Se Hwa masih mematung memikirkan perkataan Min Ju ketika Pangeran datang. Pria itu duduk di sisinya, sedang para dayang dan penjaganya ada di halaman, cukup jauh dari tempat peristirahatan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Se Hwa menatap pria itu dengan raut wajah kesal.
"Kenapa? Aku baru pergi beberapa jam, apa kau sudah merindukanku?" goda pangeran.
Ingin rasanya Se Hwa meludahi wajah pangeran yang sayangnya benar-benar tampan, tapi masih kalah jika dibandingkan dengan Jeong Guk. Namun, daripada mendebat, Se Hwa memilih diam dan kembali terjebak dalam persoalan yang tadi.
"Apa yang kau pikirkan? Taukah kau bahwa aturannya tidak sopan jika mengabaikan raja?"
"Bukankah tidak sopan juga mengganggu ketenangan orang lain?"
Pangeran menertawakan perkataan Se Hwa. Wanita itu membuatnya gemas. "Baiklah, baiklah, aku minta maaf," katanya, lalu keadaan menjadi hening untuk beberapa saat.
"Yang Mulia," panggil Se Hwa.
"Bukankah kau bilang kau butuh ketenangan dan aku mengganggumu?" Pria itu menatap menggoda, "lalu kenapa sekarang kau memanggilku?"
Se Hwa mendengkus.
"Kau tau. Kau wanita yang sangat liar. Kau jendral yang hebat."
"Maksudmu?"
"Lupakan."
"Freak," ucap Se Hwa.
"Apa?" Pangeran mengerutkan dahi. "Fre ... free ... apa?"
"Sudahlah, lupakan saja." Kali ini Se Hwa menatap pangeran dengan sangat serius. "Apa kau pernah bertemu dengan Raja Xing Quan dari negeri Ming?"
Pangeran diam sejenak, lalu mengangguk. "Bukankah kita menjalin kerjasama dengan negeri Ming, jadi sudah sewajarnya jika kita saling bertemu dan saling mengunjungi."
"Iya, tapi bukan itu maksudku." Se Hwa tampak kembali berpikir. "Kapan terakhir kali Raja Ming itu datang dan apa yang dia bawa?"
"Mmm ... kalau tak salah ingat sekitar lima bulan yang lalu."
"Tepat sekali." Se Hwa menepuk kedua tangannya membuat pangeran sedikit terkejut. "Lima bulan yang lalu dia datang ke istana untuk menyelundupkan bahan campuran yang membuat rakyat Joseon terkena wabah mengerikan."
Pangeran belum mengerti kemana arah pembicaraan Se Hwa, makanya dia hanya diam tak memberi respons apa pun. Se Hwa kembali menerangkan.
"Seorang tabib, entah tabib itu orang kepercayaan siapa, tapi dialah yang mencampurkan tumbuhan beracun itu dan menyebarkannya kepada warga melalui makanan. Jadi. Wabah penyakit waktu itu menyebar bukan karena adanya virus, melainkan karena unsur kesengajaan. Mereka diracun."
"Dari mana kau mendapatkan kesimpulan seperti itu? Apa kau punya bukti yang mendukung tuduhanmu itu?" Kali ini pangeran sudah bisa menangkap garis besar pembicaraan istrinya.
Se Hwa menggeleng. "Sayangnya, tidak." Dia berucap. "Itulah yang sedang aku pikirkan. Bagaimana caranya aku mengumpulkan bukti dan siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa itu, serta apa tujuannya."
Pangeran mengambil tangan istrinya, lalu menatap wanitanya dengan penuh cinta. "Sudah, sebaiknya lupakan semua itu. Semuanya sudah berlalu, dan sekarang yang harus kau pikirkan adalah, bagaimana caranya agar kau bisa cepat hamil, jadi aku bisa mengangkatmu sebagai permaisuri dan mentapkan putramu nanti sebagai putra mahkota. Jadi, bisakah kita melakukannya seperti semalam?"
"Uhuk! Uhuk!" Se Hwa tersedak. "Menjauhlah!" Dia mendorong pria itu.
Pangeran malah tertawa keras. "Semalam kau seperti harimau yang sangat garang. Aaauuu ...." Pangeran mengaum sambil memperagakan dengan kedua tangan. "Sekarang kau seperti kucing."
"Ish, apaan. Menjauhlah. Aku ...." Se Hwa menghela napas. "Ah, sudahlah. Biar aku saja yang pergi."
Se Hwa hendak bangkit dan meninggalkan pria itu, tapi pangeran menahan tangannya, lalu menarik tengkuk lehernya dan menyatukan bibir mereka. Pangeran melumat bibir Se Hwa dengan intens dan menuntut membuat wanita itu kewalahan. Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong pria itu dan menggigit bibirnya.
"Menyebalkan!" Se Hwa mendengkus kesal, lalu bergegas meninggalkan tempat itu diikuti para dayangnya.
Pangeran terpaku di tempatnya. Dia tak mengerti kenapa istrinya berlaku berbeda dengan semalam. Dia menoleh kepada kasim yang sejak tadi berdiri di rombongan pelayan, seakan-akan bertanya ada apa sebenarnya. Kasim tentu saja tak mengerti. Dia hanya bisa menggeleng. Kasim sendiri sudah dikebiri sejak mereka masuk ke istana, jadi mana mungkin dia mengerti tentang hubungan cinta seperti itu.
Sementara di sisi lain, pengawal kepercayaannya hanya bisa mengulum senyum. Pangeran merasa ditertawakan, jadi dia menatap tajam pria itu. Bukannya takut, pengawal setianya itu malah mendekat dan berbisik kepada junjungannya. "Yang Mulia, pasti malu Anda menciumnya di tempat terbuka di hadapan begitu banyak dayang dan penjaga."
Pangeran terdiam. Dia melihat ke sekeliling dan menyadari kesalahannya. "Sial, apa yang sudah aku lakukan." Pria itu merutuki dirinya sendiri. "Semoga malam nanti dia tak mengusirku."
Sang pengawal hanya bisa mengulum senyum, menertawakan calon rajanya di dalam hati.
"Ekhm!" Pangeran berdiri dari tempat duduknya. Dia menegakkan badan dan membusungkan d**a guna menjaga wibawanya, lalu berjalan di depan. Semua pelayan yang mengikutinya hanya bisa menahan tawa.
Sementara itu, di tempat lain, Se Hwa menatap Seo Yeon yang makan dengan santainya di paviliun dekat kolam. Mata Se Hwa menatap berang seakan-akan hendak menelan hidup-hidup wanita siluman itu.
"Apa yang kau lakukan semalam? Sudah kubilang jangan melayaninya, kan?"
"Kenapa? Bukankah harusnya kau berterima kasih." Wanita itu kembali mengunyah makanannya. "Lagipula, sayang kalau dilewatkan, dia pria yang hot."
Se Hwa menatap kesal. "Dasar siluman!" ucapnya. "Mulai hari ini, setiap malam kita akan bertukar tempat. Kau tidurlah dengannya. Tapi, ingat jangan sampai kau hamil. Kau mengerti?"
"Iya, aku tahu." Seo Yeon mengacuhkan Se Hwa yang masih marah.
"Dan jangan jatuh cinta. Ingatlah kau harus kembali ke gunung rubah."
"Itu bukan urusanmu! Aku sendiri yang menentukan aku akan kembali atau tidak."
Se Hwa terkejut mendengar jawaban Seo Yeon, tapi ingat kembali tujuan wanita itu datang mengikutinya hanya untuk membalas dendam, Se Hwa pun mengabaikannya. Dia memilih pasrah dan membiarkan saja apa yang ingin dilakukan wanita itu.
Se Hwa memandang kolam yang sudah bersih. "Apa kau bisa merasakan hawa siluman di tempat ini? Tadi para perkeja bilang tempat ini jadi rumah para ular laut."
Seo Yeon menelan makanannya sebelum menjawab, "Mereka sudah lari. Kita tak tau di mana dan siapa yang menyembunyikan siluman itu. Ilmuku belum sanggup untuk mendeteksi keberadaan mereka yang sudah lama berbaur dengan manusia. Berbeda dengan Jeong Guk, dia bahkan bisa merasakan siluman meski siluman itu sudah menjadi manusia."
"Maksudmu? Siluman bisa menjadi manusia?"
"Tentu saja. Atas berkat dewa langit, siluman yang bertapa dengan teguh bisa menjadi manusia atau pun dewa."
Se Hwa manggut-manggut. "Apa menurutmu Jeong Guk bisa menjadi dewa?"
Seo Yeon menggeleng. "Aku meragukannya. Jeong Guk sudah membunuh banyak manusia karenamu, selain itu mutiara rubahnya juga ada padamu. Dia hanya akan terkurung di dalam lukisan itu sampai ada yang membebaskannya."
"Bagaimana cara membebaskannya?"
"Aku tak tau," jawab Seo Yeon. "Mungkin dengan doa yang dilantunkan terus menerus seperti yang dilakukan manusia untuk membebaskan dewi rubah dari hukuman atau mungkin juga dengan cara lain, misalnya memberikan kembali mutiara rubah kepadanya. Semua tergantung kepada cara Pendeta Tao menguncinya."
Se Hwa terdiam. Selain tidak tahu bagaimana cara membebaskan Jeong Guk, dia juga tidak tahu di mana kekasihnya berada. Sementara dia sendiri terbelenggu masalah pelik lainnya dengan pangeran. Se Hwa hanya berharap semuanya akan baik-baik saja dan dia bisa kembali ke jamannya, serta Jeong Guk bisa segera bebas. Jelas akan sangat menderita baginya hidup di sebuah lukisan selama bertahun-tahun.