27 - Sekejap Hening

1230 Words
"Wahhh… Kenapa mereka jadi tertarik begini?" "Entah? Bukankah ini peninggalan kerajaan Majapahit, tak berhubungan sama sekali!" "Hei, asal punya Gulden, bebas terserah mau apa!" Sekali lagi, para Bupati yang memiliki garis darah Ningrat, bergumam heran. Saling berdiskusi dengan sesamanya saat melihat deretan pemilik kursi meja VIP. Dua sosok Totok Belanda, menginginkan Prasasti peninggalan kerajaan Majapahit. Bagaimanapun juga, selain Willem yang memang sedari awal menampilkan riak ketertarikan pada sorot mata melihat prasasti batu ditampilkan dari balik kain penutup hitam, para Totok Belanda lain, termasuk Laurens Both, sempat memasang wajah kurang berminat. Kini, tiba-tiba melayangkan harga untuk lebih tinggi dari penawaran Willem, tentu motif dari Putra Assisten Resident Kota Gresik, dipertanyakan. 'Ohh… Masih terbawa rasa marah yang berujung menjadi semacam dendam? Coba membalas?' gumam Willem dalam hati. Melirik dengan senyum lebar kearah Laurens. Cepat dapat menangkap motif pemuda ini dalam aksi ikut bersaing. Dimana sekedar hanya untuk coba membalas dendam. Willem tahu, Laurens sebenarnya tak memiliki minat pada prasasti batu peninggalan kerajaan Majapahit. Ia hanya ikut melempar tawaran karena dirinya, sosok sangat Laurens benci, terlihat menginginkan barang lelang pertama sesi kedua ini. "Melempar tawaran diakhir untuk coba mengetahui batas limit pengeluaran para Bupati Ningrat disekitar, benar begitu?" tanya Laurens. Mengomentari aksi Willem yang tadi menunggu momen terakhir sebelum melempar penawaran. "Wahh… Sahabat Laurens tampak memiliki wawasan cukup bagus! Dapat mengetahui strategi bisnis penawaran macam kulakukan tadi!" balas Willem. Seraya memberi tepuk tangan. Coba seakan menampilkan sikap terkesan meski jelas raut wajah, hadir dengan ekspresi biasa saja. "Aku sempat berfikir kau hanya seorang pemuda Ningrat yang cuma tahu menerima Gulden dari bapak! Maafkan atas ketidaksopanan pemikiranku ini!" lanjut Willem. Kembali bermain dengan kalimat-kalimat sarkasme. "Itu berjalan alami dengan sendirinya!" Sempat terkulik oleh kalimat awal Willem, syaraf humor tiap undangan pesta kembali terdesak. Memaksa deru tawa lirih tertahan, sekali lagi menggema dari berbagai sudut ruang. "Diam… Cukup bersaing dengan harga lebih tinggi! Itu akan jauh lebih terhormat dari pada terus mengoceh!" balas Laurens. Sejujurnya tentu geram. Hanya saja, coba mempertahankan sikap tenang. Berkembang melempar kalimat balasan provokatif kepada Willem. "Ohhh… Tentu aku akan tetap lanjut bersaing, bagaimanapun juga, saat sudah kutetapkan untuk menjadi milikku, maka sesuatu tak akan bisa lepas! Itu akan berakhir digenggaman tangan!" tanggap Willem. Bertahan dengan senyum lebarnya. Tampak tak terprovokasi sedikitpun. Justru tampil penuh percaya diri dalam kalimat baru ia lempar. Kepercayaan diri yang menjurus terdengar arogan. "Hanya saja, sebelum aku kembali melempar harga, boleh sedikit bertanya?" "Jika seumpama prasasti itu benar kau menangkan…." "Kita membuat pengandaian saja, jadi ini cuma sekedar seumpama, karena bagaimanapun juga, pada akhirnya tak mungkin terjadi!" "Tapi jika benar kau menangkan, cukup penasaran, apa hendak kau lakukan dengan itu?" Mengawali dengan kalimat terselip penghinaan, secara tak langsung menyebut itu tak mungkin Laurens bisa menang bersaing, Willem menutup dengan satu pertanyaan jelas. "Urusannya apa? Terserah padaku untuk pengaturan selanjutnya! Kau tak perlu tahu!" dengus Laurens. "Hahhha… Memang benar! Cuma kan sudah kukatakan sekedar penasaran saja!" tanggap Willem. "Bagaimanapun juga, kulihat kau bukan jenis yang menggemari hal-hal berbau sejarah macam ini! Dapat dilihat dari wajah kurang berminat diawal!" lanjut Willem. "Jadi, cukup khawatir nantinya kau yang bahkan mungkin tak tahu apa itu prasasti, malah berakhir menjadikan benda berharga bisa saja menyimpan pesan mulia era lama bagi generasi selanjutnya, sebagai tempat duduk taman atau lebih buruk nan mengerikan, sebagai benda penyangga jemuran baju!" Willem, kembali menutup kalimat dengan hinaan sarkasme yang sangat tajam. Tawa tertahan sempat menggema pada beberapa sudut ruang, kini lekas berubah menjadi tawa lantang bergemuruh. "Hahahha…." "Hahhahha… Sungguh kacau!" "Mengerikan tapi kacau! Penyangga jemuran baju?" "Hei… Itu jelas penghinaan bagi para leluhur! Jangan sampai terjadi!" Para pelajar HBS golongan Indo yang dari awal memang berkembang tak menyukai Laurens imbas sikap arogannya terus menghina kaum darah campuran, tak tahan tertawa lepas sembari sedikit berdiskusi lirih. Sementara tiap-tiap pribumi bergaris darah Ningrat, memang juga tertawa, tapi terselip kekhawatiran, berdoa jika diantara mereka tak ada bisa mendapatkan prasasti, jangan sampai itu Laurens yang memiliki. Mulai menatap Willem dengan sorot mata penuh harap. Menggantungkan harapan pada sosok Putra Assisten Resident Kota Surabaya itu. "Diam kau… Memang kau sendiri memiliki maksud apa dibalik keinginan membeli batu disana?" sergah Laurens. Berniat mengembalikan kalimat kepada Willem untuk menempatkan sosok begitu ia benci itu disituasi sama. Mengira Willem juga tak memiliki rencana tertentu untuk Prasasti. Dugaan yang jelas sepenuhnya salah. "Aku?" ucap Willem. Lekas bersambut keheningan. Tiap hadirin, terutama golongan Ningrat, ikut ingin mengetahui motif dibalik kenapa Willem tertarik membeli peninggalan leluhur mereka. "Sederhana saja! Sekedar untuk menambah wawasan, juga ilmu pengetahuan! Bagaimanapun juga, hal-hal terkait sejarah dan budaya, memang tampak menarik dimataku!" ucap Willem. "Cerita pewayangan, Mahabarata, Ramayana serta berbagai cerita lain, Babat Tanah Jawi misalnya, merupakan epos sangat megah nan memberi wawasan. Mengandung berbagai filsuf berguna dalam menjalani kehidupan!" "Tentu, peninggalan sejarah kuno, catatan pesan generasi lama, juga sangat membuat penasaran!" "Apa hendak disampaikan oleh orang-orang era kuno ini dalam prasastinya? Suatu berita? Pengumuman? Janji? Pernyataan sikap? Sekedar memikirkan, sudah membuat rasa antusias bergejolak!" Kalimat-kalimat keluar dari mulut Willem yang hadir bersama keheningan, sukses membuat tiap sosok pembesar maupun generasi muda pelajar HBS mendengar disekitar, menjadi ikut berdebar. Terbawa suasana dari pemilihan kata Willem yang sungguh menggugah. "Jadi, Sahabat Laurens, tolong jangan coba menghina kecerdasanku dengan melempar pertanyaan balik seperti itu!" gumam Willem. Senyum lebar sedari tadi ia tampilkan, berkembang semakin menjadi. Tampak mulai membentuk seringai yang disertai sorot mata menatap penuh kerendahan pihak lawan bicara. "Bagaimanapun juga, tingkat wawasan serta kecerdasan kita, tampak jelas terpaut berbeda cukup jauh!" "Kusarankan jangan coba bersaing dalam hal tersebut! Hanya akan membuat kau berakhir dalam situasi seperti saat ini! Mau tak mau harus dipermalukan!" Willem, menutup seluruh rangkaian kalimat, dengan kesombongan mutlak. Kesombongan mutlak yang memiliki dasar kuat. Sepenuhnya sulit dibalas oleh Laurens. Sementara bagi hadirin lain yang ikut mendengar, entah kenapa justru mendapat sensasi hujaman rasa puas yang tak bisa dijelaskan. Tak bisa dimengerti kenapa dan dari mana asalnya. "Banyak bicara! Mengoceh saja terus sepuasmu! Bagaimanapun juga, hasil akhir tetap hanya akan pada siapa penawar paling tinggi!" Tak mampu sama sekali menemukan kalimat tepat dapat dirangkai untuk membalas permainan kata Willem, Laurens Both, Putra Assisten Resident Kota Gresik yang datang dengan penuh kehormatan dimana kini justru berada dalam situasi tersudut di garis begitu rendah, memutuskan sekedar melempar kalimat asal. Coba mengembalikan topik pada lelang. Mengangkat tentang perang harga. Tampak masih cukup percaya diri dengan jumlah kekayaan. "Nahh… Kesembronoan lain yang malah akan semakin menempatkanmu pada situasi tak bagus!" tanggap Willem. "Sekarang harus kubilang menjadi sepenuhnya ada ditanganmu sendiri atas yang terjadi setelahnya!" "Bagaimanapun juga, selain dalam hal wawasan serta kecerdasan, bersaing jumlah Gulden denganku? Kau sungguh terlalu meninggikan diri sendiri?" "Berapa kiranya uang saku diberi bapakmu?" Lagi-lagi, kalimat terlempar dari mulut Willem, bersambut tawa cekikikan menggema disegala penjuru ruang. Bahkan beberapa kaum Totok lain hadir dimeja sama, ikut tersenyum. Antara terkulik rasa humornya, juga merasa mulai kasihan dengan sosok Laurens. "Wahhh… Tuan Willem ini sungguh orang yang tak boleh disinggung sama sekali! Kacau benar dibuatnya nasib anak Asisten Resident Kota Gresik!" Hong Kui yang juga tengah menikmati pertunjukan, melempar kalimat lirih. Tak henti tersenyum antusias. Meski tak pernah menyampaikan secara langsung dan terbuka, cukup jelas Saudagar Tionghoa ini berada dipihak Willem sejak awal. "Berapa terakhir tadi kau menaikkan tawaran? 650 Gulden kalau tak salah? Benar?" ucap Willem. Memecah suasana tawa dengan kembali berbicara. "Maka Nona Hong Shiu, jadikan prasasti itu kini dengan harga 1000 Gulden!" tutup Willem. Tawaran serta kenaikkan jumlah Gulden yang cepat bersambut suasana ruang sempat berkembang meriah, sekejap menjadi hening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD