Selepas menyantap sarapan pagi bersama Rojik dan Aldert, Willem menyempatkan untuk menikmati sajian teh favoritnya. Menyesap dengan gaya elegan nan alami sembari menggunakan jari-jari tangan kiri, untuk mengetuk meja. Membuat irama tertentu.
Sementara Aldert, mengambil posisi dibelakang kursi Willem, siap menuang teh sekali lagi saat cangkir kosong. Menyisakan Rojik yang bertahan mematung duduk canggung diatas kursi menghadap Willem. Tak tahu harus berbuat apa, sekedar bisa mengamati acak barang-barang sekitar. Kadang memandangi gelas-gelas teh, juga beberapa lukisan terpajang di dinding ruang.
"Tak suka teh?" tanya Willem. Tiba-tiba memecah keheningan.
"Suka Tuan, tapi tak terlalu berlebihan!" balas Rojik.
Mendengar balasan sederhana Rojik, Willem entah kenapa kembali menampilkan raut wajah puas.
Rojik sendiri, masih memperhatikan sekitar. Dimana dari sudut pandang sosok mantan anak jalanan macam dirinya, segala perabot ditempatkan pada ruang kerja Willem. Sangatlah mewah. Berkesempatan sekedar memandangi, sudah membuatnya tampak memiliki kesenangan tertentu.
"Obrolan akan lebih menyenangkan saat kau mulai terbuka seperti sekarang! Mengingat dipertemuan awal kapan hari, kau tampak masih menutup diri!" ucap Willem.
"Ya, Tuan…"
Rojik, membalas ala kadarnya.
"Bagaimanapun juga, waktu itu Paman Wardiman sangat seram!" lanjut Rojik. Mengingat momen dari ia dan kawan-kawannya, pertama tertangkap basah hendak mencuri ayam.
Situasi yang menyebabkan mereka harus berhadapan sosok garang Wardiman dengan Celuritnya. Digiring ketempat sekarang ia berada. Ruang kerja sosok pemilik perusahaan pertanian der Beele. Tak terduga, bukan dihukum atau apa, justru malah diajak makan pagi. Sarapan.
"Hahahah…!"
Jawaban Rojik, bersambut Willem tertawa lepas. Menyukai karakter Rojik yang tak ragu dengan polos menyampaikan kalimat apapun terlintas dalam benaknya.
"Kurasa, itu pula alasan kau cukup khawatir dengan aku mengirim Wardiman tadi menuju kawan-kawanmu, benar?" tanya Willem.
"Ya… Seperti itu Tuan, mereka biasa terlalu mengandalkanku!" balas Rojik.
"Tapi, meski berasal dari jalan, sejujurnya mereka anak-anak baik! Kami lakukan selama ini…"
"Sekedar upaya bertahan hidup cari makan benar?"
Rojik belum sempat menyelesaikan kalimat saat Willem lekas memotong.
"Aku mengerti! Jadi tak perlu mengangkat topik kurang menarik itu!" lanjut Willem. Meletakkan cangkir teh telah kosong, untuk lekas diisi ulang oleh Aldert tanpa perlu ia meminta.
"Membahas tentang nasib malang dan sejenisnya, cukup membosankan!"
"Akan lebih menarik melanjutkan ketahap bagaimana orang, dapat keluar dari situasi yang menurutnya malang tersebut!"
Kembali menyesap teh, Willem bergumam menatap tajam sosok Rojik.
"Kau ingin tak terus hidup terlunta dijalan bukan?" tanya Willem.
"Tak sepenuhnya Tuan, beberapa dijalanan sudah terlanjur menjadi kegemaran!" balas Rojik. Sekali lagi, mengucap kalimat apa adanya.
Karakter yang sangat disukai oleh Willem. Terbuka mengutarakan apa yang terbesit, tanpa perlu coba menjilat, mengikuti arah pembicaraan sekedar menjawab dengan rangkai kalimat menyenangkan lawan bicara.
"Ohhh… Sabung Ayam, benar?" tanya Willem. Lekas memahami maksud dari balasan Rojik.
"Benar…" balas Rojik. Sedikit menundukkan kepala. Tampak malu.
"Tak perlu memasang wajah seperti itu, tiap orang, memiliki kegemaran masing-masing! Terutama saat itu adalah lelaki!" ucap Willem.
"Jawab pertanyaanku ini…."
Melanjutkan, Willem tiba-tiba memasang wajah cukup serius.
"Ada waktu lima tahun dari sekarang, kau, sosok anak jalanan yang kuberi kesempatan bekerja ditempatku, perusahaan pertanian der Beele yang sudah kuanggap sebagai anak."
"Anak pertama kulahirkan serta kubesarkan sedemikian rupa, mendapat kesempatan yang bahkan tak semua coba mengajukan lamaran dapat diterima, meski itu golongan Indo lulusan HBS!"
"Kau Rojik, katakan, dengan semua kesempatan itu, lima tahun dari sekarang, dimana kau melihat dirimu berdiri?" tanya Willem.
Pertanyaan Willem, lekas bersambut keheningan. Rojik, untuk pertama kali tak lagi melihat sekitar. Tampak fokus berfikir dengan mulai menundukkan wajah.
"Lima tahun dari sekarang?" gumam Rojik lirih.
"Tuan, aku tak tahu akan menjadi apa!"
Sempat bertahan menunduk untuk beberapa saat, Rojik akhirnya mengucap balasan awal. Bagaimanapun juga, jenis pertanyaan Willem, memang sudah selayaknya cukup sukar di jawab oleh sosok bocah duabelas tahun macam Rojik.
"Namun, lima tahun kedepan, jika tetap berada disekitar, bekerja untukmu, berada dinaunganmu, aku merasa seperti banyak kesempatan!"
Rojik, melanjutkan dengan balasan yang mana akan jarang terdengar keluar dari mulut seorang bocah duabelas tahun. Bahkan Aldert yang ikut mendengar, kini menatap dengan sorot tertarik. Penasaran dengan bagaimana Rojik akan menutup kalimatnya.
"Aku memang tak tahu dimana akan berdiri lima tahun kedepan, tapi jelas bukan lagi diriku yang sekarang!" lanjut Rojik.
"Bisa saja seperti Paman Wardiman…"
Rojik masih mengucap kalimat saat lagi-lagi, Willem memotong. "Atau bisa saja seperti Aldert yang ada disini!"
"Ehh… Seperti Paman Aldert?" gumam Rojik.
"Paman?"
Gumam reflek Rojik, lekas bersambut gumam balik dari Aldert. Tampak tak senang dipanggil dengan sebutan paman.
"Hahhaha… Aldert, biarkan saja!" tanggap Willem. Memahami keluhan tak terucap Aldert hanya dengan melirik bagaimana raut wajah Asisten pribadinya tersebut.
"Tuan, aku belum setua itu! Paman? Membuat telingaku gatal!" keluh Aldert.
"Rojik, panggil dengan sebutan lain lebih nyaman!" lanjut Aldert. Melempar banding.
"Ehhh… Apa? Bukankah lebih tua akan dipanggil paman?" tanya Rojik. Memasang raut wajah polos nan alami.
"Terserah! Asal jangan Paman!" dengus Aldert. Merasa wajah polos Rojik, malah bentuk ejekan alami bahwa ia memang tampak seperti paman-paman.
"Hahhaa… Rojik! Kau bisa panggil Aldert dengan nama langsung!" tanggap Willem.
"Tuan, itu akan tak sopan!" balas Rojik cepat.
"Lalu? Kak Aldert saja kalau begitu! Selesai urusan!" ucap Willem.
"Benar begitu Aldert?" tanya Willem, kini melirik kearah Aldert berdiri disampingnya.
"Ya Tuan, itu terdengar lebih baik!" ucap Aldert.
"Nahh… Jadi Rojik! Kembali pada topik pembahasan diawal!"
Willem, lekas melanjutkan untuk kembali ke pertanyaan sempat ia buka.
"Bukan seperti Paman Wardiman! Mungkin tiga kawanmu, akan cocok dengan posisi itu lima tahun kedepan!"
"Tapi kau, aku memiliki situasi dan posisi lain perlu tercapai!"
"Lima tahun kedepan, kau perlu menjadi sosok layaknya Aldert ini!"
"Kak Aldert?"
Rojik, lekas kembali menggumam sembari mengerutkan kening. Reflek mengalihkan pandangan dari Willem, kepada sosok Aldert berdiri disamping agak belakang kursinya.
"Ya, aku ingin kau bisa mengambil peran sepertinya! Membantuku dalam bidang-bidang tertentu! Mengurus perusahaan pertanian der Beele!" balas Willem.
"Itu target perlu kau capai untuk lima tahun kedepan! Itu adalah sosok yang harus kau lihat pada diri sendiri, saat memikirkan akan menjadi seperti apa lima tahun dari sekarang! Berdiri dimana langkah kakimu memijak!" lanjut Willem.
"Tuan, aku hanya sekedar golongan ketiga! Bukan Ningrat ataupun Indo macam kak Aldert!" balas Rojik.
"Masalahnya dimana dengan itu? Gulden akan menyelesaikan hal-hal tertentu jika kau menganggap penggolongan, merupakan sebuah halangan!" tanggap Willem.
"Yang jelas, semua baru kusampaikan, bersifat wajib, tak bisa ditawar!"
"Segala kesempatan kuberikan padamu ditempat ini, bukan sesuatu gratis!"
"Memberi dan menerima! Itulah yang membuat dunia ini terus berjalan! Jadi, jangan anggap semua yang dalam beberapa tahun kedepan kau dan tiga kawanmu dapatkan, adalah cuma-cuma!"
"Tak ada yang namanya makan siang gratis! Aku juga bukan sosok dermawan! Pahlawan atau sejenisnya!"
"Semua yang kuberi, adalah bentuk investasi! Kau, dan tiga kawanmu, merupakan sumberdaya! Jadi, sekarang aku menagih, sumbangsih apa dapat kau berikan sebagai balasan?"
"Tuan, bukankah kami bekerja untuk mendapat upah!" balas Rojik. Cukup cerdas mengangkat fakta tentang mereka tak menerima upah cuma-cuma.
Balasan yang lagi-lagi membuat senyum, mengembang diwajah Willem. Tampak menyukai sosok cerdas Rojik.
"Ya, kalian bekerja untuk mendapat upah! Tapi, apa kau lupa tentang siapa memberi kesempatan kalian dapat bekerja?" ucap Willem. Menanggapi dengan melempar pertanyaan kepada Rojik.
Pertanyaan yang lekas membuat Rojik terdiam. Bagaimanapun juga, itu benar, tanpa Willem mempersilakan mereka tinggal, jangankan bekerja, itu Rojik dan tiga kawannya, saat ini pasti masih berada di jalanan.
"Baik… Saya mengerti!" gumam Rojik.
"Bagus! Kuanggap kau sudah memiliki gambaran terang dari sosok seperti apa nantinya dirimu menjadi lima tahun kedepan!" balas Willem.
"Ya, Tuan! Saya akan berusaha!" balas Rojik. Mengucap kalimat sederhana, namun dari sorot mata, Willem tahu bocah dihadapannya, telah benar-benar membulatkan tekad.
"Aldert! Mulai hari ini, kau akan mendapat tugas tambahan khusus!" ucap Willem.
"Tiap sore, ajari anak ini hal-hal dirasa perlu! Persiapkan untuk nanti ketika umurnya telah cukup, ia akan sesuai memasuki sekolah!" tutup Willem.
"Baik, Tuan!" balas Aldert singkat.