Airin berlari mengejar jadwal kereta cepat pagi ini. Dia harus segera sampai di Seoul. Tempat kerjanya di Ilsyan memutasikannya untuk tugas di Seoul mulai hari ini.
"Hati-hati, Airin!" Sang ibu berteriak histeris. Anaknya tak menggubris dan hanya melambaikan tangan sekilas sebelum tubuhnya hilang di balik pintu mobil.
"Hah, menyebalkan. Ini semua gara-gara ibu." Airin bergumam sambil membenahi posisi duduknya.
"Mau ke mana, Nona?" Supir taksi menoleh pada penumpangnya yang belum juga memberikan alamat tujuan.
"Ke stasiun, Paman. Aku harus mengejar kereta cepat agar segera sampai di Seoul."
"Oh, baiklah. Nyamankan tempat dudukmu, Nona. Mobil ini akan melesat seperti pesawat."
Airin terkekeh pelan. Selanjutnya mobil pun melesat cepat. Airin bersyukur karena bisa sampai di stasiun tepat waktu. Langkahnya cepat memasuki kereta yang melesat tiga menit kemudian. Hati Airin berdebar kencang. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Seoul.
Bertahun-tahun lalu dia selalu memimpikan Seoul, berharap tinggal di sana dan menjadi gadis metropolitan. Dia ingin lepas dari ibunya yang selalu mengekangnya pergi. Airin tak tahu apa alasan sang ibu melakukan itu. Untung saja ayahnya lebih terbuka dan tak menghubung-hubungkan semua kejadian dengan mitos dan kutukan.
"Akhirnya aku bisa melihat dunia luar," kata Airin. Langkahnya seringan kapas ketika dia keluar kereta setelah kerita tiba di peron kota Seoul dan berhenti di sana.
Anak kecil yang merengek minta di gendong mencuri perhatiannya. Sang ayah berusaha menenangkan putri kecilnya itu, tetapi anak itu tetap memaksa. Pada akhirnya, hati sang ayah kalah dengan rengekan manja itu.
Harusnya dulu, hati keluarganya juga kalah dengan rengekan manja seperti itu. Namun, hati mereka sekeras batu sehingga apa pun yang dilakukan Airin tak akan mengubah keadaan.
Hari ini semua berubah. Alam membantu Airin lepas kandang. Perushaan memintanya untuk melanglang buana. Dengan menginjakkan kaki di Seoul, Airin memulai langkah pertamanya.
Airin kembali celingukan. Vending mesin sekitar sepuluh langkah dari tempatnya mencuri perhatian. Airin mendekat. Dengan lincah tangannya memasukkan koin dan memilih sekaleng minuman soda, kemudian Airin kembali diam. Seseorang yang harusnya datang menjemput masih belum terlihat.
Kembali Airin melangkah sambil memerhatikan sekitar. Pasangan muda-mudi bercengkrama mesra. Airin membuang muka. Ada rasa iri dalam dadanya. Sudah dua puluh lima tahun Airin belum pernah merasakan bagaimana jatuh cinta. Dia terlalu kaku dalam urusan cinta.
Airin meneguk seluruh minumannya. Ketika akan membuang kaleng minuman ke tong sampah, Airin melihat seseorang celingukan membawa papan bertuliskan namanya.
"Anyeoung," kata Airin saat mendekat. Pria itu menoleh.
"Selamat pagi, dengan nona Airin?" katanya. Airin mengangguk. "Syukurlah. Maafkan saya terlambat. Saya tau apa pun tak pantas saya ucapkan untuk menjadi alasan pembenar, tapi keadaan benar-benar mambuat saya terlambat."
"Tak apa-apa," kata Airin. Dia melangkah meninggalkan pria itu. Pria yang menjemputnya menyusul dari belakang.
Airin duduk di depan bersebelahan dengan pria tadi. Dia bernama Namu. Umur Namu mungkin sama dengan ayah Airin. Beberapa uban sudah terlihat di rambutnya. Kendati demikian, dia masih terlihat sangat gesit melajukan kendaraannya.
"Saya akan mengantar anda ke rumah dulu, Nona Airin. Baru setelah itu pergi ke kantor."
"Tidak usah. Aku sudah terlambat. Antarkan saja aku ke kantor, baru kau bawa barang-barangku ke rumah."
"Baik," kata Namu patuh.
Airin sosok yang tegas. Di Ilsyan banyak yang tak menyukainya. Dia kurang pandai bergaul. Pribadinya yang keras membuat banyak orang ingin dia dimutasi. Airin tahu itu, tapi dia tak peduli. Baginya hanya kebahagiaannya. Asalkan dia senang, peduli apa dengan yang lain.
Namu sudah mendengar rumor itu karena itukah dia memilih diam dan mengiyakan saat Airin berkata seperti tadi. Dia tak ingin Airin kesal dan memarahinya.
Hampir satu jam perjalanan, mobil itu pun berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit. Airin mendongak. Jadi di sinilah dia akan berkerja, pikirnya.
"Silakan, Nona." Namu mengantarnya memasuki gedung.
Airin melihat jam tangan dan mendapati dirinya terlambat lima menit dari waktu yang diperkirakan. Ini semua gara-gara Namu. Dia menatap tajam pria itu. Hatinya ingin menghukum, tapi mengingat dia harus buru-buru, jadi Airin menahan kesalnya dan segera berlari meninggalkan sang supir kantor.
"Bawa saja pakaianku ke rumah," perintahnya sebelum menghilang di balik pintu lift. Dia harus segera menemui pimpinan sebelum terlibat meeting yang dijadwalkan pagi ini.
"Ini semua gara-gara ibu," kata Airin. Matanya menatap kelip-kelip lampu lift yang bergerak naik. Bahkan lift kapsul itu dia anggap terlalu lambat. Seorang pria melihat tingkah Airin yang gelisah. Dia mengerutkan dahi. Perempuan itu terasa asing baginya.
"Anda orang baru, ya?"
Airin menoleh. Dahinya berkerut menatap pria asing di sebelahnya. Penampilan pria itu cukup mengesankan. Tubuh proporsional, dengan jas hitam dan celana hitam membalut tubuhnya. Rambutnya disisir dengan rapi. Aroma maskulin menguar dari dirinya dan Airin baru menyadarinya.
"Kenalkan, aku Jinseok. Kim Jinseok." Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum manis menghias wajahnya. "Aku bagian periklanan."
"Ah, iya. Aku Airin, Han Airin."
"Senang bertemu dengan Anda, Nona Han."
Airin mengabaikan ucapan pria itu. Dia memilih menatap kembali lampu lift yang masih berkedip.
"Lift-nya tak akan berubah cepat meski kau menatapnya terus menerus. Santai saja."
Airin mendelik. Sementara pria di sebelahnya malah tersenyum semakin lebar. Pintu lift berdenting. Jinseok mengayun kaki. "Ayo, kita sudah sampai," katanya.
Airin melirik angka yang menunjukkan kalau lift itu berhenti di tempat yang benar, barulah melangkah mengikuti Jinseok. Awalnya dia pikir pria itu sudah meninggalkannya, tapi dia salah. Jinseok masih menunggunya.
"Kau yang akan memimpin meeting kali ini?" Jinseok berusaha berjalan sejajar dengan Airin.
"Bagaimana kau bisa tau?"
"Semua orang juga tau. Gosipnya sudah terdengar sejak seminggu lalu kalau divisi marketing akan diambil alih oleh Han Airin, dari Ilsyan. Seorang gadis berprestasi yang mampu mengangkat cabang Ilsyan dari kebangkrutan."
Dalam hati Airin tersenyum bangga saat mendengar sanjungan dari Jinseok. Dia merasa semua itu akan memudahkannya mengintimidasi lawan yang ingin main-main dengannya. Dengan segera dia akan merombak semua yang ada di team marketing. Dia akan menjadi sosok yang sama terhormatnya dengan sosoknya di Ilsyan. Sosok yang tegas, disiplin dan ditakuti.
"Ayo, kurasa dewan direksi sudah tak sabar menunggu kedatanganmu."
"Tunggu, sepertinya kau tau cukup banyak tentang yang terjadi di perusahaan ini. Siapa kau sebenarnya."
Jinseok kembali mengumbar senyum. "Kau akan tau nanti. Ikut saja."
Airin tak punya pilihan lain selain mengikuti pria itu. Sampai di depan ruang direksi, seorang gadis cantik menyambut kedatangan Jinseok. Pria itu hanya mengangguk, lalu mendorong pintu. Beberapa pria sudah ada di dalam. Mereka kompak berdiri saat melihat Jinseok masuk.
"Duduklah," kata Jinseok kepada Airin, juga kepada tiga orang pria yang ada di sana. Airin duduk tanpa melepas pandangan kepada Jinseok yang duduk berhadapan dengannya.
"Baiklah, maaf kami sedikit terlambat." Jinseok memecah kesunyian. "Kalian tentu sudah kenal siapa gadis yang bersamaku, kan?"
Semua orang menatap Airin. Kemudian mengangguk serempak. Airin merasa aura yang berbeda dari keberadaan Jinseok. Yang pasti dia bukan karyawan biasa. Itulah yang terus berputar di kepalanya. Bisa jadi Jinseok adalah presdir di tempat itu. Mungkin juga bukan karena tak ada yang memanggilnya demikian. Airin masih berusaha mempelajari situasi.
"Tentu saja kami tau." Seorang dari mereka bicara. "Bukankah Anda Nona Han Airin." Dia mengulurkan tangan. "Kenalkan aku Bong An. Jika butuh sesuatu kau bisa mencariku di HRD."
Rupanya dia pimpinan HRD, pikir Airin. Seorang pria dengan keriput di wajahnya. Umurnya pasti lebih tua dari ayahnya. Dia tampak berwibawa meski rambutnya telah mengalami kerontokan. Hanya saja senyum pria itu seperti senyuman pria tua m***m yang sedang mengincar mangsa. Airin mergidik melihat tatapan lapar dari pria itu.
"Aku Myeong Bae," kata pria yang duduk di sebelah Airin. "Aku manager lapangan. Kau bisa mengandalkanku kalau ada kesulitan nanti."
"Ah, terima kasih," kata Airin canggung karena pria itu lebih sopan dari yang dia perkirakan. Pria berkacamata itu terlihat pemalu, tapi nyatanya dia menjabat sebagai manager lapangan. Sebagai team marketing, Airin mungkin akan lebih banyak bekerjasama dengannya nanti.
"Dan, jangan lupakan aku. Aku Hansol salah satu rekanan bisnis Kim Group. Sebenarnya aku tak seharusnya ada di sini karena ini akan jadi rapat penting kalian. Tapi aku penasaran dengan Nona Han yang katanya begitu cantik dan cerdas."
"Sudahlah, Hansol." Jinseok bangkit dari tempat duduknya. "Karena kalian sudah berkenalan, sebaiknya kita mulai meetingnya hari ini." Jinseok menatap Airin. Wajahnya yang tadi ramah berubah dingin. "Nona Airin, perlu Anda ingat bahwa orang-orang yang ada di ruangan ini adalah orang yang paling berperan di Kim Group. Pendahulu mereka adalah pendiri Kim Group, jadi bisa dibilang, meski jabatan mereka hanya manager biasa, tapi mereka adalah pemilik perusahaan ini."
Selesai berkata demikian, Jinseok keluar meninggalkan orang-orang itu. Airin segera bangkit dan menyusulnya. Rupanya sebelum meeting dengan semua divisi, Jinseok memang sengaja ingin menunjukkan posisi Han Airin di perusahaan itu. Jinseok seakan-akan mematahkan sayapnya sebelum dia memulai kiprahnya di sana. Airin masih menahan diri dan tetap membaca situasi. Satu pertanyaan masih menggantung di hatinya. Siapa Jinseok?
Meeting dimulai. Semua pimpinan divisi ada di sana. Itu hanya meeting biasa untuk memperkenalkan Han Airin, juga melaporkan perkembangan perusahaan dan kondisi kantor pusat agar Airin bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Satu hal yang dia tahu kini adalah, kantor pusat sangat jauh berbeda dengan Ilysan. Ada banyak wajah-wajah baru yang sepertinya menyimpan hal-hal munafik di hati mereka. Ucapab-ucapan mereka di meeting serasa seperti sampah. Seperti anjing yang berlomba saling menjilat majikannya. Airin benci itu.
Meeting selesai setelah dua jam, Airin merapikan berkas-berkas yang dia bawa. Semua berkas terkait perkembangan Ilsyan di tangannya. Saat semua sudah beres dan dia ingin keluar menyusul yang lain. Jinseok malah menahan tangannya.
"Ada apa?" Airin sedikit berang melihat keakuan Jinseok yang kurang ajar.
"Jangan coba-coba mencari muka di depan Hansol."
Airin terperangah. Apa maksudnya pria itu. Bukan salah dia jika Hansol terus-menerus menatapnya saat meeting tadi. Memangnya siapa pria itu hingga merasa berhak mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan olehnya.
Airin menghempaskan tangan Jinseok, dia ingin melawan, tapi sesuatu terjadi membuatnya bungkam ....