Seorang gadis menggeliat di balik selimut sutranya yang tebal. Dia menyamankan posisi tidurnya kembali karena merasa masih terlalu dini untuk terbangun dan pergi ke kantor. Namun, sesaat kemudian pikirannya membawanya ke kejadian semalam, ketika kakinya tergelincir di tangga, lalu tubuhnya terguling dan membentur lantai paving.
"Apa aku masih hidup? Apa sekarang aku ada di rumah sakit?" pikirnya. Belum juga dia mendapat jawaban atas pemikirannya, suara seseorang membuatnya terlonjak kaget.
"Tuan Muda ... Tuan Muda, Anda sudah siuman? Oh, syukurlah Anda sudah siuman."
Airin memandang bingung sosok seorang gadis yang kini bersimpuh di dekatnya sambil tak henti mengucap syukur.
"Tuan Muda? Si-siapa kau?" tanya Airin sembari menarik kakinya yang ingin disentuh gadis tadi.
"Tu-tuan, Tuan Muda jangan bercanda. Jangan membuat saya takut, Tuan. Ah, sebaiknya saya panggilakan tabib sekarang."
"Ta-tabib." Belum sempat Airin mencegah perempuan itu pergi, dia sudah menghilang di balik pintu geser. "Kenapa dia harus bilang tabib, bukan dokter. Dasar perempuan aneh.
Airin menyingkap selimutnya. Dia bangkit dan melakukan peregangan. Seperti biasa dia akan meraba ponsel untuk melihat jam yang tertera di sana. Kemudian mengukur waktu yang dia butuhkan untuk membuat sarapan dan berangkat ke kantor setelahnya.
Namun, kali ini Airin harus kecewa karena dia tak mendapatkan apa yang dia cari. Airin memperhatikan sekitar. Kerutan-kerutan kebingungan muncul di wajahnya. Ruangan itu terasa asing baginya. Nakas kayu dengan ukiran-ukiran yang unik ada di sisi kanan, juga lilin yang masih menyala di tempatnya. Guci-guci keramik berjajar di atas nakas. Selain itu ada beberapa buku di sana. Airin mendekat. Tangannya meraba benda-benda itu.
"Aku tak pernah memiliki benda-benda ini. Apa ini kamar orang yang menolongku? Rasanya ini bukan rumah sakit." Pikiran gadis itu merotasi semua kejadian yang bisa dia ingat saat tergelincir semalam. Dia ingat ada seseorang yang berdiri di menatapnya. Dari siluetnya, Airin bisa menebak kalau itu laki-laki. Apakah ini kamarnya? Airin tak bisa memastikannya.
Gadis itu bermaksud pergi keluar guna mencari pemilik rumah ketika pintu ruangan itu kembali terbuka. Perempuan tadi datang bersama seorang pria dan wanita yang berpakaian aneh. Airin memundurkan langkah.
"Tuan Muda, kenapa Anda sudah bangun!" Perempuan tadi histeris. Dia menuntun Airin untuk kembali ke tempat tidur. Pria yang bersamanya juga ikut melakukannya. Airin yang kebingungan hanya bisa pasrah ketika dirinya harus kembali ke tempat semula, lalu pria tadi memeriksa denyut nadinya.
"Ini aneh. Semalam Tuan Muda hampir kehilangan nyawa, tapi sekarang semua sudah baik-baik saja."
"Itu karena obat yang Anda berikan sangat mujarab."
Airin memperhatikan bagaimana orang-orang itu berinteraksi. Perhatiannya tak pernah lepas dari pakaian yang dikenakan ketiganya. Itu membuatnya penasaran sekolot apa pria yang menolongnya semalam. Rasanya di jaman modern seperti sekarang tak mungkin ada orang yang mempertahankan keseharian mereka dengan berpakaian tradisioanal seperti itu. Itu sedikit gila.
Interaksi mereka juga terlihat begitu formal, persis seperti film-film drama kolosal kerajaan. Airin ingin tertawa, tapi dia menahan diri. Lalu, karena tidak betah lagi memperhatikan bagaimana kekonyolan tingkah mereka, Airin pun bangkit dari duduknya.
"Sudah, sekarang bisakah kalian tunjukkan di mana aku bisa bertemu dengan tuan rumah ini? Aku ingin berterima kasih kepadanya karena sudah menolongku."
Tiga orang di dalam ruangan itu saling pandang.
"Dengan tuan rumah ini? Apa maksud Anda dengan Tuan Besar?"
"Tuan Besar?" Airin berpikir. "Ya, ya, terserah siapa pun itu," ucapnya kemudian. "Cepat antarkan aku menemuinya. Aku harus segera pulang. Hari ini pekerjaanku di kantor sangat banyak."
Kembali orang-orang di sana saling menatap bingung. Airin mendesah lelah. "Ah, sudahlah. Biar aku cari sendiri saja." Gadis itu bangkit dan langsung melangkah menuju pintu.
"Tuan Muda, Anda ...."
Langkah Airin terjeda di depan pintu bukan karena panggilan perempuan yang bahkan belum dia ketahui namanya. Namun, karena tiba-tiba ada begitu banyak orang yang berlutut ke di depannya. Pakaian mereka sama seperti perempuan di dalam sana. Airin menoleh ke dalam ruangan, lalu ke arah gang depan ruangannya. Saat itulah dia menyadari pakaian yang dia gunakan pun sedikit aneh.
Gadis itu terlonjak memperhatikan penampilannya. "Hei, apa-apaan ini! Bagaimana aku bisa berpakaian seperti ini?"
"Tuan Muda ...."
"Berhenti memanggilku tuan muda. Aku bukan tuan muda kalian." Airin sibuk mencari cermin. Dia ingin melihat apa yang terjadi kepada dirinya. Melihat Airin kebingungan, perempuan yang belum dikenalnya itu pun ikut membantu dan mengambilkan cemin untuknya.
Cermin yang memantulkan bayangan tak terlalu terang itu menangkap sosok Airin. Gadis itu menepuk-nepuk wajahnya. Wajahnya berubah. Itu bukan dia. Sekali lagi dia memperhatikan penampilannya, lalu memperhatikan sekeliling.
"Ini pasti mimpi. Mimpi sialan ini kenapa selalu saja seperti ini. Aku harus tidur. Ya, aku harus tidur lagi." Airin bergumam, lalu meletakkan cermin yang dipeganggnya secara sembarangan. Dia bergerak cepat ke tempat tidur dan memejamkan matanya di balik selimut.
"Kenapa susah sekali untuk tidur." Dia melempar selimutnya, lalu menatap perempuan yang duduk di sebelahnya. "Hei, kau. Pukul aku biar aku bisa tidur. Cepat pukul aku. Aku harus bangun dari mimpi ini dan kembali bekerja. Hei, cepat pukul aku!"
Karena gadis pelayan itu kebingungan, Airin kini menatap pria satu-satunya yang ada di sana. "Kau! Kau tabibkan? Sekarang suntik aku. Berikan aku suntikan agar aku bisa tidur dengan cepat."
"Suntikan?"
"Aish." Airin menggaruk kepalanya merasa gerah melihat respons orang-orang itu. "Obat. Ya, obat. Berikan aku obat agar bisa tidur dengan cepat."
"Tapi, Tuan Muda, kenapa Anda ingin tidur lagi. Anda baru saja bangun."
"Ah, sudahlah. Kalian tak akan mengerti." Gadis itu melempar selimut dengan marah, lalu bergerak cepat meninggalkan kamar itu. Beberapa orang terkejut, tapi Airin tak peduli. Dia terus berlari sampai ke luar rumah bergaya tradisional itu. Ketika matanya menangkap sosok prajurit yang berjaga, dia menghampiri prajurit itu.
"Hei, kau! Cepat pukul aku. Cepat. Aku harus tidur. Aku tak bisa terus bermimpi. Pekerjaan menantiku. Cepat pukul aku."
Bukannya mengikuti keinginan sang Tuan Muda, semua orang di sana malah menunduk. Airin yang frustasi pun bergerak cepat menuju tiang penyangga bangunan. Dia memukulkan kepalanya di sana.
"Aw!" Gadis itu meringis memegangi gidatnya, tapi bukannya ngantuk, dia malah harus menderita dengan kepalanya yang berdenyut.
"Tuan Muda, ada apa? Jangan lakukan itu lagi." Kali ini seorang wanita paruh baya mengenakan hanbook hijau mendekatinya. "Tabib, cepat obati Tuan Muda."
"Tidak! Tidak!" Airin mengacungkan tangannya. "Jangan menyentuhku. Sekarang katakan kepadaku aku di mana? Maksudku ini tahun berapa? Jaman apa?"
"I-ini tahun 1392 di masa Gugoryeo."
"Ap-apa ...?!" Airin kembali berlari ke halaman, dia menatap seluruh daerah itu kemudian dengan serta merta menjerit histeris. "Tidak!" Tubuhnya pun meluruh jatuh terduduk di tempat berdebu. Tak ada yang berani mendekatinya. Dia menangis.
***
Airin masih belum percaya dengan apa yang dialaminya dan masih berharap semua itu hanya mimpi. Dia terlihat pasrah ketika tabib memeriksanya kembali. Tabib itu mungkin menganggapnya sudah gila, tapi daripada memikirkan dan peduli tentang apa yang dilakukan tabib, Airin memilih memikirkan bagaimana caranya dia bisa tidur dan bangun dari mimpi buruk itu.Dia harus kembali.
"Akh!" Airin melempar selimut mengangetkan semua orang.
"Hei, kau!" Gadis itu mendelik kepada perempuan pelayan yang mengenakan pakaian abu-abu. "Katakan kepadaku apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini? Ah, bukan itu. Katakan kepadaku apa yang terjadi semalam? Dan siapa perempuan ini." Airin terdiam sesaat sebelum kembali bicara. "Dan itu tadi, kenapa memanggilku Tuan Muda. Aku ini perempuan. Atau ...."
Airin terkesiap. "Oh, ya Tuhan, jangan bilang aku telah jadi seorang pria." Dengan tak tahu malu Airin meraba payudaranya. Juga mengangkat bajunya ingin memeriksa bagian vitalnya.
Para pelayan histeris dan menahan gerakannya yang tidak sopan. "Jangan lakukan itu, Tuan Muda."
"Kenapa kalian terus saja memanggilku Tuan Muda. Aku ini perempuan. Katakan siapa namaku?!"
Para pelayan saling pandang.
"Baiklah, katakan siapa nama kalian?"
"Saya, saya Min Gyu, Tuan." Pelayan yang sedari tadi pagi begitu banyak bicara itu menjawab, kemudian disusul pelayan berbaju hijau.
"Saya Yeong Jin Han, Tuan Muda."
Airin terdiam. Entah apa yang dipikirkannya tak ada yang tahu.
Seorang perawat menyodorkan ramuan obat agar diminum olehnya. Tanpa banyak bicara Airin menyeruputnya, meski rasa pahit menyapa tenggorokannya. Setelahnya kembali dia menatap sang pelayan.
Dia duduk bersila, wajahnya tampak begitu bersemangat. "Baiklah sekarang katakan apa aku ini putri raja?" Tiba-tiba saja Airin membayangkan dirinya seperti pemeran utama dalam film-film, di mana dia terlempar ke dunia pararel dan hidup jadi putri raja yang sangat disegani.
"Pu-putri?" Min Gyu dan Yeong Jin saling pandang, lalu keduanya mengangguk. "Anda Putri Bangsawan Hwang."
"Bangsawan Hwang?" Airin bergumam. Rsanya nama itu tak ada dalam sejarah. Setidaknya dia tak pernah membaca nama itu baik di sejarah Goryeo maupun Joseon. "Hei, kau tak salah, kan? Nama itu, nama itu tak ada di buku sejarah. Apa tidak ada nama yang lebih keren dari itu? Misalnya nama Raja Taejon?"
Kembali dua pelayan itu saling pandang. Mereka sangat bingung dengan ucapan-ucapan aneh nona mudanya. Airin menghela napas frustasi.
"Ah, sudahlah. Sekarang katakan di mana si marga Hwang itu? Aku ingin bertemu."
Tak ada yang menjawabnya, membuat Airin semakin kesal. "Jangan diam saja. Sekarang katakan where is my dad?"
"D-dad?"
Airin menggeram. "Ayah? Abeoji?"
"Ayah, Ayah Anda ada di ...." Belum lagi kalimat itu berakhir sempurna, seseorang masuk dengan wajah garang. Dia diikuti dua pelayan pria. Matanya menatak Airin dengan ekspresi tak suka.
"Hwang Se Hwa, jangan hanya malas-malasan di sini! Cepat ganti bajumu, karena kita harus latihan."
Airin menatap bingung pria itu. Dia tak beranjak dari tempatnya. "Dia kah ayahku?" gumamnya dalam hati.