47 - Berandal Keroco

1233 Words
"Lekas tangkap saja! Dari pada nanti semakin bikin repot!" Diawali sosok pertama mengucap kalimat bernada memaki, kawan lain dari gerombolan enam orang pria baru keluar dari rerimbunan pohon bambu, menyampaikan saran dengan ekpsresi wajah merengut tampak sangat kesal. Mendengar saran dari salah satu kawannya, tiga terdepan lekas maju hendak menangkap gadis Pribumi. "Tidak… Tidak… Tolong! Aku sekedar cuma ingin melihatnya! Sungguh rindu…" Berusaha kembali berdiri dengan wajah kombinasi antara panik dan meringis menahan sakit, sosok Gadis Pribumi hanya sempat membuat satu gerak sebelum jatuh tersungkur sekali lagi. Lutut yang telah terluka, kini semakin bersimbah darah ketika harus menjadi tumpuan beban tubuhnya. "Nahh… Malah repot sendiri bukan? Lebih baik diam saja dan menurut!" bentak salah satu pria. "Tuan… Tolong…!" Seperti kehilangan harapan, gadis pribumi malang, berkembang cuma bisa menangis tersedu menatap Wardiman. Terlalu kehabisan harapan hingga mengiba kepada sosok garang tadi baru membentaknya tersebut yang masih bertahan dalam posisi berdiri diatas kursi kusir kereta kuda. Mendengar permintaan tolong, terlebih melihat raut wajah mengiba berlinang air mata Sang Gadis, Wardiman justru menjadi bingung. Tak punya pilihan selain menoleh kearah Willem. Menyiratkan untuk segala keputusan, akan terserah sosok Tuan-nya tersebut. Tatapan Wardiman sendiri, cepat berbalas anggukan singkat dari Willem. Isyarat yang mana lekas ditangkap dengan baik oleh Wardiman tanpa Willem harus repot mengucap kalimat apapun. "Hei… Berhenti…!" Melanjutkan, sosok mantan Boss rampok, menggumam kalimat dengan intonasi nada tinggi-nya yang khas. Memberi peringatan kepada tiga pria hendak menangkap gadis Pribumi, untuk menghentikan aksi mereka. "Apa? Kusarankan jangan ikut campur yang bukan urusanmu!" Kalimat peringatan Wardiman, nyatanya bersambut peringatan balik dari salah satu sosok pada barisan belakang enam pria pengejar. Bukan cuma melontarkan peringatan balik, ia juga menggunakan nada dibuat keras sama sebagai bentuk balasan. Pernyataan sikap bahwa ia tak takut kepada Wardiman. "Wahhh… Wahh… Macam-macam! Sudah cukup lama lho tak ada yang bicara dengan cara seperti itu kepadaku!" gumam Wardiman. Lekas memerah raut wajahnya. Melompat turun dari atas kereta. "Saking lamanya, aku bahkan sampai lupa kapan terakhir kali!" lanjut Wardiman. Seraya mulai menggenggam gagang Celurit kesayangannya yang senantiasa terselip pada pinggang kiri. Aksi Wardiman, lekas bersambut enam sosok pria pengejar, mengambil langkah mundur. Tampak waspada, memasang wajah marah saat menarik bilah Parang masing-masing. "Aldert…!" Melihat situasi berkembang menjadi intens nan berbahaya, Wardiman berteriak menyebut nama Aldert. "Ya, aku tahu…!" Melompat turun dari kereta, sosok Aldert lekas berlari menuju Willem. Memberi punggung berniat melindungi Tuannya. "Tuan, jangan jauh-jauh dariku!" gumam Aldert. Tampak cukup panik raut wajahnya. Menyiratkan bahwa ia sebenarnya sedang ketakutan. Bagaimanapun juga, sedang dihadapi Wardiman saat ini, adalah enam orang bersenjata Parang. "Hmmm…?" Sementara itu, meski situasi jelas berkembang kearah cukup berbahaya, memiliki intensitas tinggi, seperti bisa kapan saja pertumpahan darah terjadi, Willem nyatanya masih tampil dengan ekpsresi tenang. Justru sempat memberi penilaian atas sikap Aldert yang saat ini sedang memberi punggung untuknya. 'Padahal jelas ketakutan, tapi masih bertahan coba melindungi! Harus jujur kuakui, cukup terkesan!' gumam Willem. Menatap punggung Aldert. "Hei gadis muda! Kemari! Jika tak bisa berdiri, merangkak!" ucap Willem. Tiba-tiba berbicara kepada sosok gadis pribumi masih bersimpuh dengan lutut berlumur darah. "Disana jelas akan menjadi lokasi sangat berbahaya setelah ini!" lanjut Willem. "Emmm…!" Menyambut intruksi Willem, gadis pribumi sekedar membalas dengan anggukan singkat. Sebelum mulai benar-benar merangkak. "Kau pikir mau kemana? Diam saja disana!" Bentak salah satu dari gerombolan pengejar saat melihat targetnya, hendak menjauh dari lokasi awal. "Aldert…! Bantu dia!" ucap Willem. Justru seperti melempar tantangan. Memberi intruksi kepada Aldert saat jelas peringatan untuk tetap tinggal bagi Gadis Pribumi, baru dibentakkan keras. "Hei…! Jangan kira karena kau itu seorang Totok, kami akan…." "Coba lanjutkan! Maka benar-benar terjadi masalah runyam diantara kita!" Belum sempat sosok salah satu gerombolan pengejar menyelesaikan kalimatnya, bentakan keras terdengar dari mulut Wardiman. Menyadari ada berani memasang wajah mengancam kepada Willem, Wardiman yang sempat bertahan sekedar menggenggam gagang