Tante Mitha masih sama seperti yang kukenal dulu, selalu banyak bicara dan anggun pada tempatnya. Sosok cantiknya tak sirna begitu saja di usianya yang kira-kira menginjak 53 tahun.
Aku sangat mengagumi kisah cinta orang tua mantan kekasihku itu. Sedekat itu aku dengan Tante Mitha dulunya hingga beliau tak segan untuk menceritakan kisah asmaranya sebelum menikah dengan Om Revan. Papanya Rayyan tersebut usianya terpaut 2 tahun lebih muda dari Tante Mitha. Mereka berdua menjadi dekat karena awalnya bekerja sebagai sekretaris dan CEO. Tante Mitha bercerita bahwa Om Revan merupakan CEO muda di kantor karena harus menggantikan posisi paman lelaki itu di kantor. Awalnya, hubungan mereka tidak berjalan dengan begitu baik, pasalnya sikap Om Revan yang suka melimpahkan banyak pekerjaan kepada Tante Mitha di luar jobdesk perempuan itu sebagai sekretaris dan banyak hal menyebalkan lainnya yang membuat Tante Mitha uring-uringan. Hingga kemudian Om Revan jatuh cinta lebih dulu kepada Tante Mitha. Kalau bisa membuat sebuah n****+, aku akan membuat cerita tentang kisah kedua orang tua Rayyan tersebut dengan judul 'My Sweet Berondong’, karena cerita mereka begitu manis sekali.
Tante Mitha sebelumnya sudah 2 kali bertemu mamaku karena memang aku dan Rayyan dulunya sempat berencana akan tunangan, makanya kedua orang tua kami saling bertemu. Seperti dulu, Tante Mitha selalu saja antusias bercerita. Sudah lama tidak bertemu aku dan mamaku, sekarang perempuan paruh baya itu tampak heboh membahas apa pun dengan mama. Mamaku yang agak kalem dan lembut itu, lebih banyak mendengarkan dari pada menimpali. Tapi sekali-kali, mama tertawa lebar mendengar cerita Tante Mitha. Kami saat ini sedang makan siang di salah satu tempat makan di dalam mall.
Setelah membahas banyak hal, Tante Mitha kemudian mengeluh kalau kesepian, berkata jika anak-anaknya jarang berada di rumah. Tak jauh beda dengan mama, aku lebih banyak diam menyimak pembicaraan mama dan Tante Mitha.
"Adiknya Rayyan sekarang di mana emangnya, Jeng?" tanya mama.
Rayyan masih memiliki 2 orang adik di bawahnya. Ada Ziel yang yang merupakan teman satu SMA-ku dulu dan satu lagi adiknya perempuan yang usianya 3 tahun di bawah Ziel. Satu-satunya saudara perempuan Rayyan yang bernama Meyra itu sepertinya sekarang masih kuliah.
"Meyra kuliah di Melbourne. Makanya, sejak dia kuliah bertambah sepi aja. Rayyan yang dari dulu jarang pulang ke rumah, ditambah Ziel yang ikut bantu omnya di perusahaan, lebih sering pulang ke apartemen yang jaraknya nggak jauh dari kantor. Bolak-balik ke rumah lumayan capek katanya, jauh.”
"Oh iya, kalau Rayyan kan pilot sekarang, ya?" tanya Mama sambil menoleh padaku sekilas. "Wajar aja jarang pulang, sama kayak anak perempuanku ini."
Tante Mitha menatap kami berdua secara bergantian seolah bertanya.
"Vania juga terbang ke mana-mana sama kayak Rayyan," lanjut mama menjawab arti tatapan dari Tante Mitha, lalu mama tersenyum padaku. "Vania jadi pramugari sejak lulus kuliah."
"Oh, ya? Maskapai apa?" tanya Tante Mitha antusias.
"Kemarin ini di Sayap Air dan sekarang sama kayak Rayyan." Bukan aku yang menjawab, melainkan mama. "Mereka satu penerbangan ternyata, Jeng. Vania baru aja gabung di Daruga dan kebetulan banget terbangnya di pesawat yang pilotnya Rayyan."
"Wah, kok Rayyan nggak cerita, ya? Emang sejak kapan gabung di sana, Van?"
"Baru pertama kali terbang di sana 2 hari yang lalu, Tan."
"Berarti, kemarin terakhir penerbangan malam?"
Aku mengangguk.
"Rayyan semalam itu tumben pulang ke rumah. Terus pas pagi sarapan bareng dan tidur lagi. Tapi dia nggak cerita apa-apa."
Aku mengulum senyumku. Buat apa Rayyan bercerita? Aku bukan lah seseorang yang penting lagi untuknya, tidak seperti dulu.
"Mungkin Rayyan belum sempat cerita karena masih ngantuk kayaknya tadi lagi. Ah, Tante senang kalian bisa kerja bareng. Umm... berarti, kamu bareng sama Dilla juga dong, ya?"
"Dilla siapa?" sela mama.
"Teman dekatnya Rayyan dari kecil, Vania juga kenal. Kebetulan dia ikutt di penerbangan yang sama juga dengan Rayyan, udah jadi senior."
Wait, Tante Mitha tidak berkata bahwa Dilla adalah calon istri Rayyan. Perempuan paruh baya itu hanya mengatakan jika Dilla adalah teman dekat Rayyan dari kecil. Hmm... apa Dilla dan Rayyan belum memberitahu mengenai hubungan mereka sebenarnya? Mungkin saja kedekatan di antara mereka masih dianggap wajar oleh Tante Mitha—kedekatan layaknya sahabat. Tapi, Dilla berkata jika dirinya akan menikah dalam waktu dekat dengan Rayyan. Masa iya Tante Mitha sama sekali tidak tahu?
Apa Dilla mengarang cerita kepadaku karena takut Rayyan kembali berpaling padaku?
Tapi dari cerita-cerita Seruni, semuanya tahu kalau Dilla dan Rayyan sedang menjalin hubungan, bahkan sebelum aku bergabung dengan mereka.
Mama yang biasanya tidak bawel, sekarang mulai banyak bicara—bertanya tentang Rayyan kepada Tante Mitha. Aku sudah mengingatkan mama melalui lirikan mataku, mama tampak tidak peduli.
"Rayyan udah ada calonnya?" tanya mama tiba-tiba membuatku menggerutu di dalam hati. Di sisi lain, aku juga penasaran dengan jawabannya.
"Entahlah, saya juga nggak tahu. Tapi semoga aja belum, ya?" Tante Mitha menoleh padaku sembari tersenyum, lanjut beralih lagi kepada mama. "Biar kita bisa jadi besanan."
Aku yang baru saja mengambil minum, seketika tersedak karena ucapan Tante Mitha.
Mama mengusap-usap tengkukku.
"Udah nggak papa, Ma," ucapku setelah merasa lebih baik. Kemudian beralih pada Tante Mitha dan tersenyum kepadanya.
"Kalau Vania, apa udah punya pacar?" tanya Tante Mitha tampak penasaran.
"Udah, Tan," sahut cepat.
"Yaah... sayang sekali. Padahal Tante itu masih ngarep kamu yang jadi calon mantu Tante."
Aku hanya membalas ucapan Tante Mitha dengan senyuman. Namun, mama langsung menimpali ucapan Tante Mitha.
"Pacaran juga belum tentu berjodoh. Kita nggak bisa nebak gimana takdir ke depannya. Siapa tahu, Vania bisa berjodoh dengan Rayyan."
Tante Mitha tertawa kecil.
"Ma... " protesku dengan bibir mengecurut.
"Mama cuma bilang apa adanya, Sayang. Kalau pacar kamu sekarang memang jodoh kamu, kalian pasti bersama sampai kapan pun. Kalau enggak, akan terhenti dengan sendirinya. Mama dukung dengan siapa pun kamu nantinya, asal kamu yakin kalau itu pilihan terbaik untuk kamu.”
“Betul apa kata mama kamu, Vania.”
Usai makan, aku dan mama pamit pulang terlebih dahulu karena Tante Mitha masih ada keperluan di mall tersebut.
"Kalau nggak salah, besok flight pagi banget ya, Van?" tanya Tante Mitha sebelum aku dan mama beranjak pergi.
"Iya, Tan. Jam 5-an."
"Berarti jam 1 malam kamu udah jalan dari rumah, ya?"
"Iya."
"Pakai mobil jemputan atau di anter ke bandaranya?"
Biasanya kalau ada flight pagi buta begitu, aku akan menginap di apartemen dan menunggu mobil jemputan. Karena sekarang sepertinya akan menginap di rumah, papa yang akan mengantarkanku pastinya.
"Di antar papaku kayaknya. Kenapa emangnya, Tan?"
"Nggak. Apa mau bareng Rayyan aja biar ngga ngerepotin papa kamu tengah malam begitu?"
Aku tersenyum. "Enggak usah, Tan. Aku nggak mau ngerepotin.”
"Nggak bakalan, kok. Kan kalian satu penerbangan. Tante yakin kalau Rayyan nggak bakalan keberatan. Nanti Tante bilang sama dia."
"Tapi... "
"Nanti ditanya sama papanya Vania dulu ya, Jeng Mitha," sela mama. "Vania ini kadang nginep di apartemennya kalau ada flight pagi buta begitu. Tapi karena malam ini sepertinya akan di rumah saja, biasanya papanya akan mengantarkan ke bandara."
***
"Kamu udah ngabarin Eros?" tanya mama begitu aku turun ke bawah pada sore hari usai bangun tidur, lalu mandi.
“Udah. Katanya, lagi enggak bisa datang. Aku sama dia sore ini juga enggak jadi keluar. Ada sepupunya yang baru datang dari luar kota katanya.”
“Oalah. Terus kamu gimana jadinya? Mau ke apartemen atau berangkat dari sini?”
“Dari sini aja lah, Ma.” Aku merebahkan diri duduk di sofa di depan TV. “Papa mana?”
“Lagi mandi.”
“Ooh. Tapi papa nanti bisa ngantar, ‘kan, Ma?”
“Bisa kayaknya. Kalau nggak, minta Lucky aja yang nyetir. Tapi papa juga ikut nemenin.”
“Oke, entar aku bilang sama dia.”
Pada pukul 20:00, aku sudah mulai menarik selimut bersiap untuk tidur karena pukul 02:30 sudah harus jalan menuju bandara. Aku memasang alarm pukul 01:30 malam.
Menjelang jam setengah tiga dini hari, aku sudah rapih dengan make up serta memakai seragam pramugari. Aku menarik koper dan melihat ke arah bawah di mana lampu ruang tengah sudah menyala. Sepertinya papa dan Lucky sudah menungguku.
Mama menyodorkan segelas s**u padaku berserta bekal roti untuk aku makan di jalan ketika aku sudah berada di ruang tengah dekat tangga.
“Papa udah nunggu di depan?” tanyaku mengembalikan gelas kosong yang isinya sudah habis aku teguk.
Mama menggelengkan kepala.
“Papa ngeluh kurang sehat, tadi baru tidur sekitar jam 11-an.”
“Ya udah, nggak apa-apa. Papa istirahat aja biar cepat sembuh.” Aku tak tega juga meminta papa untuk mengantarkanku dalam keadaan kurang sehat. “Aku di antar Lucky doang juga nggak papa.”
“Nah, itu masalahnya. Kamu belum bilang sama adek kamu itu dari sore, ya? Jam 8 tadi mama telepon dia, katanya nginep di apartemen temannya.”
“Astaga, terus gimana sekarang?” Aku memijit keningku. Memesan kendaraan online jam segini itu belum pernah aku lakuin sebelumnya, aku tidak berani. Sedangkan sopirnya mama sedang izin pulang kampung. Umm… apa aku coba minta bantuan kepada Seruni? Siapa tahu dia bisa menghampiriku terlebih dahulu.
“Kamu bisa bareng Rayyan, Van. Maaf, tadi mama bingung dan nggak tega bangunin kamu. Mama telepon Tante Mitha dan untung aja dia belum tidur. Syukurlah tadi kita berdua udah tukeran nomor HP.”
“Masa sama Rayyan sih, Ma?”
“Emangnya kenapa? Enggak ada salahnya temanan sama mantan pacar, apalagi kalian ini satu kerjaan juga. Lagi cuma berangkat bareng doang, Van. Apa salahnya?”
“Tapi aku sebel banget sama dia itu. Songong, beda enggak kayak dulu.”
“Mungkin cuma perasaan kamu aja.”
“Enggak, Ma… beneran. Dia itu ngeselin pokoknya!” ucapku bersungut-sungut.
“Sama mama, dia biasa aja. Masih sama kayak dulu.”
“Kapan mama ketemu sama dia emangnya? Mama nggak tahu aja gimana dia sekarang.”
“Itu dia lagi nunggu kamu di teras. Udah datang dari 15 menit yang lalu?”
“Apa?!”