Ashley Tidak Sadarkan Diri

1044 Words
Ashley yang masih belum menerima kenyataan mengepalkan tangannya begitu erat hingga kuku-kukunya terasa menekan telapak tangannya. Air mata mengalir deras di pipinya saat setiap foto yang ia lihat terus terbayang di benaknya. Gambaran itu begitu jelas, wajah-wajah wanita yang tersenyum bersama Kian. "Apakah mungkin Kian membohongiku selama ini? Dia mengatakan telah memutuskan tunangannya karena hubungan yang jauh. Dan siapa wanita yang di dalam foto ini? Apakah mereka semua adalah mantannya?" gumam Ashley, suaranya serak karena emosi yang bercampur aduk. Malam itu, saat cuaca mulai gelap dan hujan rintik turun, Ashley berjalan dengan langkah ragu menuju Hotel Grand Luxe. Suara detak sepatu haknya menggema di lorong menuju Suite 1502, sesuai yang dikatakan wanita yang menghubunginya. Hatinya dipenuhi kecemasan dan rasa penasaran yang mencekam. Ketika ia baru saja tiba di depan pintu, suara klik pintu terdengar, dan tiba-tiba seseorang membukanya. "Ashley Alexander," seru seorang wanita dengan nada yang terdengar familiar, meskipun Ashley yakin ia tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Ashley menatap wanita itu, seorang berambut pendek yang mengenakan jubah tidur satin berwarna merah marun, tampak santai namun penuh keyakinan. "Kamu siapa sebenarnya?" tanya Ashley dengan nada penuh waspada, matanya tak lepas menelusuri setiap detail sosok di depannya. "Ingin tahu... masuklah! Kau akan segera tahu semuanya!" jawab wanita itu sambil berbalik memasuki kamar, mengayunkan pintu tanpa menunggu jawaban dari Ashley. Dengan sedikit ragu, Ashley akhirnya mengikuti wanita itu. Langkahnya terasa berat, seolah menuntunnya pada sesuatu yang tak ingin ia dengar. Di dalam ruangan yang cukup luas, mereka duduk berhadapan di sofa mewah. "Namaku Alice, mantan pacar Kian," ucap wanita itu akhirnya, memecah keheningan yang menegangkan. Ashley mengerutkan kening, kebingungan mulai muncul di wajahnya. "Mantan pacar? Bukankah namamu adalah Angel?" tanyanya, mencoba menghubungkan informasi yang tidak masuk akal di pikirannya. Alice tertawa kecil, sebuah tawa dingin yang justru membuat Ashley merasa semakin tidak nyaman. "Ha ha ha... Angel? Dia adalah pacar kedua Kian sebelum kamu. Aku yakin dia pasti tidak pernah menyebut namaku karena ingin menjadi pria baik di hadapanmu," jawab Alice sambil melipat kakinya dengan santai, meskipun senyumannya menyiratkan rasa pahit. Ashley menelan ludah, mencoba menahan detak jantungnya yang semakin cepat. "Apa maumu sebenarnya, dan apa niatmu mengirim foto itu?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih tegas, mencoba menekan rasa takut yang melingkupinya. Alice mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Kian Hernandez bukan pria sempurna yang seperti kau bayangkan, dia memiliki sejenis penyakit yang cukup parah. Yaitu hiperseksu4l. Jadi bagi dia tidak cukup hanya satu wanita. Aku memutuskan dia karena ketahuan dia sering berhubungan dengan wanita panggilan. Dia diputuskan Angel juga karena alasan yang sama. Aku tidak tahu dia menggunakan cara apa sehingga mampu membohongimu," ungkap Alice, suaranya terdengar datar tetapi tajam, menembus ke hati Ashley seperti belati. Ashley menggeleng pelan, mencoba menolak apa yang baru saja didengarnya. "Tapi Kian tidak terlihat seperti itu, dia seperti pria normal lainnya," jawabnya, suaranya terdengar lebih pelan, hampir seperti berbisik. Alice mengangkat bahu, tampak tak peduli. "Kau bisa saja tidak terima, tapi kenyataannya adalah dia bukan pria yang sanggup setia pada satu wanita. Sekarang dia berada di Paris, bukan? Aku yakin dia pasti bersenang-senang dengan wanita lain. Di mana pun dia berada pasti ada wanitanya di sana," ucapnya dengan nada sinis, tatapannya seperti menantang Ashley untuk menyangkal. Ashley berdiri dari tempat duduknya dengan gerakan cepat, tubuhnya gemetar karena emosi. "Tidak! Aku tidak percaya!" serunya, matanya mulai memerah, dan tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kau bisa saja tidak percaya, tapi foto ini adalah bukti," ujarnya, kali ini dengan nada lebih serius, sambil menyerahkan sebuah laporan medis ke tangan Ashley yang gemetar. "Ini adalah hasil pemeriksaan Kian. Terbukti dia adalah seorang hiperseksu4l. Tidak akan bisa tanpa wanita walau hanya sehari. Aku telah dibohonginya. Aku juga pernah... keguguran. Karena sakit yang aku rasakan," lanjut Alice, suaranya perlahan bergetar, matanya berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat terakhir. Ashley menatap isi laporan itu tanpa mengambilnya. Tubuhnya terasa lemas, dan hatinya seperti hancur berkeping-keping. Kata-kata Alice terngiang-ngiang di kepalanya, menampar keras kenyamanan yang selama ini ia percayai. "Karena sesama wanita, aku tidak ingin nasibmu sama denganku dan Angel. Angel adalah temanku juga. Setelah putus denganku, Kian berkencan dengan Angel. Berjanji akan menikahinya, pada akhirnya dia berselingkuh dengan wanita lain. Yang dia inginkan bukan cinta, tapi pemu4s," jelasnya dengan suara yang lebih pelan namun penuh emosi. Ashley berdiri kaku, mulutnya terbuka tanpa suara. Ia tak tahu harus berkata apa. Dunia yang ia yakini tiba-tiba runtuh, dan ia hanya bisa berdiri di tengah reruntuhan itu. "Dia ingin menikah hanya untuk satu tujuan, yaitu anak. Dia hanya menginginkan keturunan. Tinggalkan dia sebelum lukamu semakin dalam. Hidupku hancur karena dia. Aku menemuimu hanya ingin kamu cepat sadar atas perlakuannya. Jangan terlalu memberi hatimu padanya, karena dia tidak akan menghargaimu," ujar Alice dengan nada penuh kejujuran dan penyesalan. Setelah beberapa saat hening, Ashley bangkit dari sofa dengan gerakan lambat, seperti seseorang yang kehilangan arah. "Terima kasih..." hanya itu yang berhasil keluar dari bibirnya sebelum ia melangkah menuju pintu. Alice hanya menghela napas panjang, menatap punggung Ashley yang mulai menjauh. Langkah kaki Ashley terasa berat saat ia keluar dari kamar hotel. Perasaannya kacau balau, dadanya sesak seperti dihimpit beban yang tak tertahankan. Pandangannya mulai kabur oleh air mata, tetapi ia terus berjalan menyusuri koridor panjang hotel itu. Suasana sekitar terasa begitu sunyi, hanya ada suara langkah kakinya yang terdengar samar. Begitu tiba di lobi hotel, tubuh Ashley terasa semakin lemah. Kakinya gemetar, dan dunia di sekelilingnya berputar. Ia mencoba bertahan, tetapi pandangannya semakin gelap. Detik berikutnya, tubuhnya ambruk ke lantai. "Nona! Nona!" suara seorang staf hotel yang melihatnya jatuh memecah keheningan. Pria itu berlari mendekat, mencoba membangunkan Ashley yang terkulai lemas di lantai marmer dingin. Beberapa staf lain segera menghampiri, panik melihat kondisi wanita muda itu. Salah satu staf segera menghubungi ambulans, sementara yang lain mencoba memberi pertolongan pertama. "Nona, bertahanlah!" seru seorang wanita sambil menggoyangkan tubuh Ashley yang tidak merespons. *** Hospital Beberapa jam kemudian, Ashley terbangun di kamar pasien. Pandangannya masih samar saat ia melihat seorang dokter muda berdiri di samping tempat tidurnya. "Dokter, apa yang terjadi?" tanyanya lemah. "Jangan terlalu banyak bergerak, Nyonya. Kondisi Anda sedang hamil, jadi hindari stres berlebihan karena itu bisa memengaruhi kehamilan Anda," jawab sang dokter dengan nada tenang. Ashley terdiam, terkejut mendengar kata-kata itu. "A-apa? Saya hamil?" tanyanya hampir tak percaya. Perasaannya bercampur aduk, tidak tahu apakah harus merasa bahagia atau justru sedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD