43 - Raden Mas Bagus

1224 Words
(Kediaman Bupati Sidoarjo) Sosok berpenampilan rapi khas pelajar HBS, tampak sedang berjalan dengan langkah tak tergesa. Sempat bertemu seorang pelayan bersimpuh didepan sebuah pintu, sosok pemuda yang seperti anak keturunan Ningrat ini, melakukan percakapan barang sejenak. Percakapan yang ditutup dengan pelayan, berbalik memasuki pintu dalam gerak merangkak. "Silakan, Tuan Bupati sudah menunggu!" Tak membutuhkan waktu lama, sosok pelayan kembali keluar. Menyampaikan untuk Sang Pemuda Ningrat pelajar HBS, memasuki ruang. "Raden Mas Bagus…! Aku sempat lupa kalau ini hari Jumat!" Menyambut kedatangan pemuda memasuki ruang kerjanya, Raden Mas Adiwangsa, menyapa sembari memasang raut wajah cerah. Sejak kembali dari acara pesta selamatan Toko Purnama, Raden Mas Adiwangsa memang tampak dalam suasana hati bagus. Bagaimanapun juga, diakhir jalannya pesta, sosok Bupati Sidoarjo ini, mendapat sebuah tawaran cukup besar dalam bentuk kesempatan menjalin kerjasama bisnis dengan dua sosok cukup tersohor. Willem van der Beele serta Hong Kui. "Salam Tuan…!" Seperti disebut oleh Raden Mas Adiwangsa, sosok pemuda kini hadir dihadapannya, tak lain adalah Raden Mas Bagus. Putra Bupati Solo. "Apakah ada pelajaran hari ini untuk Kirana?" Sempat memberi salam tanda hormat, Raden Mas Bagus melanjutkan dengan bertanya sopan. "Tentu!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Tak ada agenda tertentu untuk dilakukan oleh Kirana! Jadi, ia bisa melanjutkan pelajaran baca tulis rutin denganmu!" lanjut Sang Bupati Sidoarjo. "Baik, Tuan…!" Raden Mas Bagus, sekali lagi menampilkan sikap sopan. Menunduk begitu dalam tanpa sekalipun mengangkat wajah untuk memberi tatapan langsung kepada Raden Mas Adiwangsa. Sebagai sosok pelajar HBS, Raden Mas Bagus memang telah mengikuti kebiasaan dari golongan baru yang telah terbentuk semenjak anak-anak kaum Ningrat Pribumi, mendapat kesempatan menempuh pendidikan Eropa. Golongan baru yang mana disebut kaum terpelajar ini, menolak untuk menjalankan tradisi lama dimana mengharuskan mereka berjalan membungkuk ketika bertemu dengan sosok pembesar. Tradisi yang dianggap hanya mencederai kemanusiaan, merendahkan harkat martabat mereka. Situasi dimana membuat awal mula kaum terpelajar menggaungkan sikap mereka tersebut, banyak menentang tradisi lama Ningrat Pribumi, pertentangan kerap terjadi antara Kaum terpelajar, dengan pembesar Ningrat Pribumi generasi lama. Bapak dan anak, sering berkonflik ketika para pelajar yang pulang kerumah pasca menempuh pendidikan atau sekedar mengambil waktu libur, tak berkenan menjalankan beberapa tradisi yang dianggap merendahkan hasil dari pendidikan mereka. Banyak pula kasus anak-anak kaum Ningrat Pribumi ini, berkembang agak melewati batas dengan tak bersedia meneruskan memakai nama kebangsawanan yang diemban sejak lahir. Lebih memilih mencantumkan gelar pendidikan. Raden Mas Adiwangsa sendiri, sebagai generasi bisa dikatakan canggung, anak-anak Priyayi pertama mendapat kesempatan menempuh pendidikan ala Eropa, tampak dapat memahami sikap para kaum terpelajar meski ia masih juga menerapkan kebiasaan-kebiasaan tradisi lama. Pemikiran dari hasil pendidikan ala Eropa, dengan masih kental mempertahankan sikap tradisi Jawa Ningrat, Raden Mas Adiwangsa dapat berfikir terbuka. Tak tersinggung dengan sikap Raden Mas Bagus yang tak berjalan membungkuk ketika memasuki ruang untuk menghadap dirinya. Namun jika itu orang lain bukan pelajar HBS, para pelayan misalnya, Raden Mas Adiwangsa tentu akan menjadi marah jika ada sembarang berjalan tegak dihadapannya. Ditambah pula fakta bahwa Raden Mas Bagus masih menampilkan sikap sopan, meski tak membungkuk tapi bertahan menundukkan kepala. Tak melihat langsung kearah wajah atau mata saat berbicara dengannya, Raden Mas Adiwangsa, memiliki pandangan cukup baik atas attitude Putra Bupati Solo ini. Alasan yang menjadi dasar pula kenapa Raden Mas Adiwangsa, memilih Raden Mas Bagus sebagai tentor anak gadisnya, Kirana dalam belajar baca tulis. "Seperti biasa, kau bisa melewati pintu sebelah! Menuju ruang baca! Kirana akan segera datang setelah bersiap!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Melanjutkan percakapan dengan intruksi kepada Raden Mas Bagus. "Baik, Tuan! Saya permisi dahulu!" balas Raden Mas Bagus. Masih dengan sikap sopan menundukkan wajah. Mulai mengambil langkah menuju pintu tadi dimaksud setelah sempat memberi salam. Raden Mas Adiwangsa sendiri, terus memperhatikan sampai punggung Sang Pemuda, tak lagi terlihat bersama pintu sempat ia buka, kembali tertutup. "Hahh, dari pada Cahyo Putra Soeryo, akan jauh lebih baik jika itu Bagus ini menjadi calon suami Kirana!" gumam Raden Mas Adiwangsa. Sedari awal, memang cukup tak nyaman dengan sosok Raden Adipati Cahyo, Putra dari sahabatnya Bupati Tuban yang tak henti bersikeras terus mengangkat tentang perjodohan. Bagaimanapun juga, dibanding Raden Mas Bagus yang masih mempertahankan sikap sopan santun kepada generasi lebih tua macam dirinya, Raden Adipati Cahyo anak sahabatnya, tampak sudah benar-benar menjadi kaum terpelajar tulen. Tak berkenan menjalankan kesopanan dan sejenisnya. Terkesan justru terlalu bersikap arogan. Seperti kebanyakan yang menyebut dirinya golongan kaum terpelajar, mereka seolah menganggap diri sendiri yang merupakan pelajar atau lulusan sekolah-sekolah HBS, memiliki derajat lebih tinggi dibanding para pembesar Ningrat Pribumi. Lebih tinggi dari bapak-bapak mereka. Situasi yang belum bisa terselesaikan hingga saat ini. Membuat beberapa Bupati atau pembesar, enggan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Eropa. Meski memang sebenarnya sudah menjadi hak anak-anak tersebut. Namun masih banyak juga yang pada akhirnya tetap mengambil kesempatan dari akses pendidikan Eropa Politik Etis. Mengirim Putra mereka kesekolah-sekolah Eropa. Bagaimanapun juga, hal-hal terkait prestise atau gengsi, masih cukup kental dikalangan antar kaum Ningrat Pribumi. Tak mau kalah atau tertinggal saat Putra dari kawannya, menjadi sosok dihormati lulusan sekolah HBS dan sejenisnya. "Jaman akan terus bergerak! Dan kaum menyebut diri mereka golongan terpelajar ini, tampak seperti lekas memberi suatu angin perubahan tertentu!" gumam Raden Mas Adiwangsa. "Aku sendiri mungkin akan mengambil sikap demikian jika tak kebetulan lahir terlalu cepat!" lanjut Raden Mas Adiwangsa. Merenung sejenak. "Setidaknya, Raden Mas Bagus ini masih mampu melihat bagaimana harus menempatkan diri. Bagaimana harus bersikap sesuai dengan kapasitas diri dengan siapa berhadapan!" Sempat merenung, Raden Mas Adiwangsa kembali mengomentari sikap Raden Mas Bagus. Jelas cukup memiliki kesan baik kepada Putra Bupati Solo tersebut. "Kita lihat saja kedepannya bagaimana! Satu dua tahun lagi, akan coba kutanyakan kepada pemuda ini perihal apakah ia memiliki minat terhadap Kirana!" Raden Mas Adiwangsa, melanjutkan gumaman. Mempertanyakan kemungkinan yang sebenarnya, ia sudah cukup yakin atas jawabannya. Raden Mas Bagus, seperti kebanyakan pemuda Ningrat anak Bupati lain, juga pemuda dari golongan Indo memiliki garis darah setengah Eropa, tentu tak akan menolak saat mendapat tawaran tentang apakah bersedia disandingkan menjadi suami Kirana. Raden Rara Kirana, sosok ayu dambaan para pemuda, diibaratkan bagai Dewi Sinta kisah pewayangan Ramayana. ***** (Kamar Kirana) "Nona, Ayahanda anda mengabarkan bahwa Raden Mas Bagus, sudah menunggu diruang baca!" Seorang pelayan wanita sepu, mengetuk pintu kamar beberapa kali sebelum mengucap kalimat tentang waktu belajar bagi Kirana. "Iya, Mbok! Aku akan segera kesana! Bersiap terlebih dahulu!" Suara Kirana, terdengar menjawab dari dalam kamar. Merdu nan menenangkan meski tak dibuat-buat. Begitu alami adanya. "Baik… Saya permisi kalau begitu!" balas pelayan wanita sepu. Tersenyum bersama langkah kaki meninggalkan pintu depan kamar. "Hehhe… Nahh, Raden Mas Bagus sudah menunggu itu…" Didalam kamar, Kirana ternyata tak sendiri. Ditemani sosok gadis lain memiliki mata layaknya kaum Eropa biru terang indah. Namun rambut, hitam legam sedikit keriting khas wanita Jawa. Perawakan gadis ini sendiri, juga tampak berbeda dengan wanita Jawa pada umumnya. Cukup tinggi. "Ahhh… Emma! Berhenti menggoda macam itu!" balas Kirana. Tersipu malu. "Nah… Nahh… Wajahmu memerah hei…! Coba lihat cermin kalau tak percaya!" balas gadis tadi sempat dipanggil Kirana dengan nama Emma. Emma sendiri, tak lain adalah sahabat dekat Kirana semenjak kecil. Sosok gadis Indo cukup beruntung memiliki akses menjadi pelajar HBS atas pengaruh Sang Ayah yang merupakan Totok Belanda. Ibu Emma yang sekedar pelayan biasa sempat bekerja ditempat seorang Tuan Totok Belanda, dalam beberapa malam tertentu, menjadi pelampiasan saat Tuan-nya, mabuk berat. Hasil dari beberapa malam tersebut yang telah lewat, Emma terkandung dalam perut Sang Ibu. Resmi menjadi seorang Indo. Memiliki setengah garis darah Eropa dari Sang Ayah. Setengah lagi, Pribumi biasa pihak Ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD