Airin masih memandang pria paruh baya di depannya. Pria yang berdiri dengan jemawa, mengenakan pakaian dari bahan sutra terbaik berwarna biru tua.
"Se Hwa, cepat bersiap-siap!"
"Tapi, Tuan. Tuan Muda baru saja sadar, Tuan. Saya mohon jangan paksa Tuan Muda untuk latihan."
Airin mengerutkan dahi memandang tingkah pelayannya. Semua yang terjadi di hadapannya sungguh aneh. Bahkan panggilan Tuan Muda itu masih terasa asing. Jika dia seorang nona, kenapa mereka tak memanggilnya Nona Muda.
"Jangan banyak bicara! Siapkan Tuan Mudamu segera! Pangeran akan datang untuk mengajaknya adu tanding." Pria itu meninggalkan ruangan.
Ah, apa benar pria tua aneh itu ayah perempuan ini? Airin bersungut dalam hati. Dia ingin mengumpat, tapi kepala dayang malah memintanya bersiap-siap.
Tak berapa lama beberapa dayang lain memasuki ruangan. Airin tergugu ketika mereka semua mendandaninya. Bukan sebagai seorang putri, melainkan pakaian pria, juga baju besi.
"Heh, apa ini?" sungutnya kesal. Baju itu sangat berat. Dadanya bahkan harus dililit sabuk panjang dan terjepit. Pelayan-pelayan itu berusaha agar dadanya yang sexy terlihat rata. Itu gila! Dia bisa mati sesak napas.
"Tuan Muda, tolonglah jangan bergerak. Kami harus memasangkan jubah besi ini di tubuh Anda agar Anda tak terluka," kata salah satu pelayan.
"Kau gila!" Airin berusaha melawan. "Ini sangat berat!"
"Tapi Anda harus memakainya. Karena pangeran sebentar lagi akan datang. Kalian akan adu ketangkasan!"
"Tidak mau! Aku ini seorang putri, kan. Harusnya yang kulakukan menyulam, berdandan, bukan adu ketangkasan atau mengayun pedang! Aku tak menyukainya!" Mereka masih berdebat soal itu hingga kepala pelayan menyela.
"Tapi tak ada yang tahu kalau Nada seorang putri. Karena sejak lahir, Tuan Hwang sudah mengumumkan kalau istrinya melahirkan seorang putra. Dan Anda sudah didik olehnya untuk menjadi prajurit yang handal. Anda seoranh kepala prajurit yang sangat disegani. Sudah banyak pertempuran yang Anda menangkan."
Airin terdiam. Ini sungguh gila! Dia seorang wanita, tapi harus menjadi laki-laki. Kenapa dia tak melakukan operasi kelamin. Bukankah wanita bernama Hwang Se Hwa ini bisa menjadi pria seutuhnya jika melakukan operasi itu. Ah, di zaman modern apa pun bisa dilakukan. Kasian sekali wanita ini. Airin terus menggerutu dalam hatinya.
Namun, kali ini dia tak bisa menolak lagi. Setelah mengenakan jubah besi yang seakan merontokkan seluruh badannya, Airin keluar ruangan. Seekor kuda putih sudah menunggunya, pun enam orang prajurit yang siap berlari mengikuti laju kuda itu.
"Bodoh sekali! Kenapa mereka juga tak memakai kuda dan malah berlari. Bikin lelah!"
"Iya, ada apa, Tuan?" Min Gyu merasa Tuan Mudanya menggumamkan sesuatu karena itulah dia bertanya. Namun, Airin memilih menggeleng.
"Tuan Muda." Seorang prajurit pria mendekati gadis itu sambil menuntun kuda. "Silakan."
Melihat kuda itu rasanya jauh lebih mengerikan dari menghadapi keanehan hidupnya kini. Dia bahkan tak pernah menunggang kuda sebelumnya, lalu bagaimana dia bisa menunggang kuda itu.
"Tuan Se Hwa," ucap pria itu lagi membuat Airin terkejut.
Dia mengulurkan tangan dengan takut, ingin menyentuh kuda putihnya. "Kau yakin aku harus menunggangi ini?"
"Tentu saja. Ini kuda kesayangan Anda."
Airin menatap kuda itu. Kuda cantik yang menatapnya dengan tatapan persahabatan. Namun, Airin masih saja ketakutan. Dia bukan penunggang kuda. Bahkan, tak pernah menaiki kuda.
Semua tatapan mata seakan tertuju kepadanya. Airin melirik para dayang dan prajurit, tapi mereka semua menunduk, tak berani mengangkat wajah.
"Se Hwa, Hwang Se Hwa!"
Airin menoleh ke kanan. Seorang pria dengan hanbok biru mendekatinya. Sesaat Airin teringat drama-drama korea yang dia tonton. "Apa pria itu petugas kepolisian," pikirnya. "Apa benar kepolisian jaman dulu memakai hanbok biru?"
"Kenapa diam saja?" Pria itu dengan lancang merangkul Airin yang masih tergugu.
"Ish, apa-apaan. Menjauhlah!" Airin mendorong tubuh lelaki itu, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya seakan membersihkan kotoran dari bajunya.
Pria itu mengerutkan dahi. "Kau kenapa?" tanyanya bingung.
"Tuan Muda mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan itu, Tuan Muda Kim." Dayang yang bersama Airin menerangkan kondisi tuannya tanpa diminta.
"Benarkah?" Pria itu menatap Airin dengan tatapan menyelidik. "Tapi kau kelihatan baik-baik saja."
"Sudah, sudah! Aku mau pergi sekarang. Cepat berikan kudanya padaku!" Airin merampad tali kekang kuda dari salah satu prajurit. Dia lupa bahwa ini pertama kalinya dia akan naik kuda. Entah apa yang dilakukannya, kuda itu tiba-tiba saja meringkik. Airin terkejut. Tubuhnya tersungkur ke belakang dan hampir jatuh. Beruntung pria tadi menangkapnya.
Tatapan mereka bertemu. Airin jatuh dalam dekapan pria itu. Pria yang cukup tampan dengan kulit putihnya seputih salju.
"Ekhm!"
Suara deheman sang pelayan menyadarkan mereka berdua. Airin mendorong tubuh pria itu, lalu kembali mengibaskan tangan, menepuk-nepuk bajunya.
"Si-siapa kau?" tanya Airin gugup.
"Sepertinya kau memang lupa ingatan." Pria itu menegakkan badan. "Aku Kim Min Ju, teman masa kecilmu. Dan, aku akan mengembalikan ingatanmu."
"Tidak perlu. Aku bisa mengendalikannya sendiri." Kali ini Airin mengambil tali kekang kuda dengan lebih berhati-hati.
Pria bernama Min Ju itu menatapnya. Dengan sekuat tenaga dia menahan tawa saat melihat bagaimana Airin kesusahan menaiki kudanya. Lalu, ketika Airin tak kunjung ada di atas pelana, Min Ju mendekat dan mendorong tubuh Airin agar segera duduk di atas pelana. Segera setelah itu dia pun naik ke kuda yang sama.
"Eh, apa yang kau lakukan di sini?"
"Menemanimu bertemu pangeran," jawab Min Ju lantas memacu kuda itu. Airin hanya diam saja ketika kuda itu bergerak cepat meninggalkan kediaman keluarga Hwang. Posisi Min Ju yang ada di belakang membuatnya gugup. Seakan mereka berdua sedang beradu peran romantis di atas kuda. Airin jadi membayangkan bagaimana Iu saat beradu peran dalam drama Moon Lovers. Tanpa sadar wajah Airin bersemu merah. Jantungnya pun berdetak lebih kencang.
"Kau benar-benar tak mengingatku?" Min Ju masih memacu kudanya. Dia mencoba mengurai kebisuan yang ada di antara mereka. Airin mengangguk mengiakan.
"Lalu, apa kau juga lupa tentang pangeran?"
Mendengar pertanyaan itu Airin terperanjat. Pangeran, bukankah hari ini mereka ada latihan tanding? Lalu, bagaimana dia akan menimpali serangan-serangan pangeran? Dia bukan petarung. Dia bahkan tak pernah memegang senjata, selain pisau dapur.
"Kenapa diam? Apa ada masalah?"
"Ah, ti-tidak." Airin berkilah. Padahal dalam hatinya dia benar-benar gugup dengan apa yang akan menantinya nanti.
Kuda itu memasuki kawasan hutan. Min Ju masih terus memacunya dengan cepat. Tak berapa lama, kuda memasuki camp pelatihan. Airin semakin gugup.
"Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanyanya dalam hati.
Kuda hitam itu memasuki gerbang pelatihan. Jantung Airin makin berdebar kencang. Min Ju menghentikan laju kudanya di halaman, kemudian beberapa prajurit mendekati mereka.
"Apa terjadi sesuatu? Kenapa kalian memakai satu kuda yang sama?"
"Aku rasa, mungkin Se Hwa perlu kembali berlatih naik kuda."
"Apa maksud Anda, Inspektur Kim?" Seorang prajurit bertanya dengan raut wajah kebingungan.
"Bukan apa-apa. Ayo, mulai saja latihannya sebelum pangeran datang."
Tak ada yang berani membantah ucapan Inspektur Kim, begitu juga dengan Airin. Gadis itu mulai menaiki kuda di bawah bimbingan Inspektur Kim.
Sejumput ingatan tumpang tindih di pikirannya. "Apa ini?" Airin bergumam. Bayangan bagaimana dia mengendalikan kekang kuda dengan ahli terus berkelebat. Tangannya bergerak tanpa sadar memainkan tali kekang kudanya, lalu kakinya menghentak badan kuda. Kuda hitam itu melesat dengan cepat.
Kim Min Ju terkesiap. Sementara Airin telah memacu kuda itu dengan sangat cekatan. Kuda terus berkeliling di arena latihan.
"Sepertinya ingatan gadis ini membuat tubuhku bergerak spontan." Airin bicara kepada dirinya sendiri. Jantungnya memompa lebih cepat ketika dirinya mendapat sensasi baru dalam berkuda.
Angin berhembus diiringi ringkik kuda jantan yang dikebut gadis itu. Airin tertawa bahagia. Tepat ketika dia melihat beberapa orang berkuda datang dari arah yang berbeda Airin menghentikan laju kudanya. Rombongan itu pun melakukan hal yang sama.
Rombongan itu terdiam karena tak ada reaksi apa pun dari pemuda di depan mereka. Airin sendiri masih kebingungan karena rombongan itu hanya diam dan enggan untuk bergeming. Suara ringkik kuda yang lain terdengar dari arah belakang Airin. Gadis itu menoleh, kemudian mendapati Min Ju ada di sebelahnya.
"Yang Mulia ...." Pria itu membungkuk hormat kepada junjungannya. Airin yang memperhatikan hal itu segera menoleh ke arah rombongan di hadapannya.
"Jadi mereka rombongan kerajaan?" pikirnya. Dia masih tergugu menatap betapa tampannya pangeran di depannya. Bentuk wajahnya yang oval dengan hidung mancung dan kulit putih bersih. Hanbook sutra membalut tubuhnya yang kekar. Tatap matanya tajam, gesturenya tegap begitu berwibawa. Sepertinya Airin belum pernah bertemu seorang pria dengan kesempurnaan seperti itu. Jadi pantas saja dia menjadi salah satu calon pewaris kerajaan.
Duk!
Airin menoleh ke arah Min Ju yang baru saja menendang kakinya. Pria itu memberi kode agar Airin segera memberi hormat. Segera setelah itu Airin pun sedikit membungkukkan badan.
"Yang Mulia ...." Dia masih membungkuk dan melanjutkan kata-katanya, "maafkan kelancanganku karena terlambat memberi salam."
Beruntung dia sering menonton film kolosal dan drama-drama Korea yang bertemakan kerajaan. Jika tidak, mungkin dia akan berbicara dengan sangat tidak sopan.
Cara berbicara dan bertingkah-laku di jaman kerajaan jelas berbeda dengan di jamannya. Itulah kenapa Airin berusaha mengingat-ingat bagaimana cara bersikap orang-orang di drama-drama yang dia tonton.
"Aku dengar kau terluka. Apa sekarang sudah baik-baik saja?"
"Iya, Yang Mulia," Airin berucap tanpa mengangkat wajah.
"Baguslah." Sang pangeran mengentak kudanya. Binatang itu pun bergerak melewati Airin. Airin dan Min Ju segera memutar haluan kudanya dan bergerak mengikuti sang pangeran bersama dengan rombongan kerajaan yang lain. Derap kuda-kuda itu memasuki areal latihan. Para prajurit memberi hormat kepada pangeran.
Tanpa basa-basi pangeran langsung bersiap untuk latihan dengan Airin. Sementara gadis itu kini tengah kebingungan memikirkan bagaimana caranya kabur dari sana. Jelas saja dia tak mau mati konyol karena dia tak bisa memakai pedang. Dia bukanlah Hwang Se Hwa. Dia hanya Han Airin yang terbiasa bemain ponsel. Bukan Airin yang selalu memegang pedang.
"Ayo, angkat senjatamu." Suara pangeran menggelegar membuat wajah Airin kian pias. Dia masih terlalu muda untuk mati.