Malas berdebat di hadapan mama, aku pun mengikuti langkah kaki Rayyan menuju mobilnya.
"Sini kopernya," ucap Rayyan mengambil alih koperku dan aku memberikannya—membiarkan Rayyan membawa koper tersebut untuk ditaruh di bagasi mobil. Dan lagi, aku tidak banyak protes karena masih ada mama di dekat kami.
Walau tidak tahu apa tujuan Rayyan mau disuruh oleh mamanya menjemputku, aku tidak akan bertanya sekarang.
"Mama masuk baru aku jalan," ujarku kepada mama yang tidak kunjung beranjak dari dekat pagar rumah. "Masih dini hari, mama tidur lagi aja. Istirahat, Ma."
Mama mengangguk sembari tersenyum.
"Nanti nyampe bandara, langsung kabarin mama." Mama lalu beralih pada Rayyan yang sudah berdiri di sampingku setelah meletakkan koperku. "Tante nitip Vania ya, Rayyan?"
"Siap, Tante."
Setelah memastikan mama masuk dan menutup pintu, aku melangkahkan kaki menuju pintu mobil bagian belakang dan segera duduk di sana.
"Ck... emangnya saya sopir taksi?" decak Rayyan tampak tidak suka karena aku memilih untuk duduk di belakang.
"Jalan aja, nggak usah banyak protes," balasku dingin.
"Enak aja nyuruh-nyuruh saya. Nggak... nggak mau! Saya nggak bakalan jalan sebelum kamu pindah duduk ke depan."
"Ogah duduk dekat mantan."
"Nggak profesional banget kamu."
"Anda bicara soal profesional di sini?" Aku tersenyum sinis. "What time is it now, Captain? Tolong di cek lagi jam di pergelangan tangan anda yang mahal itu, apa sekarang udah masuk jam kerja, huh?!"
Rayyan memutar kepalanya menghadap padaku dalam pencahayaan yang berasal dari luar mobil, yakni dari teras rumahku dan rumah tetanggaku.
"Kamu itu benar-benar berubah banget, ya? Keras kepala, nggak mau dibilangin. Apa salahnya cuma pindah duduk doang? Childish sekali kamu ini, masih aja bawa-bawa masa lalu."
"Anda duluan yang malam itu mulai duluan. Lupa, hmm?" Aku tersenyum mengejek. "Kepedean sekali sampe bilang saya pengen ngejar anda lagi. Udah lihat pacar saya, 'kan? Dia nggak kalah tampan dari pada anda. So, ya kali saya nggak profesional kerja bareng mantan di saat udah punya pacar yang 'mempercayai' di mana pun saya berada dan apa yang saya sedang kerjakan."
"Apa maksudnya bawa-bawa pacar kamu, banding-bandingin dengan saya?"
"Cuma buat ngingetin anda, kalau hubungan kita di masa lalu udah selesai. Dan saya harap, anda juga harus profesional dalam bekerja. Heran, saya nggak ada salah apa-apa, tapi sikap pilih kasihnya kelihatan banget," ucapku menyindir—sebal sekali rasanya mengingat dia yang hanya menegurku seolah aku anak baru yang tidak bisa apa-apa, harus belajar banyak dari pujaan hatinya, si Dilla. Padahal kala itu aku menyimak pengarahannya tanpa berkedip dan memperhatikan bagaimana gerak-gerik Dilla dan Seruni sebelum memasuki pesawat hingga kami semua hendak keluar dari pesawat. "Udah ah, buruan jalan! Entar keburu telat."
Rayyan hanya diam, tak segera menjalankan mobilnya.
"Kalau telat juga, kita berdua yang kena. Bukan saya sendirian aja," celutukku santai sambil memainkan kuku jemariku.
"Masih banyak waktu," balas Rayyan.
"Saya nggak akan berubah pikiran. Benar-benar nggak peduli sekali pun kita bakalan telat," ucapku benar-benar santai.
Kami berdua sama-sama diam, hingga 15 menit kemudian Rayyan mulai melajukan mobilnya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Namun, ketenanganku seketika mulai terusik ketika Rayyan mulai memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Jangan ngebut!" seruku kesal.
"Nggak usah protes!"
Rayyan menambah laju kecepatan mobilnya.
Hingga akhirnya, aku mual karena memang tidak terbiasa berada di dalam mobil berkecepatan tinggi. Aku agak mendongak dengan tangan menutup mulut menahan rasa mual, lalu mendapati Rayyan memacu mobilnya di atas kecepatan rata-rata yaitu 140 km/jam. Mungkin bagi kebanyakan orang yang memakai kendaraan toyota fortuner tak terasa jika melaju kencang di jalan tol di dini hari seperti ini—di mana hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.
“K-kak… “ cicitku pelan. Aku benar-benar pusing dan mual. Aku menyandarkan kepala sambil memejamkan mata dengan berpegangan pada kursi, sedangkan satu tangan lagi masih menutupi bagian mulutku. Mungkin wajahku sekarang mulai memucat.
Kecepatan mobil Rayyan mulai menurun, hingga aku merasakan mobilnya berhenti. Aku sontak membuka mata dan mendapati Rayyan yang memutar posisinya menghadap padaku di belakang.
“Kamu… ?” Rayyan mengusap wajahnya kasar. “Sorry, Van… sorry. Are you okay? I mean, astaga… kamu pucet banget.”
Rayyan memundurkan kursinya, lalu satu tangannya terulur hendak menyentuh tanganku, namun aku segera mengelak.
“Maaf, Vania… “
Aku hanya diam saja tak menjawab. Akumengeluarkan minyak telon dari tas kecilku. Dari kecil hingga mengunjak usia 24 tahun ini, aku suka membawa minyak telon ke mana-mana. Seperti saat ini, aku mencium minyak telon tersebut dan beberapa saat kemudian merasa lebih baik.
“Saya nggak tahu apa yang ada di dalam pikiran anda saat ini,” ujarku setelah cukup lama kami saling terdiam dan Rayyan baru hendak melajukan mobilnya kembali. “Tadinya kalau merasa keberatan diminta sama mama anda untuk menjemput saya, seharusnya anda tolak aja. Nggak usah memaksakan diri.”
“Saya nggak merasa terpaksa.”
Aku tertawa jengah. “Seharusnya anda jemput Kak Dilla yang lebih penting, dari pada saya yang bukan siapa-siapa anda. Saya bisa naik taksi kalau anda tadi enggak datang ke rumah. Saya ikut anda karena mama saya, nggak ada alasan selain itu.”
“Dilla di anter sodaranya.”
***
Jalanan lancar, pada pukul 03:30 kami sudah tiba di bandara. Sebenarnya bisa lebih cepat lagi, namun agak lama karena tadi perihal aku yang tidak mau duduk di depan hingga Rayyan yang menghentikan mobilnya di bahu jalan tol di saat aku mual.
Aku memutar bola mata malas ketika baru saja keluar dari mobil Rayyan, ada Dilla kebetulan baru keluar dari sebuah mobil di area parkir. Dilla keluar dari arah kemudi. Dia mengendarai mobil sendiri untuk diparkir inap di bandara? Tadi kata Rayyan… ?
Ah, sudahlah. Mengapa juga aku memikirkan tentang mereka?
“Kamu… kok bisa bareng Rayyan?” tanya Dilla yang sudah berada di dekatku. Pertanyaan yang sudah bisa kuduga akan dilontarkan perempuan itu.
“Auk. Tanya aja sama Kak Rayyannya langsung,” ucapku sambil menuju arah belakang. Ternyata Rayyan baru saja mengeluarkan koper miliknya dan juga milikku.
“Thanks. Saya duluan,” ucapku pada Rayyan dan berlalu melewati Dilla begitu saja.
“Kok bisa bareng Vania, Ian?”
Pertanyaan Dilla masih sempat terdengar sebelum aku beranjak menjauh dari sana. Bisa kutebak, mereka mungkin akan ribut kecil atau Dilla nantinya akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
Seperti biasa setelah absen dan briefing, sekarang kami bersiap menuju pesawat.
"Are you okay, Vania?"
Aku yang sedang mengecek kesiapan perlengkapan pesawat sebelum penumpang boarding, terkejut melihat Rayyan yang menghampiriku dengan raut wajah yang... tampak khawatir?
Apa perasaanku saja kalau dari tadi Rayyan sering melirik ke arahku?
"Hah?! Oh, umm... I'm, okay," balasku dengan senyuman terpaksa, bingung bercampur heran saat ini. Begitu pun dengan Seruni yang sepertinya juga heran dengan Rayyan yang tiba-tiba saja menanyakan keadaanku.
“Oh, baguslah kalau begitu. Take care.”
“Iya, terima kasih, Captain.” Rayyan lalu memasuki pintu bagian pilot di depan.
Aku mengedarkan pandangan ke arah sekitar, Dilla tampaknya tidak mengetahui Rayyan menyapaku barusan. Perempuan itu berada di bagian cabin belakang dan sedang tidak menghadap ke arah kami.
Seruni menyenggol lenganku.
“Tumbenan Captain Tama nyapa lo, umm… nanyain keadaan lo maksud gue. Biasanya, mana pernah dia peduli sama pramugari mana lun selain Kak Dilla.”
“Tapi pas turun mobil gue agak lemas gitu, pas banget ada dia baru datang juga di parkiran. Mungkin dia mikirnya gue kurang sehat. Dia pengen mastiin aja kayaknya kalau cabin crew-nya dalam keadaan baik-baik aja semuanya.”
Aku ikut mengecek bagian peralatan keselamatan. Tanpa kusadari, ada Dilla yang sudah berada di bagian kursi yang sejajar denganku. Dia ada di sebelah kirinya.
“Nanti aku mau ngomong sama kamu, Vania,” ucap Dilla.
“Lihat nanti, kalau nggak sibuk. Kalau flight ke Bali saya biasanya sibuk, nggak betah kalau cuma di hotel aja.”
“Sebentar aja, Vania.”
“Mau ngomong apa lagi sih, Kak?” tanyaku jengah. “Kalau soal tadi pagi, jangan khawatir aku bakalan deketin Rayyan atau merebutnya dari Kak Dilla. Kita tadi cuma bareng aja, nggak lebih. Aku juga ogah banget sebenarnya semobil bareng mantan, tapi ya mau gimana lagi. Dini hari banget dia udah ada di teras rumah aku nongol. Mau nolak, kasihan kata mama aku. Dia udah bela-belain dari jauh jemput.”
Gerakan Dilla yang sedang memerika pelampung, seketika terhenti. Dia menatapku dengan bola mata yang seperti hendak keluar dari matanya.
“Kamu jangan ngarang cerita!”
“Ngapain? Nggak guna. Silahkan tanya langsung orangnya kalau nggak percaya.”
Terdengar dengusan sebal dari Dilla ketika aku beranjak pergi dari sana, tidak ingin dekat-dekat darinya.
“Rayyan itu milik aku, Van!”
Aku mengangkat bahuku acuh. Kemudian melenggang pergi begitu saja baris kursi yang lain mengabaikan ucapannya. Untung Seruni tidak mendengar, karena aku baru saja melihatnya keluar dari dalam toilet di depan sana.