Celurit, lekas mencabut senjatanya tersebut. Memamerkan bilah tajam dengan mengangkat tinggi-tinggi. "Kau benar-benar ingin bertaruh nyawa hanya untuk hal yang bukan urusanmu? Gadis ini jelas tak ada sangkut pautnya denganmu!" dengus salah satu dari enam sosok gerombolan pengejar. "Tak ada sangkut paut? Salah!" dengus balik Wardiman. "Gadis itu, baru secara sembrono menghentikan laju kereta kuda sedang kukusiri! Jadi, aku jelas ada urusan dengannya!" lanjut Wardiman. "Belum sempat memberi hukuman karena berani mengganggu perjalanan!" Wardiman, menutup dengan melempar kalimat alasan yang terdengar sangat dibuat-buat. Menyebabkan raut wajah enam pria pengejar, berkembang semakin merah padam. Sangat marah. "Kau benar sedang cari gara-gara kalau begitu!" gumam lawan bicara Wardiman. Melempar tatapan tajam. "Terbalik! Kalian yang cari gara-gara jika mengganggu urusanku dengan gadis itu saat belum benar-benar selesai!" balas Wardiman. "Tapi, itu sekedar hal kecil! Sebenarnya tak cukup membuatku merasa perlu menarik Celurit saat berhadapan dengan kalian, gerombolan keroco!" lanjut Wardiman. Melempar kalimat yang jelas sangat provokatif. "Alasan lain, yang paling utama, itu karena kalian berani sekali berbicara keras nan tak sopan dihadapan Tuan-ku!" Kalimat keluar dari mulut Wardiman, berkembang menjadi bentakan menggebu saat kini mengangkat kembali aksi sempat dilakukan oleh gerombolan dihadapannya yang mana tadi sempat meninggikan kalimat serta memberi tatapan mengancam kepada Willem. Lagipula, siapa Wardiman. Dia adalah seorang mantan Boss rampok yang begitu disegani. Wajah serta namanya, masihlah sangat tersohor dikalangan b******n kelas kakap Kota Surabaya. Sosok macam Wardiman yang telah bersumpah setia kepada Jan van der Beele, Asisten Resident Kota Surabaya menyelamatkan dari hukuman mati, tentu berkembang merasa direndahkan saat Putra majikannya yang mana telah ia dapat mandat langsung untuk lindungi, baru diancam oleh gerombolan keroco berandal kelas rendahan yang bahkan tak mengenali wajahnya. Tak tahu sedang dihadapi, adalah seorang Wardiman. "Terimakasih, Tuan…" Bersama bentakan Wardiman, Aldert yang tadi mendapat intruksi untuk membantu gadis pribumi, akhirnya sampai membawa gadis tersebut kini berada dihadapan Willem. Sang Gadis sendiri, lekas mengucap terimakasih. Bergantian menatap Aldert dan Willem. "Simpan terimakasihmu untuk nanti! Lagipula, kau masih belum resmi lolos dari masalah! Aku tak pernah bilang membantu dengan cuma-cuma!" ucap Willem. Melirik singkat sosok gadis pribumi, sebelum kembali menatap punggung Wardiman. Pada sisi lain, meski gerombolan enam pria pengejar tampak tak mengenali sosok Wardiman, mereka nyatanya masih mendapat sensasi perasaan berbahaya tertentu. Tak berani bersikap sembarangan mulai melancarkan aksi terlebih dahulu saat menatap sosok Wardiman yang meski kini sedang berhadapan enam lawan satu, bertahan dengan sikap seolah tak takut sama sekali. Justru berkembang terlihat semakin garang dan garang tiap waktu. Tatapan mata tajam nan bengis yang kini sedang ditampilkan oleh Wardiman, sukses membuat tiap yang menatapnya, alami merinding. "Ayo…! Siapa yang pertama? Mau dijadikan duel, atau sekalian maju semua aku juga tak ada masalah!" bentak Wardiman. Melempar kalimat provokasi saat lawan-lawannya, masih saja diam terpaku ditempat masing-masing. Tak ada yang coba mengambil inisiatif padahal jelas unggul dalam jumlah. "Ahhh… Dia hanya sendiri! Kenapa takut! Ayo…" Tak tahan, salah satu dari enam berandal, akhirnya maju. Mengangkat tangan menggenggam parang tinggi-tinggi. Berlari hendak mengayunkan sabetan pertama. "Nahhh… Begitu! Kebetulan tanganku sudah lama gatal hanya mengurus kuda!" gumam Wardiman. Sabetan lawan, akhirnya benar-benar datang. Mengayun cepat. Namun, dihindari cukup mudah oleh Wardiman dengan gerak sederhana. Sedikit menyampingkan tubuh. Sosok berandal, lekas kehilangan keseimbangan saat tebasannya, sekedar bertemu udara kosong. Wardiman sendiri, sempat tersenyum tipis bersama kaki kanan, dikaitkan pada kaki lawan. Aksi yang menyebabkan lawannya tersebut yang memang sudah kehilangan keseimbangan, jatuh tersungkur cukup keras. "Nahhh….!" Bergumam, Wardiman melanjutkan dengan ayunan cepat nan tangkas menancapkan ujung tajam melengkung celuritnya, pada pundak pria malang sedang tersungkur dibawah kakinya. "Aaarrrhhhggggg….!!!" Tusukan yang tentu bersambut teriak lantang kesakitan korban. "Hei…! Tak bisa dibiarkan! Cepat bantu…!" Melihat kawannya tersungkur berteriak kesakitan dengan pundak bersimbah darah, lima berandal tersisa, reflek lekas menerjang secara bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD