Rayyan tidak bicara apa-apa lagi, namun tak kunjung beranjak pergi dari sebelahku. Dia masih duduk dengan menundukkan kepala, sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku malas tak lagi meladeni ucapannya.
"Dasar keras kepala!" dengusnya membalas ucapanku beberapa saat yang lalu.
Aku meliriknya dengan mata menyipit, lalu memilih untuk tidak membalas kata-katanya dan mengalihkan pandangan dengan cepat ke arah lain.
Karena tak juga mendapatkan kabar dari Eros selama satu jam lamanya, aku menghubungi Kak Leo untuk menjemput. Ternyata, kakak sepupuku yang merupakan workaholic itu sedang ada kerjaan di Bandung. Aku beralih pada adikku, dia baru bisa menjemput kira-kira setengah jam lagi karena sedang di jalan mengantar kekasihnya pulang.
"Yakin nggak mau di anterin?" Rayyan kembali berbicara. Aku tebak, dia sudah pasti menguping pembicaraanku barusan di saat menelepon Kak Leo, lalu adikku.
"Nggak usah, saya bisa naik taksi."
Terdengar decakan sebal dari lelaki itu. "Benar-benar batu!"
"Suka-suka saya dong, mau menerima tawaran anda atau enggak?" ujarku sinis. "Ngapain anda yang ribet?"
Aku berdiri lebih dulu hendak menarik koper ingin ke arah taksi, namun di saat yang sama muncul Eros yang datang tergopoh-gopoh ke arahku.
"Sayang... ma-af aku telat banget," ucap Eros setelah berada di dekatku persis dengan napas yang terengah-engah. "Ada kerjaan tambahan dan lupa nggak cek HP, eh ternyata baterainya habis. Maaf, Sayang... maaf."
"Alasan."
Aku sontak menoleh mendengar sahutan dari suara di dekat kami yang tak lain adalah Rayyan. Aku melotot padanya.
"Untung pacar lo nggak pulang sendirian tengah malam begini. Lo tahu nggak zaman sekarang itu bahaya bisa mengancam dari mana aja, apalagi bagi perempuan?" lanjut Rayyan lagi mengabaikan tatapan tajamku padanya.
Eros tampak mengernyit, lalu menatapku seolah meminta penjelasan.
"Kenalin, ini Captain Tama, pilot yang terbang bersamaku. Dia itu tadinya pengen mastiin kalau semua pramugari yang terbang bersamanya sampe rumah dengan selamat. Begitu, 'kan, Captain?"
Eros manggut-manggut.
"Terima kasih udah peduli sama kekasih saya." Eros mengambil alih koper di tanganku. "Yuk, kita langsung pulang sekarang, ya?"
"Kami duluan, Captain," ujar Eros menundukkan kepala dengan satu tangan yang melingkari pinggangku dan satu tangannya lain memegang koperku.
Aku dan Eros berjalan menyebrang jalan ke arah tempat parkir mobil Eros yang tidak begitu jauh sana.
"Maaf banget udah bikin kamu nunggu lama, Sayang. Maaf... " ucap Eros mencium punggung tanganku berkali-kali ketika kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Tadi sore ada kerjaan tambahan di saat aku mau pulang, nyebelin banget bos aku itu belakangan ini. Padahal, aku udah niat mau pulang sebentar ganti baju, baru jemput kamu. Mana nggak kepikiran mau cek HP."
"Iya, nggak apa-apa. Aku maafin."
Ini adalah kali pertama Eros telat menjemputku dan susah dihubungi. Biasanya, kalau telat sedikit di saat ada janji denganku atau membatalkan janji, Eros akan bilang lebih awal. Kami jarang sekali ribut, karena komunikasi yang terjalin di antara kami cukup baik.
"Besok mau ke mana? Ada jadwal terbang?" tanya Eros setelah mobilnya melaju meninggalkan kawasan bandara.
"Sore kayaknya aku mau keluar rumah. Mau nonton atau makan malam di luar?"
"Boleh."
Satu jam kemudian, mobil Eros tiba di depan rumahku.
"Udah malam banget, aku nggak bisa mampir kayaknya," ujar Eros sembari melihat jam di pergelangan tangannya. "Salam sama semua orang di rumah aja, besok aku ke sini."
"Iya, nanti aku salamin."
Di saat aku hendak turun, Eros menahan pergelangan tanganku.
"Kenapa?" tanyaku dengan kening berkerut.
Eros tidak menjawab. Dia malah memajukan kepalanya mendekat ke arahku. Aku sontak mengelak di kala menyadari dirinya yang memiringkan kepala hendak mencium bibirku.
"Sorry, Ros... I can't." Setelah putus dari Rayyan beberapa tahun yang lalu dan kali kedua menjalin hubungan dengan orang baru, aku tak pernah bisa membiarkan mereka menyentuh bibirku sedikit pun. Bukannya sok suci, karena aku sudah pernah merasakannya bersama Rayyan. Tapi, aku tidak bisa dicium oleh seseorang yang belum aku cintai sepenuh hati walau orang itu adalah kekasihku sendiri.
Eros menggaruk tengkuknya. "Nggak apa-apa."
Aku keluar dari mobil, diikuti oleh Eros yang mengambil koperku di bagian bagasi mobil. Lelaki itu mengusap-usap kepalaku sebelum memasuki mobilnya kembali.
"Sampai ketemu besok."
Aku mengangguk.
"Udah sana masuk," ujar Eros lembut.
"Nunggu kamu pulang dulu, baru aku masuk."
Lelaki itu terkekeh. Dia berbalik badan, melangkahkan kaki menuju arah kemudi. Eros tersenyum sambil melambaikan tangan sebelum beranjak pergi.
Aku menghela napas menatap kepergian mobil Eros yang perlahan mulai menjauh. Enam bulan sudah aku menjalin hubungan dengan lelaki itu, namun hatiku belum sepenuhnya mencintai dirinya. Mungkin ini hanya masalah waktu, aku mungkin masih membutuhkan banyak waktu untuk mencintainya sepenuh hati mengingat sampai saat ini aku tidak menemukan sisi negatif dari lelaki itu.
Saat hendak berbalik badan masuk, sebuah mobil lewat di depan rumahku dengan kaca bagian penumpangnya yang entah mengapa dibiarkan terbuka dan sang pengemudi menoleh padaku. Penglihatanku tidak salah, bukan? Aku seperti melihat sosok Rayyan yang mengendarai mobil fortuner tersebut.
Aku menggelengkan kepala menepisnya. Rumah Rayyan jauh dari komplek perumahan orang tuaku ini, mana mungkin dia melewati jalan ini? Kurang kerjaan sekali. Mungkin ada yang salah dengan penglihatanku karena mulai mengantuk.
***
Aku mengagumi perjalanan cinta mama dan papa hingga akhirnya mereka menikah dan melahirkanku ke dunia ini. Yang aku kurang sukai adalah mama yang terlalu lemah menghadapi papa yang semena-mena kala itu. Ya, aku sedekat itu dengan kedua orang tuaku sehingga di saat aku beranjak remaja, mereka bercerita tentang kisah cinta mereka dulunya.
Beda dengan mama yang setia menunggu papa hingga bertahun-tahun, aku tidak akan meniru hal itu. Aku tidak suka menunggu sesuatu yang tidak pasti. Iya kalau pada akhirnya seseorang yang aku tunggu itu berjodoh denganku seperti kisahnya papa dan mama. Kalau tidak? Penantianku akan berakhir sia-sia.
Sejak Rayyan memutuskan komunikasi denganku beberapa tahun yang lalu setelah beberapa bulan sebelumnya mengatakan 'break' kepadaku, aku berusaha untuk bangkit dan menerima lelaki yang mencoba mendekatiku. Walau rasa untuk Rayyan tidak sepenuhnya hilang, aku tidak menutup pintu hati kepada lelaki lain.
“Pulang jam berapa semalam?” tanya mama sembari menyendokkan nasi goreng ke piringku. Bangun tidur lalu mandi, jam setengah 9 aku baru turun untuk sarapan. Hanya ada aku dan mama di ruang makan saat ini. Papa pergi main golf, Lucky belum bangun tidur dan Kak Leo sedang di Bandung. Walau pun sedang berada di Jakarta pun, kakak sepupuku itu lebih sering pulang ke unit apartemennya sejak bekerja. Kecuali kalau papa dan mama memintanya untuk datang ke rumah.
“Lupa, nggak lihat jam lagi,” sahutku. “Tapi agak larut karena Erosnya telat jemput.”
“Ooh. Kenapa nggak telepon papa kalau gitu? Kamu nggak perlu nunggu Eros, bilang nggak usah jemput aja.”
Sejak 2 bulan yang lalu mengenalkan Eros kepada mama, perempuan yang telah melahirkanku itu terus terang bilang padaku kalau kurang menyukai lelaki itu. Aku tidak tahu apa alasan mama. Ketika aku bertanya, mama hanya bilang jika feeling-nya tidak enak dengan lelaki itu. Namun, mama menyerahkan semua keputusan padaku. Aku yang akan menjalani bagaimana ke depannya. Aku tetap melanjutkan hubunganku dengan Eros karena memang sejauh ini dia tak pernah membuat masalah yang aneh-aneh.
“Yang penting aku sampe rumah juga, ‘kan? Ini hanya masalah waktu, Ma. Eros cuma telat jemput dan aku maklumim karena kerjaan.”
Mama tak bicara lagi. Kami berdua lanjut makan nasi goreng bersama. Hingga akhirnya aku kembali bersuara setelah nasi goreng milikku habis.
“Mama mau tahu nggak, aku satu penerbangan sama siapa?”
“Siapa emangnya?”
“Sama mantanku, Rayyan.”
“Rayyan?? Dia jadi pilot di Daruga atau co-pilot?”
“Pilotnya, Ma. Aku kaget banget pas ngeliat dia.”
Raut wajah mama kali ini tampak lebih sumringah. “Wah, gimana rasanya ketemu lagi sama dia? Pasti dia tambah ganteng sekarang, ya?”
“Hmmm.” Aku tak menampik jika Rayyan memang semakin tampan di usianya yang sudah matang tersebut.
“Terus-terus, gimana perasaan kamu sekarang? Kepincut lagi nggak sama dia?”
Aku memang tidak bercerita mengenai detail alasan aku putus dengan Rayyan dulu. Aku hanya bercerita pada mama jika Rayyan mungkin kesulitan menjalani LDR kami kala itu karena beda negara. Dia yang ingin fokus pada pendidikannya. Kata mama, Rayyan itu tipe menantu idealnya. Mama berharap suatu hari nanti kami bisa berjodoh.
“Aku udah punya pacar kalau mama lupa,” jawabku dengan kekehan kecil.
“Pacar belum tentu menikah nantinya. Siapa tahu jodoh kamu itu Rayyan.”
Aku mengedikkan bahu. “Rayyan udah beda banget sekarang. Nggak kayak dulu lagi.”
“Beda banget gimana?”
“Banyak. Intinya bukan kayak Rayyan yang aku kenal dulu. Lagi juga, dia udah punya pacar kayaknya.”
“Dari mana kamu tahu kalau dia udah punya pacar?”
“Tampan dan mapan, berasal dari keluarga kaya raya begitu, pasti banyak yang ngantri mau sama dia, Ma. Empat tahun berlalu, dia pasti udah punya pengganti aku.” Aku teringat Dilla yang katanya sedang menjalin sebuah hubungan serius dengan Rayyan.
***
Usai sarapan, mama meminta aku menemaninya untuk belanja bulanan di salah satu supermarket dalam mall sekalian makan siang di sana.
“Mama mau masak buat makan malam. Ajak pacar kamu makan di rumah aja, papa katanya mau ngobrol-ngobrol sama dia,” ujar mama di saat kami berada di lorong groceries.
“Kapan papa bilangnya?” tanyaku sambil mendorong troli pelan, mengikuti mama.
“Mama telepon tadi sebelum pergi, bilang kamu mau keluar nanti sore sama Eros. Kata papa, di rumah aja malam ini.”
“Oh, oke. Nanti aku chat Eros.”
Ketika aku dan mama sedang berdiri di depan bagian daging, tiba-tiba seseorang menepuk pelan bahuku.
“Vania… “
Aku sontak menoleh dan mendapati seorang perempuan paruh baya yang merupakan mama dari mantan kekasihku, Rayyan.
“Tante Mitha?”
“Beneran kamu ternyata.” Perempuan paruh bayah yang masih terlihat cantik di usianya sudah lewat dari 50 tahun itu tersenyum, kemudian langsung memelukku. “Kamu apa kabar, Cantik?”