(Keesokan harinya, Perusahaan Pertanian der Beele)
"Rojik…! Ikut aku!"
Hari masih pagi saat Willem, datang berkunjung ke lokasi kandang ternak ayam. Memanggil Rojik yang tampak baru bangun. Hendak melakukan pekerjaan memberi makan ayam-ayam.
Seperti kita tahu, Rojik adalah pemimpin dari kumpulan begundal kecil yang kapan hari sempat hendak mencuri ayam di kandang ternak perusahaan pertanian der Beele.
Terpergok oleh Wardiman yang memang bertanggung jawab menjaga keamanan, Rojik dan kawan-kawannya begundal kecil lain, cukup beruntung dengan justru ditawari oleh Willem bekerja ditempatnya.
Selain tak lagi perlu mencuri ayam karena Willem memberi satu dipilih dengan bebas, mereka juga mendapat penghasilan tiap hari dengan bekerja mengurus ternak ayam.
"Ya, Tuan!"
Mendengar Willem memanggil, Rojik lekas menaruh ember berisi pakan ternak sedang ia bawa. Menyempatkan berpamitan kepada tiga kawan lain sebelum lekas berlari kecil mengejar punggung Willem yang telah mulai berjalan meninggalkan tempat.
Menemani Willem sendiri, tentu saja Aldert. Seperti biasa, pagi itu keduanya melakukan pemeriksaan rutin berkeliling perusahaan. Mengakhiri kegiatan dengan Willem, mengunjungi Rojik dan kawan-kawannya dimana tinggal disekitar kandang ternak ayam.
"Bocah… Kau sudah sarapan?"
Ditengah perjalanan, Aldert bertanya kepada Rojik yang akhirnya berhasil menyusul untuk kini berjalan mengambil posisi sedikit dibelakangnya.
Tampak Aldert benar-benar mengindahkan kalimat Willem yang sempat menegur saat ia bersikap merendahkan kaum pribumi bekerja di perusahaan pertanian der Beele. Sosok keturunan Indo ini, mulai secara tulus coba lebih menghargai kaum Pribumi.
Bagaimanapun juga, pengalaman saat ia dihina serta tak henti ditatap rendah oleh Laurens Both ketika kemarin mengikuti Willem menghadiri acara pesta selamatan Toko Purnama, seperti menyadarkan Aldert bahwa situasi dari direndahkan, benar-benar menyesakkan.
Meski memang sikap Laurens Both telah dibalas dengan sangat setimpal oleh Willem, sosok Totok Belanda Putra Assisten Residen Kota Gresik tersebut telak dipermalukan didepan publik oleh Tuan-nya, Aldert tetap mendapat banyak hal menjadi bahan pemikiran.
Mengoreksi hal-hal tertentu yang mana berkembang menjadi sumber dari banyak pelajaran berharga ia dapatkan.
"Nanti! Sarapan bersama yang lain!"
Menyambut pertanyaan tiba-tiba Aldert, Rojik menjawab singkat. Menyatakan ia belum sarapan, berniat untuk nanti makan pagi bersama ketiga kawannya.
Willem sendiri yang tentu juga mendengar Aldert mengambil inisiatif pertama membuka obrolan dengan Rojik, tampak menampilkan senyum tipis sederhana bersama langkah kaki bertahan memimpin didepan. Menyempatkan tetap mendengar untuk beberapa saat obrolan dua orang dibelakang sebelum akhirnya, ikut bergabung.
"Hmmmm… Rojik! Kalian nyaman tinggal disebelah kandang ternak ayam?" tanya Willem.
"Tak masalah Tuan! Seperti sempat Anda sampaikan, itu masih lebih baik dari pada tidur tak menentu dijalan!" balas Rojik.
"Setidaknya, aku dan yang lain, tak bingung ketika hujan turun!" lanjut Sang Bocah.
"Bagus kalau begitu!" ucap Willem. Melempar pertanyaan, sekedar untuk mengkonfirmasi satu dua hal sederhana.
Balasan dari Rojik sendiri, tampak bersambut raut puas diwajah Willem.
"Terkadang, beberapa orang tak menyadari ketinggian serta batasan diri sendiri! Terlalu menilai tinggi dirinya, merasa semua yang telah didapat, belum cukup layak!" lanjut Willem. Masih berjalan. Mengucap kalimat tanpa memberi tatapan kebelakang.
Sementara Aldert dan Rojik, mulai menghentikan percakapan masing-masing tepat ketika Willem mengucap kalimat. Diam untuk mendengar apapun keluar dari mulut sosok Tuan mereka. Menajamkan telinga agar tak sampai ada satupun kata terlewat.
"Salah dalam menilai kualitas diri, hanya akan berujung pada terus mengeluh! Melihat dari sisi tak seharusnya! Sisi yang mana justru sebenarnya sudah merupakan ukuran layak!" lanjut Willem.
"Tiap individu, mendapat ganjaran atau pencapaian, dari kualitas diri serta kemampuan masing-masing!"
"Jika kau merasa layak, cukup mampu namun mendapat hasil atau ganjaran tak sesuai, maka itu juga merupakan upah dari tak mampu melihat kualitas diri! Upah dari sebuah kebodohan!" gumam Willem. Tiba-tiba membawa obrolan pagi, menuju suatu pembahasan cukup mendalam.
Aksi yang jelas menyiratkan bahwa ia cukup menghargai dua sosok sedang mengikuti dibelakang punggungnya. Coba memberi wawasan bagi Aldert dan Rojik.
"Rojik, kau tadi mungkin menganggap ditempatkan disekitar kandang ternak ayam, sama sekali tak masalah, namun jawaban berbeda, jelas akan keluar dari mulut orang lain saat itu yang ditempatkan disana, adalah seorang Pribumi Ningrat misalnya!"
Sempat menjeda, membuat sisa perjalanan sempat hening, Willem akhirnya mengucap kalimat lanjutan.
"Ia pastinya menganggap kulakukan, sebagai bentuk penghinaan!" gumam Willem.
"Bahkan beberapa Pribumi biasa, mungkin juga akan sama menganggap ditempatkan di lokasi itu, sebagai bentuk penghinaan!"
"Dari sini, kita bisa melihat bagaimana contoh nyata dari seorang mampu mengukur diri sendiri!"
"Sekedar tak mendengar kau mengeluh, itu sudah cukup bagiku melihat bagaimana kau bisa sadar akan kapasitas diri!" lanjut Willem. Secara tak langsung, melempar kalimat pujian untuk Rojik.
"Pertahankan itu! Akan banyak membantu dimasa depan! Membuat kau tahu kapan harus bersikap mengambil langkah mundur, atau kapan harus maju kedepan, mengangkat kepala dengan sombong!"
"Mengangkat kepala dengan sombong?"
Mendengar kata-kata akhir Willem, Rojik lekas bergumam. Mengulang sembari mengerutkan kening.
"Ya! Kesombongan, juga perlu! Jangan terus merendahkan diri sendiri! Seperti sempat kusampaikan, orang-orang yang sadar bahwa dirinya layak untuk dihargai namun bertahan diam ketika direndahkan orang lain, itu adalah bentuk nyata dari upah sebuah kebodohan!" gumam Willem.
"Upah dari sebuah kebodohan?"
Kali ini, bukan hanya Rojik. Aldert, juga bergumam lirih. Mengulang kalimat Willem. Dua sosok berjalan dibelakang punggung Willem ini, tampak sedang merenungkan kalimat mendalam baru disampaikan oleh Tuan mereka. Coba meresap baik-baik untuk ditambatkan jauh dalam hati masing-masing.
"Wardiman…!"
Aldert dan Rojik, masih berjalan menundukkan kepala, mengingat segala disampaikan oleh Willem saat tak sadar, langkah keduanya sampai di sekitar lokasi kandang kuda. Lokasi sama dari kereta Wardiman, ditempatkan.
"Ya, Tuan?"
Wardiman yang tampak sibuk membersihkan kereta kuda. Lekas membalas panggilan Willem bersama langkah kaki bergegas mendekat.
"Setelah urusan disini selesai, bisa kau sempatkan untuk mengunjungi kawan-kawan Rojik?" ucap Willem.
"Aku ingin kau mengajari mereka beberapa hal tertentu yang mana kau cukup ahli!" lanjut Willem.
"Beberapa hal tertentu aku cukup ahli?"
Wardiman, mengulang kalimat Willem sambil mengerutkan kening. Tampak belum begitu jelas dengan intruksi yang memang tersirat diucap oleh Tuan-nya.
Balasan dari raut tak paham Wardiman sendiri, adalah tatapan Willem kepada senjata kesayangan terselip dipinggang mantan Boss rampok jalanan tersebut.
"Ohh… Itu? Baik-baik! Aku paham Tuan? Kau bisa serahkan padaku!" balas Wardiman. Memasang raut wajah bersemangat. Tampak memahami intruksi Willem.
"Memang aku ahlinya! Dan kurasa, mereka cukup tepat untuk dilatih! Sekarang aku tahu kenapa Anda memberi kesempatan pada kumpulan anak nakal ini!" lanjut Wardiman. Dengan intonasi nada nan khas seorang suku Madura.
"Ngomong-ngomong, dia tak sekalian juga?" tanya Wardiman, menatap sosok Rojik sembari memainkan kumis tebalnya.
"Tidak! Aku punya rencana lain untuk Rojik! Dia memiliki beberapa potensi tertentu yang kurasa, akan lebih cocok!" balas Willem.
"Baiklah kalau begitu!" balas Wardiman.
"Kau boleh pergi sekarang!" ucap Willem.
"Tapi ingat, biarkan mereka selesai dulu dengan pekerjaannya! Jadi kau sekalian mengawasi kerja anak-anak ini!" lanjut Willem.
"Siap Tuan! Sama sekali tak masalah! Semua tinggal terima beres! Kupastikan melaksanakan dengan baik!" balas Wardiman.
Menyempatkan memberi salam sopan untuk Willem, Wardiman pergi berjalan menuju arah kadang ternak ayam.
Rojik sendiri, tak henti menatap punggung sosok gahar mantan Boss rampok ini. Sejujurnya cukup kepikiran dengan intruksi apa diberikan oleh Willem. Bagaimanapun juga, ia sempat melihat arah lirikan kepada Celurit terselip dipinggang Wardiman.
"Tak perlu khawatir! Kawan-kawanmu akan baik saja! Mereka sepenuhnya ditangani oleh sosok yang tepat!" ucap Willem. Menangkap ekspresi Rojik.
Bersama kalimat terucap, sosok Pemilik perusahaan pertanian der Beele tersebut, kembali melanjutkan langkah kaki. Berjalan meninggalkan kandang kuda, untuk menuju gedung utama.
Apapun urusan hendak Willem lakukan dengan mengajak Rojik, jelas menunggu untuk sampai di gedung utama terlebih dahulu.
"Kita akan sarapan dulu nanti!" gumam Willem.
"Tuan, hendak menyantap menu apa untuk pagi ini? Biar lekas saya sampaikan ke pekerja dapur agar disiapkan!" balas Aldert.