40 - Penutup Pesta

1271 Words
'Tuan Willem, menaruh perhatian? Cukup menarik!' gumam Hong Shiu dalam hati. Berkembang makin penuh minat menatap kearah Kirana. Sementara pada sisi lain, Sang Paman, Hong Kui. Kini memasang raut wajah seperti mulai memahami sesuatu. "Jadi begitu? Sekarang semua menjadi terang!" gumam Hong Kui. Melirik kearah Willem. Sebelumnya, Hong Kui masih memiliki beberapa hal ganjil cukup mengganggu, alasan dimana Willem, memilih Sidoarjo. Memilih Raden Mas Adiwangsa sebagai partner tambahan dalam bisnis baru hendak dibangun. Bagaimanapun juga, dimata Hong Kui, tak ada alasan spesifik yang memerlukan itu harus Sidoarjo. Dari pada melebarkan bisnis kewilayah lain, lebih mudah serta tak memiliki resiko, seharusnya memperkokoh untuk menguasai Surabaya, dimana jelas adalah opsi paling baik. Dengan kerjasama kolaborasi antara Willem dan Hong Kui, bisnis apapun hendak akan dibangun, jelas bermuara kesuksesan. Terlebih jika itu masih seputar Surabaya. "Jadi, dia memiliki kait ganda! Ingin mengambil dua dalam sekali lempar!" lanjut Hong Kui. Masih bergumam lirih untuk diri sendiri. "Selain bisnis, ini juga tentang gadis!" "Cukup menarik sosok macam dirinya, memiliki minat kepada seorang Pribumi!" tutup Hong Kui. Seraya mengalihkan lirikan untuk Hong Shiu disebelah. Hong Shiu sendiri, lekas menyadari lirikan Sang Paman. Membalas dengan senyum tipis penuh maksud. Mengangguk singkat seolah menyampaikan ia paham. Entah untuk apa. Pasangan Paman dan Keponakan, tampak dapat melihat situasi sedang terjadi. "Makan malam Tuan?" Saat tiap yang hadir di ruang masih bertahan diam, sekedar melempar lirikan atau bergumam lirih, menyambut pertama pasca kalimat terlontar dari mulut Willem untuk keinginannya, tak lain suara Raden Mas Adiwangsa. Ayah Kirana, mengajukan pertanyaan sekali lagi. Seolah masih belum percaya dengan apa baru ia dengar tadi. Juga berkembang menampilkan raut wajah khawatir. Reflek menggenggam tangan anak gadisnya. "Ayahanda…" Mengikuti genggaman Raden Mas Adiwangsa, Kirana sendiri, kini juga terbangun dari ketertegunan. Menarik pandangan kepada Willem, untuk ganti menatap Sang Ayah dengan sorot bergetar. "Kenapa begitu serius? Kusampaikan tadi sekedar permintaan sederhana!" balas Willem. Menangkap ketegangan yang tiba-tiba terjadi dimata Raden Mas Adiwangsa dan Kirana, juga beberapa tatapan ganjil disekitar, Putra Assisten Residen Kota Surabaya, bertahan memasang sikap santai. "Aldert…!" Menjeda kalimat, Willem sedikit menyodorkan gelas teh. Aksi yang cepat tanggap dibalas Aldert, dengan meletakkan buku serta alat tulis sedari tadi ia genggam. Tanpa perlu sosok Tuan-nya mengucap kalimat apapun, Aldert memahami maksud Willem. Menuangkan teh kecangkir. "Terimakasih…!" gumam Willem. Seraya mulai menyesap teh. Sementara Willem masih tampil cukup santai, tiap sorot tatap mata, juga masih tertuju kearahnya. Bagaimanapun juga, seluruh hadir diruang jamuan, masih menunggu kemana kiranya pembahasan tentang makan malam tadi sempat diangkat oleh pemilik perusahaan pertanian der Beele tersebut akan berujung. "Tuan Bupati, bukankah sudah kusampaikan, aku hanya ingin mengenal lebih jauh sosok gadis yang dianggap layaknya Dewi Sinta! Kebetulan, sejak datang ke Tanah Hindia ini, salah satu buku favoritku adalah Ramayana!" ucap Willem. "Permintaan ini, juga sekedar menyambut apa sempat kau tawarkan! Bentuk terimakasih dari bantuan tadi kuberi!" lanjut Willem. "Jadi, dari pada kau harus merasa memiliki hutang atau sejenisnya, dengan ini, kau punya satu dua hal dapat digunakan sebagai pengangkat beban!" "Membuat situasi antara aku dan kau, kembali netral! Sebuah keperluan saat akan memulai bisnis! Menjadi partner setara satu sama lain!" Willem, kembali menjeda kalimat. Menikmati sesap teh. Sementara jemari tangan kiri yang masih kosong, mengetuk pelan meja dalam irama santai. "Urusan kau dan aku, selesai, tak ada perkara lain perlu dibahas lebih lanjut selain tentang bisnis kedepannya! Menyisakan itu antara kau dan Ayahku saja!" tutup Willem. "Lagi-lagi solusi terang dari Tuan Willem!" Raden Mas Adiwangsa, masih tampak sekedar diam. Belum sempat menyampaikan tanggapan apapun saat suara Hong Kui, kembali menyahut untuk masuk kedalam percakapan. Memiliki dugaan tertentu tentang maksud tersembunyi dari segala permintaan Willem terkait bisnis maupun hal-hal berkenaan Raden Mas Adiwangsa dan Kirana, Hong Kui memutuskan sekedar mengikuti arus sedari tadi dimainkan Willem. Bagaimanapun juga, Hong Kui memahami, apa sedang dimulai Willem saat ini, masihlah pembuka. Dapat dilihat dari diskusi awal ketika Willem sempat meminta bertemu berdua dengannya, dimana menurut Hong Kui, masih memiliki beberapa lubang mengganjal tertentu. Jika saja itu orang lain, Hong Kui jelas akan menjadi marah, tersinggung karena harus dilibatkan oleh suatu hal yang tak secara terang diberi kepadanya sejak awal kesepakatan. Membuatnya harus menerka-nerka, menggali sendiri apa coba dituju diakhir. Namun, karena sosok yang baru membuat arus dengan melibatkan dirinya adalah seorang Willem van der Beele. Hong Kui, tak punya pilihan dengan sekedar bisa mengikuti aliran. Memilih sekedar mendukung apapun itu keluar atau akan keluar dari mulut Willem. Termasuk saat ini. Willem sendiri, segera memberi lirikan pasca Hong Kui melibatkan diri dalam percakapan. Sebuah lirikan berkombinasi senyum tipis. Seolah memuji aksi cepat tanggap Saudagar Tionghoa tersebut. 'Hong Kui ini, selain cerdas, juga lihai menangkap detail kecil! Mampu lekas menempatkan diri atau mengambil posisi menguntungkan bagi diri sendiri!' gumam Willem dalam hati. 'Tak heran bisa mencapai ketinggian seperti sekarang, padahal sekedar Golongan kelas tiga, Timur Jauh yang cukup kurang dalam hal koneksi pembesar!' lanjut Willem. Semakin memiliki gambaran detail karakter seorang Hong Kui, dari mana ia mampu mencapai kesuksesan. "Tuan Bupati Sidoarjo, sebaiknya terima saja tawaran sederhana tadi! Dengan tak ada beban satu sama lain, tak lagi merasa berhutang pada pihak sesama partner bisnis, itu akan memudahkan urusan kedepannya!" lanjut Hong Kui. Memaparkan dukungan atas saran atau permintaan Willem. "Kita bertiga, Tuan Willem, kau, dan aku, bisa fokus untuk bisnis restoran!" "Seperti disampaikan oleh Tuan Willem, itu akan membuat semua kembali sejajar satu sama lain!" tutup Hong Kui. "Begitu?" gumam Raden Mas Adiwangsa. Sedikit lebih tenang setelah mendengar kalimat imbuhan Hong Kui. Pemikiran tentang Willem memiliki agenda tertentu tak baik terhadap Sang Putri, Kirana, kini tersingkap. "Jika memang sekedar syarat sederhana untuk aku dapat membalas hutang budi, maka tentu tak ada masalah!" lanjut Raden Mas Adiwangsa. "Hanya saja…" Sang Bupati Sidoarjo, melirik kearah anak gadisnya. "Semua tentu akan kembali kepada Kirana!" "Aku tak akan memaksa!" "Jika dia ternyata tak bersedia, mohon maaf, maka perlu memikirkan solusi lain membayar hutang budi kepada Tuan Willem!" tutup Raden Mas Adiwangsa. Bijak serta jelas sangat menyayangi anak gadisnya dengan memberi segala keputusan akhir, kepada Kirana. "Ayahanda… Jika bisa membantu sesuatu membuat Ayahanda bisa tenang, tak lagi memasang raut tertekan seperti tadi yang hanya menyebabkan Kirana sedih, tentu Kirana mau!" balas Kirana. Mengucap kalimat, dengan menunduk. "Kirana…" Raut wajah Raden Mas Adiwangsa, lekas menjadi trenyuh. Menatap dengan sorot penuh kasih saat mulai mengusap lembut kepala anak gadisnya. Dengan balasan Kirana, maka pertemuan membahas tentang bisinis antara Willem, Hong Kui, dan Raden Mas Adiwangsa, resmi selesai. Kekurangan dari modal awal 2000 Gulden perlu disediakan oleh Raden Mas Adiwangsa, akan coba diselesaikan dengan Willem memberi akses untuk bertemu dengan Sang Ayah, Jan van der Beele, Asisten Resident Kota Surabaya. Sementara sebagai bentuk terimakasih, Raden Mas Adiwangsa memberi ijin kepada Willem, mengatur waktu makan malam bersama anak gadisnya, Raden Rara Kirana. Berjalan keluar dari ruang jamuan terbatas, Raden Mas Adiwangsa, tak henti memasang raut wajah sumringah. Tersenyum lebar pada tiap langkah kaki ia buat kembali ke mejanya. Tepat ketika Raden Mas Adiwangsa duduk, rentet pertanyaan, lekas keluar dari mulut sahabatnya, Raden Adipati Soeryo. Bupati Tuban ini, sedari tadi sangat penasaran. Tak henti terus memandangi pintu jamuan terbatas semenjak Raden Mas Adiwangsa masuk. Hanya saja, tentu tak ada balasan apapun dapat memuaskan Raden Adipati Soeryo keluar dari mulut Raden Mas Adiwangsa. Bagaimanapun, rencana bisnis haruslah tetap rahasia untuk sementara waktu. Raden Mas Adiwangsa, sekedar menjawab bahwa tadi hanya jamuan makan biasa. Kebetulan dia mendapat kehormatan yang diundang. Acara pesta sendiri, dilanjutkan dengan lelang sesi ketiga. Tak ada terlalu banyak kejutan karena Willem dan Totok Belanda lain, tak tertarik mengajukan penawaran. Begitu pula Raden Mas Adiwangsa dan Raden Adipati Soeryo. Tiga barang lelang sesi ketiga, dimenangkan oleh dua pembesar Bupati, serta seorang pelajar HBS golongan Indo. Pesta acara pembukaan toko Purnama, ditutup meriah dengan kembali menghadirkan kegiatan musik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD