Akan selalu menampilkan sikap hormat terbaik tiap kali nantinya bermaksud mengunjungi atau membuat pertemuan bisnis dengan pemilik perusahaan pertanian der Beele itu. "Aihhh… Sungguh menyeramkan! Bahkan sosok seperti Laurens Both, pemuda terhormat Putra Assisten Resident Kota Gresik, sama sekali tak mendapat keringanan apapun! Dilahap habis dengan hanya sekali suap!" gumam Hong Kui. Tak henti menatap dengan sorot campuran antara kagum dan ngeri kearah Willem. "Baiklah! Karena sempat terjeda cukup lama, memangkas waktu untuk agenda-agenda selanjutnya, maka saya akan langsung saja untuk barang kedua dari lelang sesi dua ini!" Hong Shiu, kembali memainkan peran baik sebagai pemandu acara. Mengarahkan segala kemeriahan sedang hiruk pikuk, untuk menuju barang lelang selanjutnya. Ditampilkan oleh Toko Purnama sendiri, kali ini masih seputar peninggalan kerajaan lama. Sebuah patung penjaga tempat suci agama Hindu-Budha. Disebut Dwarapala. Sekali lagi antusias, para pembesar Ningrat, kumpulan Bupati, melayangkan penawaran. Terlibat persaingan sembari sesekali melirik kearah meja VIP. Berharap tak ada satupun sosok Totok Belanda hadir, terutama tentu saja adalah Willem, ikut tertarik dengan patung Dwarapala sedang menjadi barang lelang. Cukup lega karena itu memang tampak Willem tak berniat melayangkan tawaran. Sekedar menikmati kemeriahan dengan minum teh santai. Bagaimanapun juga, para Ningrat pembesar, jelas khawatir dengan Willem. Merasa tak percaya diri jika harus jatuh dalam persaingan dengan sosok pemilik utama perusahaan pertanian der Beele tersebut. Mengetahui Willem seperti tak tertarik, persaingan antar Bupati, lekas menjadi semakin semarak. Bersemangat memperebutkan salah satu jenis lain peninggalan leluhur mereka. Tentu, terpancing oleh kalimat lihai Hong Shiu Sang pemandu acara yang kembali mengangkat tema tentang kehormatan untuk melestarikan peninggalan leluhur. Sempat menjadi cukup sengit, melibatkan kembali Raden Mas Adiwangsa dan Raden Adipati Soeryo, duo sahabat Bupati Sidoarjo dan Bupati Tuban, Patung penjaga tempat suci, Dwarapala, akhirnya menjadi milik Raden Mas Adiwangsa. Ayah Kirana, bersemangat mendapat barang lelang pertama-nya. Tak henti tersenyum cerah meski harus mengeluarkan biaya cukup besar. Tawaran puncak untuk Patung Dwarapala, menyentuh 470 Gulden. "Hehhehe… Kirana, lihat, Ayahanda menang!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Berbangga diri kepada Sang Putri. "Yah Ayahanda…! Luar biasa seru!" tanggap Kirana. Seperti biasa, menampilkan sikap polos nan menggemaskan. Bergelayut manja dilengan Sang Ayah. "Hmmmm… Jika saja simpananku tadi tak sempat terpakai untuk membeli Guci antik peninggalan dinasti Tang, tentu kau tak akan semudah itu mendapatkan Patung Dwarapala!" dengus Raden Adipati Soeryo. Tampak masih belum cukup menerima kekalahan. Kesal menatap sahabatnya. "Hahhaha… Kau hanya iri saja Soer! Dibanding Guci antikmu, Patung Dwarapala jelas lebih berharga! Sebuah peninggalan leluhur! Bisa dijadikan pajangan tepat didepan pintu gerbang rumah!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Bayangkan nanti saat kau berkunjung, akan disambut oleh patung Dwarapala seolah rumahku adalah tempat suci! Hehehe…" lanjut Raden Mas Adiwangsa. Mengucap kalimat yang memang seperti sengaja dilempar untuk semakin membuat panas hati Raden Adipati Soeryo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD