Tanpa sadar Airin kembali terlelap di kantor. Padahal tadi dia sedang membuka situs sejarah Joseon. Niatnya untuk menemukan Desa Tuman sudah tak terbendung lagi. Namun, siapa sangka dia malah terlelap dengan komputer yang menyala dan masih menayangkan sejarah Joseon yang dipelajarinya.
Dia terjebak dalam mimpi yang sama dan berulang. Bahkan, dia tak menyadari kalau karyawan lain mulai menatapnya tak suka. Hyemi berusaha membangunkannya, tapi tidur Airin sudah seperti orang pingsan.
"Jadi bagaimana? Apa kita pindahkan saja tubuhnya, lalu laporkan kepada atasan kalau dia tidak bekerja hari ini." Hyemi mencoba memberi usul kepada salah satu rekannya.
"Biarkan saja! Baru juga bekerja dua hari, tapi kerjanya tidur terus. Kemarin dia juga tidur, kan."
"Tapi sepertinya bos menyukainya. Buktinya, bukannya dihukum, dia malah diajak keluar sama bos." Re An tampak menyembul dari kubikelnya dan turut urung bicara.
"Lalu, sekarang bagaimana?" Hyemi kian bingung. Delapan orang tim marketing tak ada yang berani mengambil keputusan. Hingga Hansol mendekat, mereka masih saja adu pendapat.
"Ada apa ini?"
Kerumunan karyawan itu menoleh bersamaan ke arah Hansol. Mereka serempak memberi salam kepada putra salah satu pemilik perusahaan itu. Hansol membalas salam mereka sambil menatap Airin yang masih terlelap.
"Sudah sejak kapan dia seperti itu?"
"Sejak kemarin dia selalu tertidur." Hyemi mewakili kawannya untuk memberi penjelasan.
Hansol menatap layar komputer yang menyala. "Bubarlah. Kembali ke tempat kerja kalian!"
Tak ada yang berani membantah perintah Hansol. Semuanya kembali ke tempatnya masing-masing. Hansol mencondongkan tubuhnya untuk membaca sejarah Joseon yang terpampang di hadapannya. "Apa yang dia cari di sini?" Pria itu bergumam pelan.
Setelah membaca dan hanya menemukan artikel biasa, dia memutuskan untuk menutup jejaring sosial itu. "Aku harus melakukan sesuatu. Malam nanti akan terjadi gerhana. Pendeta bilang itu berbahaya untuknya."
Hansol mengangkat tubuh Airin yang tenggelam begitu dalam di alam mimpi. Dia bermaksud membawa Airin ke tempat lain ketika Jinseok sudah berdiri di belakangnya.
"Mau kau apakan gadis itu?" Jinseok bermaksud mengambil alih Airin dari gendongan Hansol, tapi Hansol memundurkan langkahnya membuat Jinseok menatap berang.
"Jauhi dia!" Hansol bermaksud membawa Airin dari sana, tapi Jinseok tak mau kalah. Dia menahan gerakan Hansol dan langsung mengambil alih Airin dari gendongan pria itu. "Jinseok, hentikan!"
Hansol tak terima dan ingin merebut kembali tubuh Airin. Saat itulah Airin tersadar dari tidurnya. Dia mengerang dalam pelukan Jinseok. Matanya mengerjap pelan sebelum menyadari apa yang terjadi.
Airin merasa aneh ketika mencium aroma maskulin seorang pria. Dia mendongak dan mendapati Jinseok yang sedang menatapnya. Tubuhnya juga masih berada dalam pelukan Jinseok.
"Eh, apa yang kau lakukan?!" Gadis itu mendorong Jinseok dan menjauhkan diri darinya. Hal berikutnya dia dikagetkan dengan keberadaan Hansol yang siap menariknya ke sisi pria itu. Namun, Airin menolaknya. Dia masih berusaha mencerna situasi. Sementara kedua pria tampan di depannya masih menatapnya dengan cara yang aneh. Di hati keduanya sama-sama ingin merebut Airin.
Airin segera tersadar kalau beberapa saat lalu dia terlelap dan tidur di kantor, akhirnya dia putuskan untuk membungkuk meminta maaf. Jinseok dan Hansol masih memperhatikannya tanpa mengucap kata.
"Aku akan bekerja sampai semua tugasku tuntas. Hari ini aku akan lembur sampai semua selesai aku janji."
"Airin, gunakan ini, lalu pulanglah. Istirahatkan dirimu." Hansol menyerahkan jimat yang masih dibawanya.
"Siapa kau berani mengatur jam kerja karyawanku. Hari ini Airin tak akan ke mana-mana. Dia akan menyelesaikan semuanya seperti janjinya." Jinseok merampas jimat itu, lalu membuangnya di tong sampah.
Hansol menatap berang. Dia menarik baju Jinseok dan langsung memukul pria itu. "Aku pun berhak mengurus karyawan perusahaan!"
Jinseok mendesis, lalu mendorong Hansol. "Berhak? Memangnya kau siapa? Saat tugas ini dibebankan kepadamu kau ke mana kau? Bukankah memutuskan untuk berkelana dengan imajinasimu dan pendeta gadungan itu?! Jadi jangan ikut campur urusanku dengan para pegawaiku! Kau nikmati saja keuntungan perusahaan yang masuk ke rekeningmu!"
Hansol terdiam. Apa yang dikatakan Jinseok benar adanya. Dua tahun lalu, ketika rapat dewan memutuskan dia yang jadi presdir, Hansol menolaknya. Bukan tak mau bertanggung jawab, tapi dia tak suka terjebak dalam pekerjaan yang dia anggap membosankan. Walaupun begitu, Hansol tak pernah lepas tangan. Dia masih tetap datang ke perusahaan dan kantor-kantor cabang guna turut mengawasi jalannya perusahaan. Atau membantu memberikan ide-idenya demi kemajuan perusahaan elektronik itu.
"Han Airin, ikut denganku. Lanjutkan pekerjaanmu setelah makan siang!" kata Jinseok, lalu pergi dari sana.
Airin meng-iya-kan sambil membungkuk sesaat. Dia juga memberi hormatnya kepada Hansol, lalu meninggalkan pria itu untuk makan siang bersama Jinseok.
***
Hari sudah semakin sore. Han Airin tetap menjaga dirinya dari rasa kantuk yang terus menyerang. Seperti janjinya, dia tak akan pulang sebelum pekerjaannya selesai.
Teman-teman Airin sudah pulang. Satu per satu dari mereka telah berpamitan.
Sementara, di luar sana, gulungan awan-awan hitam merangkak dari arah utara, arah perbukitan. Badai yang sama dengan kemarin datang kembali menyelimuti Korea Selatan. Kaca jendela menimbulkan suara gemeretak ketika angin kencang menerpanya.
Airin terkesiap ketika gemuruh guntur menggelegar. Dia menatap ke luar jendela.
"Sebaiknya kau pulang saja, Airin. Kali ini badai akan benar-benar datang." Seorang satpam mengingatkannya.
"Tapi, kerjaanku masih banyak, Pak. Biarkan saja. Bukankah aku ada di dalam ruangan. Jadi ada di sini pun sama dengan ada di rumah."
"Oh, ya, sudah. Bapak akan keliling untuk patroli. Apa kau ingin dibuatkan kopi?"
"Tidak usah, Pak. Terima kasih," kata Airin.
Satpam itu pun berlalu, tapi sesaat kemudian Airin terkesiap karena listrik tiba-tiba saja mati. Kemudian, guntur saling bersahutan terus menggelar di langit sana. Korea gelap gulita.
Airin menunggu, sebab percaya listrik akan kembali menyala, tapi semua sia-sia. Setelah dua puluh lima tahun berlalu, baru kali ini Korea kembali mengalami mati listrik.
Satpam berlari mendekati Airin. Dia ingin memastikan kalau Airin baik-baik saja. Cahaya lampu senter dari satpam membuat Airin sedikit tenang.
"Kenapa listriknya padam begitu lama?"
"Aku juga tak tau, Airin. Generator pun tak bisa dinyalakan. Lihatlah keluar sana, Korea gelap gulita."
Airin melangkah mendekati jendela. Apa yang dikatakan satpam benar, Korea seperti tenggelam dalam kegelapan.
"Apa badai ini penyebabnya?" Airin menoleh kepada pria paruh baya di sebelahnya.
"Aku rasa begitu. Sebaiknya sekarang kau pulang sebelum keadaan jadi lebih buruk dari ini. Kau akan merasa lebih nyaman jika ada di rumah sendiri."
Airin terdiam sesaat, menimbang apa yang harus dilakukannya. Jika dia pergi sekarang, pekerjaannya tak akn selesai. Namun, jika tetap di kantor dan listrik tetap mati, itu sama saja.
"Jangan banyak berpikir. Pulanglah sebelum hujan turun. Aku yakin sebentar lagi hujan akan turun dan mungkin tak tak akan berhenti sampai besok."
"Baiklah, Pak. Kalau begitu aku akan hubungi presdir untuk minta izin pulang."
Airin mengambil ponselnya, tapi kesialan kembali menimpanya. Ponsel itu mati. Tak hilang akal dia meminjam ponsel Pak Satpam, tapi sama saja. Ini keanehan yang membuatnya bingung. Pada akhirnya, Airin memutuskan untuk pulang. Dibantu cahaya seadanya dari senter satpam, dia merapikan semua berkas di meja. Baru setelahnya berpamitan.
Kekacauan terjadi di Korea. Mati listrik yang berlangsung cukup lama membuat kegiatan di Korea lumpuh total. Entah kenapa generator-generator listrik pun mati serempak.
Pemerintah panik, berusaha keras untuk mengatasi keadaan dengan segera.
Sementara itu, Han Airin berjalan secepat mungkin menerobos kegelapan malam. Rumahnya cukup dekat dengan kantor.
Hujan deras tiba-tiba menerjang disertai suara guntur dan kilatan petir. Suasana sangat mengerikan. Orang-orang meringkuk di rumah, juga berusaha mencari tempat berlindung. Badai besar melanda Korea. Badai yang tak terprediksi.
Airin basah kuyup. Dia mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai di rumah. Sampai di depan gerbang rumahnya, Airin mendongak menatap langit. Entah bagaimana dalam kepekatan malam badai itu, dia masih bisa menyaksikan bagaimana purnama perlahan tenggelam dalam cengkraman gerhana.
Sesaat Airin terjebak dalam pikiran tentang ucapan pendeta, tapi dia mengabaikannya dan berlari menuju rumahnya. Sampai di dekat tangga, Airin kembali menjeda langkahnya. Hujan terus mengguyur tubuhnya.
Sesaat Airin menaiki tangga dengan tergesa. Akan tetapi, tepat di tangga teratas, kaki Airin tergelincir, tubuhnya jatuh terguling di tangga.
Jeritan Airin teredam suara hujan badai yang terus menghantam Korea.
"Ibu, Ayah ...." Airin berucap lirih. Mungkin inilah caranya untuk mati. Airin pasrah. Dia memejamkan matanya, sampai tubuhnya terhempas dan terguling. Darah menetes dari kepalanya. Tubuhnya melemah. Kesadarannya menghilang perlahan. Sebelum dia terkapar tak bergerak, Airin masih bisa menangkap sesosok bayangan pria menatapnya. Pria yang tergambar samar. Entah dia mengenalnya atau tidak.
***
Suara burung berkicau menyambut pagi yang cerah. Seorang gadis masih meringkuk di balik selimut sutranya yang tebal dan hangat.
Seorang pelayan masuk membawa baskom berisi air hangat dan sepotong kain putih yang tersampir di tepian baskom. Setelah pelayan itu masuk, pintu kamar kembali ditutup dengan pelan agar tak mengganggu sang penghuni kamar agar tidurnya tak terganggu.
Pelayan meletakkan baskom dengan sangat hati-hati. Lalu dia bergerak pelan menyentuh kening majikannya. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia sedang berpikir.
"Sepertinya nona sudah baik-baik saja." Dia bergumam pelan. Melihat ada pergerakan dari nonanya, pelayan itu menyingkir, lalu bersimpuh sedikit jauh dari temoat tidur sang majikan.
Gadis di balik selimut bergerak, lalu membuka mata dengan pelan. Pelayan itu sangat bahagia. Dia merangkak mendekati majikannya sambil berteriak bahagia.
"Tuan muda ... Anda sudah sadar ...."
Gadis di balik selimut menoleh kepada pelayan itu dengan raut wajah terkejut dan kebingungan.
"Si-siapa kau?"