Hujan mengguyur makin deras. Se Hwa menatap ke luar menyaksikan titik-titik hujan yang membasahi halaman kuli. Pohon-pohon menunduk kedinginan dalam pelukan malam yang basah dan dingin. Se Hwa mendongak ketika petir manyambar. Seberkas cahaya tergambar di udara, lalu menghilang begitu saja dan disusul kilatan-kilatan lainnya.
Se Hwa memeluk dirinya sendiri ketika angin malam yang dingin menyapanya. Dia mengusap-usap kedua lengannya.
"Sepertinya hujan itu akan lama, sebaiknya kau masuk dan tidur di dalam." Seseorang bicara kepada wanita itu.
Se Hwa menoleh dan memberi hormat kepada seorang pendeta yang mendekatinya. "Tidak apa-apa, Guru, saya di sini saja."
"Malam yang dingin seperti ini tidak baik untuk wanita hamil. Kau akan sakit."
Se Hwa sedikit terkejut karena pendeta itu mengetahui keadaannya. "Bagaimana Anda ...."
Pendeta itu tersenyum. "Ayo, masuklah dan jangan banyak berpikir. Kuil ini juga memiliki tempat tidur untuk pengelana. Kau akan aman di sana."
Se Hwa tak dapat menolak. Dia pun mengikuti langkah sang pendeta masuk ke kuil. Pendeta itu mengantarnya ke salah satu ruangan. Dia menyerahkan pembaringan yang bisa digelar di lantai. Se Hwa menerimanya dan sangat berterima kasih.
Wanita itu bermaksud merebahkan diri di pembaringan ketika pendeta kembali datang dan membawakannya beberapa jeruk yang tersusun di atas tempat buah. "Makanlah ini. Buah-buahan ini bagus untuk kesehatanmu dan bayimu."
"Terima kasih, Pendeta," ucap Se Hwa. "Pendeta, bolehkah saya bertanyya sesuatu?"
"Katakan. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apa Pendeta kenal dengan Pendeta Tao Tze Tan?"
"Guru Tao? Semua orang juga pasti mengenal beliau. Tapi, beliau sangat jarang kelihatan. Beliau tidak pernah tinggal diam di satu tempat, beliau akan datang bila beliau berkenhendak."
Se Hwa mengangguk mengerti.
"Apa ada hal penting sampai kau mencari Pendeta Tao? Kalau suatu saat beliau datang, akan aku sampaikan kau mencarinya. Dan, akan kuminta beliau untuk mengunjungimu di istana."
"Kau tau siapa aku?"
Pendeta itu hanya tersenyum. "Fokuslah kepada tujuanmu jika kau ingin kembali ke jamanmu," ucapnya sebelum meninggalkan Se Hwa yang masih tercengang karena pendeta itu tahu cukup banyak hal tentangnya.
Pendeta itu tersenyum, lalu menutup pintu geser dari luar. Dia berjalan menjauhi kamar Se Hwa, lalu berubah menjadi seorang nenek yang membawa tongkat. Nenek itu terus berjalan, kemudian berubah menjadi kupu-kupu keemasan dan terbang menerobos hujan menuju angkasa.
Se Hwa tertidur pulas setelah memakan beberapa buah jeruk. Rasanya sudah lama dia tidak tidur setenang itu. Pikirannya terus tebabani akan hal-hal yang tak seharusnya. Mimpi indah pun menyapanya. Mimpi dia dan Jeong Guk bersama juga dua bayinya yang terlahir sehat dengan telinga rubahnya. Sesaat dalam mimpinya, Se Hwa teringat film anime yang suka dia tonton ketika masih kecil. Film Inuyasa yang menceritakan tentang kehidupan seekor siluman anjing.
Saking lelapnya wanita itu tidur, dia tak menyadari kalau hujan telah berhenti dan hari telah berganti pagi. Burung-buurung berkicau di dahan pohon. Matahari bersinar cerah. Aroma petrikor menyapa indra penciuma orang-orang yang menggeliat setelah membuka mata. Ibu kota mulai sibuk lagi.
Orang-orang sudah berangkat bekerja dan mengais rejeki untuk mengidupi keluarga. Pedagang sudah menggelar dagangannya mengabaikan tanah yang masih basah akibat guuyuran hujan lebat tadi malam. Petani pun sudah berangkat kesawah, dan pencari kayu sudah pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar yang akan mereka jual ke pasar.
Se Hwa menggeliat bangurn. Dia menguap beberapa kali, lalu membuka jendela. Matahari menyapanya diikuti aroma segar dari tanah yang masih basah. Se Hwa tersenyum. "Selamat pagi dunia," ucapnya. "Aku menunggu keajaiban untuk bisa kembali menjadi Han Airin. Setelah itu aku berjanji akan tetap memakai jimat pemberian pendeta." Wanita itu bergumam dengan penuh penyesalan. Dia mulai berpikir kalau semua kata-kata ibunya tentang jimat itu benar adanya. Ayahnya-lah yang salah. Namun, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Se Hwa tak bisa memutar waktu.
Se Hwa bejalan keluar kamar. Dia mencari pendeta semalam, tapi tak ditemukannya. Dia bahkan sudah menanyakan kepada pendeta lain tentang pendeta yang ditemuinya semalam, dan jawaban mereka sama. Tak ada yang tahu pendeta yang dimaksud. Se Hwa jadi sedikit merasa ngeri, tapi dia mengabaikannya. Bukankah pendeta itu tak menyakiitinya sama sekali.
Setelah mencuci wajah, Se Hwa pun pamit undur diri. Dia berjalan melewati pasar yang dipadati penduduk. Ada penjual dan pembeli yang sedang bertransaksi. Sebagian besar dari mereka tak mengenali Se Hwa karena dia menutupi dirinya dengan mantel. Seorang penjaja kue beras menawarkan makanannya. Seketika Se Hwa teringat akan kue beras yang dimakannya dan prajurit yang membawanya menuju ke pengasingan. Se Hwa pun bergegas meninggalkan tempat itu setelah menolak pedagang yang menawarinya bermacam-macam barang.
Se Hwa kembali ke kediamannya. Dia tak mendapati siapa pun di sana. Sepertinya Seo Yeon telah kembali ke tempatnya. Se Hwa segera membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Tujuannya setelah ini adalah menemui Min Ju dan membahas masalah semalam. Selain itu, dia harus mencari prajurit itu. Mereka tahu apa yang terjadi dan siapa yang sengaja meracuninya waktu itu.
Tepat ketika Se Hwa hendak keluar kamarnya, pelayan menyampaikan perihal kedatangan Min Ju. Se Hwa pun kembali duduk dan menunggu Min Ju masuk.
"Jadi, bagaimana?" Se Hwa langsung bertanya kepada Min Ju begitu pria itu menutup pintu dari dalam.
Min Ju duduk di dekat Se Hwa. "Sepertinya apa yang kita pikirkan semalam benar adanya. Yang menerima kiriman paket itu adalah Park Yuk Min, orang kepercayaan sekertaris Kim." Pria itu menerangkan dengan menggebu-gebu.
"Lalu, di mana Park Yuk Min? Aku tahu pria itu, tapi aku sudah lama tak melihat jejaknya. Apa dia sudah mati?"
"Tidak," jawab Min Ju. "Pria itu mengatakan kalau Park Yuk Min dikirim ke suatu tempat dan tak ada yang tahu itu di mana."
"Tapi, itu tak bisa menjadi bahan bikti untuk menangkap sekertaris. Kita harus mencari Park Yuk Min dan membuatnya bersaksi. Hanya dengan mengaitkan Park Yuk Min dengan sekertaris kerajaan bukan berarti sekertarit Kim benar-benar melakukannya. Sebab selain dengan sekertaris Kim, bisa saja Park Yuk Min juga menjadi kaki tangan orang lain"
Min Ju mengiakan. Tak ada keputusan yang bisa diambil dengan gegabah, mereka tahu itu. Semua orang diistana berpotensi menjadi penjahat.
"Lalu, bagaimana kasus ular itu? Bagaimana mungkin hanya permaisuri yang melihat ular itu, padahal di sana tidak ada apa-apa?" Se Hwa memang masih penasaran dengan keberadaan ular-ular itu. Hal lain yang paling membuat dia penasaran adalah ucapan Seo Yeon, bagaimana jika siluman itu telah memiliki kemampuan mengubah wujud jadi manusia dan tak ada yang bisa mengenalinya? Bagaimana jika siluman ular itu adalah ....
Permaisuri ....?