48 - Sosok Wardiman

1276 Words
"Nahh, nahh… Ayo sekalian! Biar cepat!" Melihat kini lima berandal menerjang secara bersamaan, bukan cemas, wajah Wardiman justru malah antusias. Senyum lebar penuh kebengisan, mengembang begitu lebar bersama gerakan tangan melempar Celurit pada genggaman tangan kanan, berganti ke tangan kiri. Mode serius Wardiman, tampak mengandalkan tangan kiri. Atau mungkin sekedar prinsip pribadi, bentuk takhayul yang memang sering dipercaya oleh kaum Pribumi. Dalam suatu kesempatan, Wardiman sempat bercerita kepada Willem tentang kehidupan masa mudanya yang mana sering mengunjungi banyak gunung dan gua. Bertapa. Mencari wangsit, begitu istilah digunakan oleh Wardiman. Menyatakan dalam salah satu pertapaannya, ia dikunjungi oleh seekor makhluk gaib berwujud kera putih raksasa yang kemudian memutuskan untuk bersemayam di pergelangan tangan kiri keturunan Madura tersebut. Entah benar atau tidak, Willem sendiri sekedar mendengar segala kisah Wardiman dengan senyum tipis yang tak henti mengembang pada bibir. Sebagai orang Eropa yang juga kenyang dengan berbagai cerita tentang dewa-dewa macam dewa Yunani kuno, kumpulan Olympus, Zeus, Poseidon, Hades, dan sejenisnya. Juga ada kisah dewa-dewa Nordic, Odin, Thor, dan Loki nan terkenal, Willem menempatkan kisah disampaikan oleh Wardiman, sebagai jenis sama. Sama sekali tak menyangga, namun juga tentu tak percaya. Bagaimanapun juga, tanah Hindia, juga penuh akan kisah mistis. Bahkan menurut Willem, lebih kental dari Eropa. Kepercayaan terhadap hal-hal mistis, klenik, serta gaib, seperti sudah mendarah daging. Menempati berbagai sendi kehidupan kaum penduduk asli wilayah Hindia. Berjalan beriringan apa adanya. Dapat ditemukan pada banyak kebiasaan serta tradisi. Cukup lebih dari satu tahun tinggal, Willem sudah begitu memahami karakteristik serta kebiasaan kaum pribumi tentang hal-hal klenik tersebut. Khususnya Jawa dan Madura yang mana sering ia jumpai disekitar tempat ia tinggal. Bagi Wardiman sendiri, keyakinan bahwa didalam lengan kirinya tinggal dan bersemayam sosok makhluk gaib berwujud kera putih raksasa, membuat dirinya tampil begitu percaya diri. Tak kenal takut ketika merintis awal karir sebagai Bandit. Perjalanan yang bisa dikatakan cukup gemilang mengingat hanya beberapa tahun membangun kelompok, rombongan Bandit pimpinan Wardiman, berkembang sangat pesat. Menjadi kelompok paling disegani seantero Surabaya dan sekitarnya. Selain kepercayaan klenik, pada dasarnya Wardiman juga seorang pesilat ahli. Suatu kombinasi sempurna yang mana membawa ia menuju ketinggian sempat ditapaki. Karir rampok Wardiman, baru terhenti saat lawan dihadapi, itu bukan lagi parang, celurit, atau bentuk senjata tajam lain dari saingan atau korban harus ia hadapi. Melainkan moncong senjata ajaib bisa melontarkan bola besi kecil milik pasukan Belanda Keresidenan Surabaya. Berkembang terlampau jumawa, merasa tak ada lagi mampu menghentikan kelompok rampoknya, Wardiman sembrono mengusik kereta dagang salah satu pembesar Totok Belanda. Aksi yang membuat kelompoknya berakhir menjadi target. Padahal jika melanjutkan sekedar mengusik para pedagang lokalan, para Pribumi kelas bawah, mungkin karir rampok Wardiman dan kelompoknya, akan tetap cemerlang. Salah memilih target, terlalu sombong. Mengakibatkan dalam suatu aksi lain mengincar kereta kuda pembesar Totok Belanda, Wardiman yang kebetulan sedang memimpin langsung, tak menyadari bahwa situasi nyatanya adalah jebakan. Pasukan Belanda keluar dalam kepungan ketat. Tanpa basa-basi memberondong tembakan dari senjata ajaib masing-masing. Biasa mampu menangkis dalam gerak tangkas senjata lawan dalam duel, lontar bola kecil, melesat tanpa mampu ditangkap mata Wardiman. Menghujam telak beberapa bagian tubuh. Sosok Boss Rampok yang namanya begitu tersohor, begitu disegani, tumbang dengan tubuh penuh lumuran darah. Hanya saja, saat semua anggotanya tewas ditempat kejadian, Wardiman entah bagaimana berhasil selamat. Secara ajaib, segala luka ia terima, tak mengenai atau merusak organ vital walau itu memang cukup parah. Menjadi satu-satunya selamat, Wardiman berakhir ditempatkan dalam penjara untuk beberapa saat. Sebelum putusan hukuman mati, terbit. Kisah selanjutnya, berjalan seperti kita telah tahu. Nyawa Wardiman, sekali lagi terselamatkan meski telah ditetapkan untuk menerima hukuman mati. Jan van der Beele, Asisten Resident Kota Surabaya, Ayah Willem. Menggunakan pengaruhnya untuk menyelamatkan dengan mengubah bentuk hukuman menjadi pengabdian seumur hidup kepadanya. Pergantian hukuman yang mana disambut oleh Wardiman, bagai anugerah dari tuhan. Memutuskan mengabdi secara sukarela. Tulus. Tak pernah menganggap pelayanan kepada Jan van der Beele, sebagai bentuk hukuman apapun. Segala perintah keluar dari mulut Tuan Jan van der Beele, merupakan titah wajib yang akan dilaksanakan secara sungguh oleh Wardiman. Termasuk saat ini. Melindungi Willem. Sosok Putra Tuan-nya. "Cuma segitu saja? Hahh....!" Kembali pada situasi terkini, pertarungan seru antar Wardiman melawan lima berandal, berkembang pada puncak intensitasnya. Menerima beberapa luka tebasan, terutama pada lengan kanan yang menganga dengan darah segar bercucuran, nyatanya pihak lawan Wardiman, memiliki kondisi lebih parah. Dari lima tadi menerjang bersama, sekedar dua saat ini masih mampu berdiri. Itupun keduanya sudah tak lagi menggenggam senjata masing-masing. Parang jatuh saat beberapa jari, hilang menerima tebasan celurit kesayangan Wardiman. Memasang wajah garang, sosok Wardiman, membentak keras dua orang masih berdiri. Bentakan yang mana sekejap membuat duo berandal, bergetar ketakutan sekujur tubuhnya, tak sadar mengambil satu langkah kebelakang sebelum jatuh terjerembap ketika melihat sosok Wardiman, membuat langkah kedepan. Sedikit mendekat memangkas jarak. "Kalian cukup beruntung aku sudah berjanji pada diri sendiri, juga pada Tuhan untuk tak lagi mengambil nyawa!" lanjut Wardiman. Sembari bertahan membuat langkah perlahan mendekat. "Hanya saja, janji itu cuma sekedar tak mengambil nyawa! Terus saja coba semakin melewati batas! Menguji kesabaranku! Maka aku akan memberi ganjaran lebih buruk dari kehilangan nyawa!" "Nahh... Kita lihat, apa jadinya saat orang dengan usia masih cukup muda seperti kalian, berakhir kehilangan satu atau dua tangan!" Menutup kalimat, Wardiman yang telah sampai berdiri tepat dihadapan dua berandal sedang terjerembab, menatap rendah dua orang tersebut dibawah kakinya, mengayun celurit untuk menancapkan ujung tajamnya pada pundak salah satu. "Aaarrrhhhggggg...! Ampun Tuan, ampun!" Menerima hujam ujung celurit menembus pundak, pria malang tersebut lekas berteriak kesakitan. Memohon belas kasih. Teriak kesakitan serta wajah memelas pucat pasih yang bersambut justru Wardiman semakin melebarkan senyumnya. Memainkan salah satu ujung kumis tebal dengan jemari tangan kanan yang sedari awal kosong. Seperti memang tengah bermain-main, Wardiman melanjutkan mencabut ujung celurit, ganti menghujamkan pada pundak satu lain sempat termenung menatap kosong kearahnya. "Aaarrrhhhggggg.... Ampun... Ampun...!" Teriak kesakitan, kembali terdengar. Pada sudut lain, saat Wardiman berkembang malah seperti sedang main-main dengan kumpulan target telah ia lumpuhkan, Willem yang tentu melihat segala aksi bengis pengawalnya, tampak hanya membiarkan. Tak memberi intruksi berhenti atau semacamnya. Seperti sudah tak lagi peduli dengan nasib berandalan keroco disekitar, tatapan Willem, ganti mengarah kepada Gadis Pribumi baru ia mentaskan dari situasi berbahaya. "Siapa namamu?" ucap Willem. Membuka kalimat, dengan mempertanyakan nama. "Sun-Sundari, Tuan!" Sempat bertahan termenung menatap ngeri segala peristiwa bersimbah darah hadir dihadapannya, Gadis Pribumi lekas menjawab pertanyaan Willem. "Sundari ya...." "Apa-apaan? Apa yang terjadi? Siapa berani melakukan ini kepada anggotaku?" Willem yang sudah sempat mengalihkan perhatian, hendak bertanya lebih lanjut kepada gadis Pribumi mengenalkan diri dengan nama Sundari, terjeda kalimatnya saat suara bentakan keras tiba-tiba terdengar dari arah rerimbunan pohon bambu lokasi awal tadi gerombolan berandal, menerobos keluar. Seorang dengan tubuh kekar, tampak memiliki wajah sangat garang dengan bekas luka tebasan mengerikan pada mata kanan, kini tampil dihadapan tiap orang. Menatap tajam kearah punggung Wardiman yang berdiri membelakangi arah lokasi ia keluar. "Boss...!" "Juragan...!" "Tuan...!" Kedatangan pria gahar, lekas bersambut seruan-seruan memelas para berandal sedang terjerembab disekitar. Mengerang menahan sakit dengan beberapa bagian tubuh, masih berlumuran darah segar. "Gawat! Orang ini pastilah pemimpin para berandalan ini!" gumam Aldert. Kembali memasang wajah cemas. "Wardiman sudah terluka cukup parah!" lanjut Aldert. Ragu Wardiman akan mampu mengatasi sosok tambahan baru datang. "Dari logatnya, pasti orang Madura juga! Sama dengan Wardiman!" Sementara itu, pada sisi lain, Willem melempar kalimat santai. Masih bertahan dengan sikap tenang. Justru sempat mengomentari logat. Hal yang benar-benar tak terfikir oleh Aldert. "Hei... Kau yang membuat mereka seperti ini?" bentak sosok gahar. Tampak dipenuhi kemarahan, jelas mengarahkan kalimat untuk Wardiman. Bersama bentakan pula, ia juga menarik bilah celurit. "Ya...! Aku! Memang kenapa?" ucap Wardiman. Bergerak menoleh kebelakang untuk kini, berada dalam situasi saling tatap langsung antar wajah dengan sosok gahar baru hadir. "Ehhh..." Tepat ketika akhirnya bisa melihat wajah Wardiman, ekspresi marah sosok garang, lekas tiba-tiba berubah pucat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD