Part 5

1482 Words
Airin mengusap kembali bibirnya guna menghapus bekas bibir Jinseok. Tadi pria itu telah melecehkannya dengan mencium bibirnya secara paksa. Airin terlambat menghindar karena tak menyangka pria sialan itu akan berani berbuat seperti itu di hari pertamanya ada di kantor pusat. Entah sudah berapa lama Airin mengurung diri di kamar mandi. Sungguh perlakuan Jinseok sangat melukai hatinya. Selama ini dia bahkan belum pernah berpacaran. Sementara, pria itu telah dengan lancang mengambil ciuman pertamanya. Han Airin menitikkan air mata. Saat berusaha menenangkan diri, dering telepon menyapanya. Itu dari sang ibu. "Airin, bagaimana, Nak. Kau sudah sampai?" Suara ibunya yang lembut membuat Airin kembali menitikkan air mata. Dia terlalu sering melawan wanita itu. "Nak, kau masih pakai jimatmu, kan? Itu jimat pelindung yang akan melindungimu dari bahaya." "Masih, Ibu." Airin mencoba menjawab dengan nada setenang mungkin. Dia tak ingin sang ibu mengetahui kejadian apa yang dialaminya. "Bagus, Nak. Di Ilsyan kau punya ibu dan ayah yang akan selalu melindungimu, tapi di Seoul kau tak punya siapa-siapa. Jadi harapanmu hanya kalung pemberian pak pendeta. Itu kalung yang diberkati. Tak akan ada hal buruk yang menimpamu selama kau memakai kalung itu." "Iya, Ibu. Baiklah kita bicara lagi nanti." Airin menutup telepon. Dia mendesah lelah mendengar ocehan ibunya. Pada kenyataannya, kalung yang katanya jimat pelindung itu, tak bisa melindunginya dari tindakan asusila Jinseok. Dia bahkan tak tahu harus melaporkan tindak pelecehan itu ke mana. Di Seoul ini dia sendiri dan baru sampai beberapa saat yang lalu. Airin mematung di depan cermin. Tangannya membuka kancing teratas baju kerjanya, lalu meraba kalung hitam pemberin pendeta. "Memberi perlindungan? Perlindungan seperti apa? Gara-gara kalung sialan seperti ini aku tak memiliki teman, ayah dan ibu juga selalu bertengkar. Lihatlah hari ini aku pun dilecehkan orang. Lalu benda ini, apa yang dilakukan benda ini? Benda ini melindungiku dari mana?" Airin sangat kesal. Dia menarik jimat itu dari lehernya, lalu membuangnya di tong sampah. "Sampah sudah sepatutnya ada di tempat sampah," katanya, lalu pergi dari sana. Airin berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Dia duduk di belakang meja kerja dalam kubikelnya.  Setumpuk laporan ada di sana untuk dipelajarinya. "Han Airin-sii." Airin menoleh pada seorang gadis yang mendekatinya. "Ibu Wang Li ingin kau mempelajari berkas ini. Ada beberapa klien yang harus kau temui untuk membahas proyek di Busan." "Maksudmu Busan Festival bulan depan?" Airin memastikan. "Iya. Kau pelajari saja dulu rancangab acaranya, lalu berikan ide-ide briliantmu." "Baiklah. Terima kasih, Seoyi Noona." Wanita itu mengangguk, lalu pergi kembali ke kubikelnya. Airin menatap berkas di tangannya ketika suara guntur tiba-tiba mengegelegar di luar sana. Langit tampak gelap gulita, padahal malam masih lama. "Apa akan ada badai?" Airin bergumam. Tangannya dengan cepat bergerak di atas layar ponsel untuk mencari tahu tentang prakiraan suaca hari ini, tapi dia tak menemukan apa pun. Beberapa detik berikutnya dia kembali dikejutkan dengan suara guntur diiringi petir yang menyambar. "Apa yang terjadi?" Beberapa karyawan berdiri di dekat jendela menatap Seoul yang berubah gelap. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Yang lain menimpali. Airin bangkit ketika suara televisi yang mengabarkan prakiraan cuaca terkini tertangkap rungunya. Dia berjalan mendekatai televisi itu. Kepanikan tampak terjadi di beberapa tempat. Rupanya keadaan itu tak hanya terjadi di Seoul, tapi di seluruh wilayah Korea Selatan. Suara telepon mengagetkan Airin. Nama ibunya berkedip-kedip di sana. "Airin, kau baik-baik saja, kan? Kalungmu masih kau pakai, kan? Airin, jawab ibu, Airin!" "Aku baik-baik saja, Bu, jangan khawatir," kata Airin, kemudian menutup telepon. "Kalung lagi kalung lagi." Airin mendesah lelah mengingat semua ucapan ibunya. Dia benar-benar bosan. "Apa kau merasa takut?" Gadis itu menoleh ke arah Jinseok yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. Pria itu tersenyum seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. "Jangan takut, semua akan baik-baik saja. Itu bukan badai. Hanya hujan ringan. Sebentar lagi juga gumpalan awan itu akan menghilang. Kembalilah bekerja." "Baik," kata Airin patuh. Dia meninggalkan Jinseok begitu saja. "Gadis yang manis." Jinseok bergumam, lalu kembali ke ruangannya. Airin melirik pria secara sembunyi-sembunyi. "Dasar pria gila!" Gadis itu bergidik. Jinseok memang tampan. Tingginya mungkin lebih dari 180 cm. Hidung mancung dengan rahangnya yang tegas. Jika tersenyum, pria itu terlihat sangat manis. Namun, tindakannya membuat Airin jijik. Dia b******n. Ya, b******n. Selain b******n, apa lagi nama lain bagi orang yang mencium orang yang baru saja dikenalnya. Kekesalan Airin kembali teralihkan ketika guntur kembali menggelegar. Akan tetapi, keadaan sudah tak segelap tadi. Gumpalan awan perlahan tersingkap dari arah utara. Di langit sana seolah tengah terjadi perang antara Dewa Guntur dan Dewa Matahari. Keduanya beradu kekuatan untuk saling mengalahkan dan menunjukkan eksistensi serta kekuasaannya pada dunia. Airin kembali tak peduli. Dia menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Perlahan suara gemuruh itu menghilang. Keadaan kembali tenang. Airin mendongak menatap jendela melalui sekat kubikelnya. Seoul kembali cerah seakan-akan perubahan cuaca tadi tak pernah terjadi. Airin melirik jam tangannya, lalu merapikan berkas di meja saat waktu memberitahunya untuk istirahat. Dia bermaksud pergi ke kantin ketika seorang pria berlari ke arahnya. "Airin-sii." Pria itu mengumbar senyum. "Syukurlah kau masih di sini. Kau belum makan, kan? Ayo, makan siang bersamaku." Airin menatap bingung. "Oh, ada apa dengan pria-pria di sini. Kenapa semua pria itu ingin mencariku." Airin bergumam dalam hati. "Hei, kenapa malah bengong?" "Ah, bukan apa-apa, Hansol-sii. Aku hanya sedang berpikir ingin makan apa siang ini." "Jangan pikirkan apa pun. Kau ikut saja denganku. Aku yang akan mentraktirmu. Lagipula kau belum mengenal Seoul, kan. Jadi ayo ikut denganku." Dengan terpaksa Airin mengikuti langkah Hansol. Baginya baik Jinseok maupun Hansol tak ada bedanya. Dua pria itu pastilah sama-sama b******n. Penampilan lugu Hansol lenyap ketika pria itu bicara. Tatap matanya yang tak pernah melepaskan Airin, seperti singa kelaparan yang siap menangkap mangsanya. Dalam hati Airin terpaksa menyembunyikan ketakutannya akan hasrat jahat yang mungkin dimiliki pria itu. Akan tetapi, Airian akan selalu waspada. Hansol membawa Airin menjauh dari kantor. Mobilnya melaju pelan sambil matanya mengawasi sekitar mencari restaurant tempat mereka berdua menghabiskan waktu makan siang. "Mmm ... bisakah kita makan di tempat yang dekat dengan kantor? Aku tak suka membuang waktuku." Hansol melirik Airin. "Rupanya gosip yang aku dengar itu benar, ya. Kau sangat tegas dan disiplin dengan waktu. Aku suka gadis sepertimu." "Tapi kau bukan tipeku." Ucapan Airin membuat Hansol terbahak. Kembali Hansol mengalihkan pandangan menatap jalanan. Setelah dirasa cukup aman, dia pun membawa mobil itu ke seberang dan masuk ke parkiran sebuah restaurant. "Jangan buru-buru berkata seperti itu." Hansol mematikan mesin kendaraannya. Dia menatap Airin sebelum kembali bicara, "karena bisa saja kau jatuh cinta setelah kita usai makan siang." Airin mencibir. Segera dia melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil. Hansol menyusulnya. Tak lama mereka berdua tampak menikmati makan siangnya dengan lahap. Sesekali Hansol melirik pada sosok cantik di depannya. Rasanya sudah lama sekali dia tak merasakan debaran dalam dadanya saat berhadapan dengan perempuan. Mereka berdua begitu lahap, hingga tak menyadari kalau sejak tadi ada yang mengintai keberadaan keduanya. Airin mengambil minuman diet di sebelahnya, kemudian meneguk hingga tinggal setengah bagian. Sesaat dia terdiam mendengarkan apa yang dibicaraka orang-orang di belakangnya. Rupanya pelanggan restaurant itu tengah membahas badai yang tadi hampir menerjang Korea Selatan. "Itu seperti sebuah kutukan," kata seorang ibu bertubuh gempal. "Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi aku yakin itu kutukan yang akan melanda negara kita." Ibu itu tampak bersemangat, tapi yang diajaknya bicara terlihat tak tertarik. Airin tersenyum tipis mendengar bagaimana ibu itu berbicara dengan menggebu, sedang temannya menanggapi dengan enggan. Ibu penggosip itu membuat Airin ingat kepada ibunya. Dia terkekeh-kekeh pelan. "Ada apa?" Hansol memergokinya. "Ah, bukan apa-apa," sahut Airin. "Aku tanpa sengaja mendengar pendapat ibu itu tentang kejadian tadi." Hansol memperhatikan apa yang dikatakan Airin, kemudian turut menguping pembicaraan ibu-ibu yang dimaksud Airin. "Lalu, bagaimana menurutmu?" "Bagaimana apanya?" "Pendapatmu." "Aku tak harus percaya juga apa yg mereka obrolkan, bukan? Apa aku harus percaya kalau itu kutukan gumiho?" Hansol tertawa pelan, lalu menatap keluar jendela. Posisi duduk mereka yang dekat dengan jendela memungkinnya menatap taman belakang restaurant itu. "Bagaimana kalau itu benar?" Airin tak bisa menahan gelak tawanya. Bahkan, pria berpendidikan dan pengusaha seperti Hansol mempercayai hal konyol seperti itu. "Jangan tertawa dulu, kau akan tercenung mendengar ceritaku." "Sudahlah, Hansol-sii. Aku sudah bosan mendengar kisah gumiho dan segala hal membosankan lainnya tentang makhluk hayalan itu. Lebih baik kita sudahi makan siang ini dan kembali ke kantor. Pekerjaanku masih sangat banyak." Airin berdiri terlebih dahulu. Hansol hanya bisa menggeleng melihat gadis itu menjauh. Dia merogoh saku celananya. Sebuah jimat dengan benang hitam ada di genggamannya. "Kau akan menyesal karena telah membuang ini." Hansol kembali menatap ke arah taman. Tadi seorang cleaning service memberikan jimat itu kepadanya. "Setelah bertahun-tahun berlalu, kupikir semua akan baik-baik saja. Tapi, rupanya takdir tetap mencari jalannya sendiri untuk kembali. Kau harus berhati-hati Han Airin." Hansol pun memasukkan kembali jimat itu ke saku celananya. Barulah setelah itu, dia menyusul Airin menuju parkiran. Mereka pun kembali ke kantor dalam keheningan. Airin tak hendak memulai percakapan. Begitupun Hansol yang memilih bungkam. Sementara, di belakang mereka sebuah mobil berwarna hitam metalik mengikuti. Ada kilat kemarahan yang terpancar dalam ekspresi sang supir ketika melihat Hansol dan Airin bersama-sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD