Part 48

1214 Words
Se Hwa berjalan menerobos malam. Dia keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju ruang penerimaan barang. Meski dibalut pakaian dayang petugas penerimaan barang, Se Hwa masih berusaha untuk menghindari interaksi dengan orang-orang di dalam istana itu. Min Ju sudah menunggunya di dekat sana. Setelah bertemu, mereka pun pergi bersama. Mereka akan mengecek siapa-siapa orang yang mendapat pengiriman khusus lima bulan yang lalu. "Aku akan masuk," ucap Se Hwa. Min Ju mengangguk. Tugasnya adalah mengawasi keadaan selagi Se Hwa mengacak-acak kantor penerimaan. Se Hwa berdiam diri di dalam ruangan. Ada banyak sekali buku dan berkas-berkas penting di sana. Semua alur barang yang masuk dan keluar selalu dicatat di sana, apa pun bentuknya. Namun, Se Hwa ragu bahwa apa yang dicarinya saat ini juga tercatat di sana. Jika itu barang terlarang dan milik salah satu pejabat penting, maka tak mungkin mereka membukukannya. Kendati demikian, Se Hwa tetap berusaha memeriksa setiap berkas yang mencatat barang-barang masuk lima bulan yang lalu, terutama barang-barang yang berasal dari kerajaan Ming. Kerajaan Ming salah satu kerajaan yang cukup banyak mengirim hadiah ke Joseon. Mereka menjalin kerjasama tak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga di bidang politik dan keamanan. Semantara, Jepang adalah salah satu negeri yang menjadi musuh Joseon. Jepang sudah berupaya menginfansi dari sejak lama. Jepang negeri yang cukup tangguh. Se Hwa meneriti berapa banyak kain sutra yang masuk keistana dan menjadi pasokan utama bagi pakaian para pangeran dan putri, juga sebagian besar keluarga bangsawan. "Cih, bagaimana perekonomina rakyat Joseon bisa maju, jika para bangsawan selalu mengagungkan barang-barang dari luar." Wanita itu menutup satu buku, lalu berpindah ke buku yang lain dan begitu seterusnya, sampai Min Ju memanggilnya dengan setengah berbisik. Ada seseorang yang mendekati area itu. Se Hwa ingin melarikan diri, tapi terlambat. Min Ju menariknya masuk, lalu mengajaknya bersembunyi di balik salah satu rak buku-buku lama. Tempat itu lumayan gelap karena tak ada penerangan cahaya lampu di sana. Mereka berdua berjongkong sambil menutup mulut agar bahkan aliran napas mereka pun tak terdengar. Dua orang pria masuk ke sana, lalu memeriks sebuah buku yang tersembunyi di lemari dekat di belakang meja. "Kita harus benar-benar memastikan nama tabib itu tak tercatat di sini. Bodoh sekali jika mereka mencatatnya." "Benar, sudah tau itu terlarang, lalu kenapa mereka mencatatnya." Yang satunya menimpali. "Cepat periksa berkasnya, jika memang namanya masih ada di sana, robek saja. Lalu, kita bakar." "Iya, bersabarlah." Dua orang itu berdebat. Se Hwa dan Min Ju saling tatap, kemudian kembali menatap kedua pria tadi. "Ini dia," ucap salah satu dari mereka. "Aku akan merobeknya." Suara robekan kertas pun terdegar memecah kesunyian. Salah satu dari mereka memasukkan sobekan kertas itu ke balik bajunya, lalu mereka keluar dari sana. Se Ha dan Min Ju saling memberi kode. Mereka pun keluar dari ruangan itu dan membuntuti dua orang itu dari kejauhan. Setelah dirasa aman untuk menyergap mereka, Min Ju dan Se Hwa pun melompat keluar dan menghadang dua pria tadi dengan pedang terhunus dan wajah tertutup cadar. "Si-siapa kalian?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada gugup. "Kami tak akan membunuh kalian jika kalian mau bekerja sama," kata Min Ju. "Berikan apa yang kalian ambil di kantor pemeriksaan." "Dua orang tadi saling tatap, lalu dengan cepat membalik badan dan melarikan diri. Satu di antara mereka mengambil kertas dari balik bajunya dan memasukkannya ke mulut. "Sial!" desis Se Hwa. Dia mengeluarkan belati dari balik sepatunya, lalu melemparkannya ke arah pria tadi. Belati itu melesat dengan cepat, tepat mengenai kaki pria tadi. Min Ju melompat hendak melumpuhkannya, tapi dihalangi oleh pria yang satunya. Pertarungan tak dapat dielakkan. Selagi dua orang itu bertarung, Se Hwa menerjang pria yang memakan kertas. Pria itu dengan cepat menelan racun untuk membunuh dirinya. Se Hwa dengan sigap menahannya, tapi tetap saja terlambat. Mulut pria itu mengeluarkan busa. Remahan kertas di mulutnya turut keluar bersama busa itu. Sejenak Min Ju teralihkan oleh peristiwa itu. Tak ingin kecolongan lagi, Min Ju dengan cepat melumpuhkan orang yang satunya, lalu memelintir tangannya ke belakang dan mengikatnya agar dia tak bisa menelan racunnya. Setelah itu, Min Ju memukul tengkuk pria itu hingga pingsan. "Bagaimana?" Min Ju mendekati Se Hw yang menendang mayat pria itu dengan kesal. "Kertasnya telah hancur. Satu-satunya harapan kita sekarang adalah pria itu." Se Hwa menatap petugas yang satunya yang sedang tergeletak tak sadarkan diri. "Mereka sangat gesit. Dan benar-benar tak takut mati. Aku jadi berpikir kalau mereka sebenarnya bukan petugas administrasi biasa. Tapi seseorang yang benar-benar dipersiapkan untuk melakukan kudeta atau entaha apa pun itu." "Kau mencurigai seseorang?" Min Ju menggeleng. "Satu-satunya orang yang memiliki potensi besar dalam hal ini adalah sekertaris kerajaan." Se Hwa menyetujui ucapan pria itu. "Dari dulu dia sangat ingin menyingkirkan keluarga Hwang untuk bisa menguasai pemerintahan secara utuh, baik dari segi administrasi maupun militer, tapi keluarga Hwang selalu mendapat dukungan penuh dari Ibu Ratu termasuk raja, itulah kenapa dia sangat kesulitan. Bahkan permaisuri yang berasal dari klan mereka sekarang tak dianggap oleh putra mahkota. Putra mahkota lebih memilihmu." Tiba-tiba Min Ju menyadari sesuatu. "Tunggu dulu, kenapa kau ada di sini? Bukankah putra mahkota akan ke tempatmu?" Se Hwa pun terkejut. Dia lupa bahwa Min Ju dan siapa pun tak tahu kalau ada Seo Yeon yang menggantikan tugasnya menemani pangeran di malam hari. "Benarkah?" Wanita itu berpura-pura terkejut. "Kalau begitu, aku harus segera kembali. Kau tolong urus dia, ya." Se Hwa segera berlari meninggalkan Min Ju tanpa menunggu jawaban pria itu. "Sial!" desis wanita itu. Setelah cukup jauh meninggalkan Min Ju, Se Hwa mengambil jalan lain. Dia melepaskan pakaian penyamarannya dan membuangnya, lalu memutuskan untuk jalan-jalan di ibu kota. Se Hwa menyusuri jalanan yang mulai sepi. Seorang pedagang gulali tengah merapikan dagangannya dan bersiap untuk pulang. Se Hwa menghentikannya, lalu membelinya. Dia terus melangkah tak tentu arah. Mulutnya sibuk mengunyah gulali di tangannya. Se Hwa berhenti di depan sebuah kuil. Pohon besar ada di depan kuil itu. Lampion yang menyala redup menjadi penerangnya. Se Hwa menatap lampion itu, teringat pertama kali dia bercinta dengan Jeong Guk ketika perayaan di desa, ketika ribuan lampion diterbangkan guna mendapatkan restu sang dewi rubah, ketika dia pertamakali merasakan cemburu dan Jeong Guk mampu meyakinkannya bahwa dialah satu-satunya wanita yang paling istimewa di hidup pria itu. Se Hwa menitikkan air mata. Rasa gulali tak lagi nikmat, tapi dia tetap menelannya. Kaki wanita itu terayun masuk ke dalam kuil. Di depan altar lilin-lilin menaya terang. Asap dupa yang harum memenuhi ruangan itu. Sesembahan berupa buah-buahan dan minuman manis, juga alkohol tersaji di sana. Patung dewi bumi tampak begitu cantik. Di sisi kanan dan kiri terdapat patung dewa perang. Se Hwa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dewi bumi di puja di sana karena berkatnya tanah di sana selalu subur dan hasil panen selalu melimpah. Se Hwa menjatuhkan dirinya di hadapan patung dewi dan menangis. "Dewi, jika saja kau tau di mana Jeon Guk, putra dari dewi rubah, tolong sampaikan kepadanya aku merindukannya. Aku tengah mengandung anaknya, Dewi. Aku mohon sampaikan kepada dewa langit untuk membawa Jeong Guk kembali kepadaku. Aku rela melakukan apa pun untuk menebus dosaku. Bahkan jika nyawaku bisa aku persembahkan, akan aku persembahkan nyawaku ini. Asalkan Jeong Guk bisa dibebaskan. Jangan kurung dia terlalu lama." Wanita itu terus menangis, lalu tiba-tiba langit menjadi gelap gulita, petir menggelegar, hawa dingin mengusik semua orang sebelum hujan deras turun dan mengguyur desa. "Jeong Guk, apa kau mendengarku? Apa sekarang kau sedang menangis," gumam Se Hwa dalam tangisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD