Part 3

1350 Words
Ceonsa merasa sangat kesal. Perdebatan panjang tercipta di antara dirinya dan Seo Rie. Masalah jimat itu masih menjadi topik utamanya. Seo Rie tetap bersikeras untuk menghancurkan jimat dari pendeta, sedangkan Ceonsa terus mempertahankan jimat itu. Jadilah dari hari ke hari mereka selalu berdebat. Beruntung ibu mertua Ceonsa ada di rumah itu untuk membelanya sehingga lama-lama, meski Seo Rie tak terima, dia membiarkan saja jimat itu terpasang di leher Airin. Seiring berjalannya waktu, Airin jadi gadis kecil sehat. Dia juga jadi anak yang cerdas dan selalu disanjung guru-guru di sekolahnya. Airin kecil yang sudah menginjak kelas dua sekolah dasar memberi kebahagiaan yang luar biasa pada keluarga Han. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Han Airin berlari kecil di lapangan sekolahnya. Dia sedang mendapat pelajaran olahraga. Awalnya Airin memimpin di depan, tapi sesuatu mengganggunya. Dia menurunkan kecepatan larinya. Pandangannya kini terfokus ke arah pohon sakura yang berdaun lebat. Bahkan tanpa sadar kakinya mengarah ke sana. Dia berlari ke arah yang berbeda dengan teman-temannya. Ketika tubuh mungilnya makin mendekati pohon sakura itu seseorang menarik tubuhnya. "Airin, apa yang kau lakukan di sini? Teman-temanmu lari ke sana, kenapa kau lari ke sini?" Airin menoleh pada sosok guru walinya. Bu guru Dong Hae menatapnya penuh tanya. "Aku, tadi di sana ada tupai," ucap Airin polos. "Tupai yang sangat cantik." "Tupai?" Bu guru Dong Hae mengerutkan dahi. Dia mengalihkan tatapan memandangi pohon sakura di depannya. Tak ada apa pun di sana. Selama ini tak ada yang pernah melihat tupai di tempat itu. Sesaat dia menoleh kembali kepada Airin, kemudian mengajak anak itu menjauhi pohon sakura. "Ayo, tak ada apa pun di sana. Tupainya mungkin sudah lari, jadi kau pun harus lari menyusul teman-temanmu." Airin masih menoleh ke arah sakura, tapi tak membantah ucapan gurunya. Dia pun berlari menyusul teman-temannya. Mereka semua hampir berhasil menyelesaikan larinya. Bahkan beberapa sudah beristirahat dengan duduk-duduk di pinggir lapangan.  Dia tertinggal jauh di belakang bersama Dong Hae gurunya. "Kenapa tadi kau lari ke pohon itu?" tanya Hyemi temannya.  Airin menjatuhkan dirinya, duduk di dekat Hyemi, kemudian mengambil botol air dari tasnya. Setelah meneguk sebagian air mineralnya barulah dia berucap, "Aku lihat di sana ada tupai putih yang sangat cantik." "Tupai putih?" Hyemi mengerutkan kening. Namun, sesaat kemudian matanya berbinar. "Aku juga mau lihat. Ayo, kita ke sana!" serunya. Mereka pun bangkit dari tempat beristirahat, kemudian bersama-sama lari ke tempat pohon sakura itu. Namun, baru saja mereka berdua akan berlari ke tempat itu, guru mereka memanggil dan menyuruh mereka untuk masuk ke kelas. Airin dan Hyemi mengangguk patuh. Ada perasaan kesal dalam hati mereka, tapi keduanya tak bisa membantah. Pelajaran sekolah pun berlanjut di dalam kelas. Sesekali, Airin memandang lepas ke luar jendela, menatap pohon sakura yang tampak indah dari kejauhan. Dalam hati dia berjanji akan mengunjungi tupai putih itu lagi. Hanya beberapa jam saja sampai kelas berakhir. Airin berlari menuju pohon sakura tadi. Dia sangat penasaran pada sosok putih lucu itu. Akan tetapi, cukup lama dia mengitari tempat itu, si tupai tak terlihat lagi. Pada akhirnya, Airin pulang dengan perasaan kesal. "Loh, Airin, kamu kenapa?" Ceonsa menatap buah hatinya yang cemberut kesal. "Aku jadi kehilangan dia," gerutu Airin. "Dia siapa?" "Tupai putihnya." Gadis kecil itu meletakkan sepatu di rak, lalu masuk ke rumah. Dia langsung menuju kamarnya. Kemudian meletakkan tas di meja belajar. Ceonsa duduk di tepi ranjang menunggu putrinya bercerita. Tak berapa lama, Airin duduk di dekatnya, masih dengan wajah tertekuk sempurna. "Kau lihat tupainya di mana, Airin?" tanya Ceonsa lagi, sambil mengusap kepala putrinya. "Di sekolah," sahut Airin sedih. "Tupai itu ada di pohon sakura. Dia sangat cantik dengan ekornya yang banyak." Saat mendengar kalimat itu, Airin tertegun. Dia teringat kejadian saat Airin masih bayi dan Seo Rie pernah berteriak soal gumiho. "Tapi kau tidak apa-apa, kan, Nak?" Ceonsa menatap lembut buah hatinya. Pikirannya berkecambuk. Sesaat dia memeriksa Airin, juga memastikan jimat pelindung itu masih ada bersamanya. Setiap malam ucapan pendeta Tao itu selalu menggema di telinganya. Bahwa saat Airin melepas jimatnya maka putrinya akan menghilang. Tentu saja Ceonsa tak ingin itu terjadi. "Aku tidak apa-apa, Ibu." Airin turun dari tempat duduknya. "Aku lapar." Sang ibu pun tersenyum. Dia mengajak Ceonsa untuk mengambil makanan di dapur. Dengan penuh kasih, Ceonsa menyiapkan kudapan untuk sang buah hati. Airin makan dengan lahap. "Ibu, aku mau bermain bersama Bella." Gadis kecil itu menyambar boneka, kemudian berlari keluar rumah. Dia telah menyelesaikan acara makannya. Sementara itu, Ceonsa menatap punggung putrinya yang menjauh dengan perasaan waswas. Sudah lama sekali sejak peristiwa pertama itu terjadi. Mendengar cerita Airin tadi, Ceonsa yakin kalau yang datang menemuinya adalah seekor gumiho, mungkin gumiho yang sama. Gegas dia masuk ke kamar mengganti bajunya, lalu pergi. Dia akan meminta pihak sekolah menebang pohon sakura itu. "Tapi maafkan kami, Nyonya. Kami tak bisa menebang pohon itu. Kepala sekolah terdahulu berpesan pada kami bahwa kami bisa menebang pohon yang mana saja di sekolah ini, asal jangan pohon sakura itu." "Tapi kenapa? Itu hanya pohon sakura," protes Ceonsa. "Maaf, Nyonya. Pohon sakura itu sangat berarti buat sekolah ini. Dahulu, seorang pendeta meramalkan sekolah ini akan hancur, tidak mendapatkan siswa, sampai kemudian pendiri sekolah ini mengikuti saran pendeta Tao itu dan menanam pohon sakura itu di sana." "Tapi ...." "Maaf, Nyonya. Anda terlalu berlebihan menanggapi apa yang dilihat Airin. Lagipula Airin belum tentu melihat apa yang dilihatnya. Gumiho hanya makhluk mitos dan Airin bisa saja hanya berhalusinasi. Terlebih Anda mengatakan kalau yang dilihat Airin itu tupai, lalu bagaimana Anda bisa menyimpulkan itu gumiho." Ekspresi wajah Ceonsa mengetat. Dia sangat marah. Ditambah cerita tentang sakura itu membuatnya semakin kesal. Setelah mendengar apa yang dikatakan kepala sekolah itu, dia merasa ada kekuatan sihir di sana. Mungkin dia harus membuat petisi agar sekolah itu dibubarkan atau paling tidak agar pohon sakura yang mengundang misteri itu berhasil ditebang. Namun, setelah dipikirkan lagi, Ceonsa hanya bisa menghela napas. Dia bukan orang yang memiliki power di bidang itu. Dia dan suaminya hanya masyarakat biasa dengan pekerjaan biasa yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kalau untuk mengumpulkan masa rasanya itu terlalu jauh dari jangkauannya. Sekolah itu pun selalu memiliki reputasi yang baik. Tak pernah ada gosip miring atau murid yang mendapat celaka di sana. Jadi semua tuduhannya hanya akan dianggap bualan. Bisa-bisa dia di penjara dengan tuduhan mencemarkan nama baik sekolah. Ceonsa menarik napas berulang kali. Dia keluar dari ruangan kepala sekolah dengan kekecewaan dalam hati. Sesaat, Ceonsa menatap sakura yang sedang mekar di dekat lapangan sekolah. Kakinya mengayun ke tempat itu. Tak ada apa pun di sana, selain pohon yang tampak sangat cantik. "Tak ada apa pun di sini," gumamnya pada diri sendiri. "Sepertinya kepala sekolah benar. Aku mungkin terlalu berlebihan." Wanita itu masih memandangi pohon sakura. Dia kembali berpikir tentang banyak hal. "Kurasa aku harus memindahkan Airin ke sekolah lain," putusnya kemudian. Dia menyentuh batang pohon sakura itu sembari bicara, "Maafkan aku telah berpikiran buruk untuk menebangmu, sekarang aku tak akan melakukannya lagi. Tapi, siapa pun kau yang ada di pohon ini, jangan ganggu putriku lagi. Aku akan membawa putriku pergi jauh dari sini. Kita tak punya hubungan, jadi lepaskan putriku." Setelah bicara demikian, Ceonsa meninggakan tempat itu. Baru beberapa meter Ceonsa melangkah, sebuah bayangan putih berbulu dengan ekor sembilannya keluar dari sela-sela rimbunnya bunga sakura. Dia bersembunyi di antara rerimbunan. Matanya menatap Ceonsa. Sesekali dia mendesis dengan mata yang memerah. Ada kemarahan di wajahnya. Ceonsa terus menjauh tanpa menoleh lagi. Pikirannya melayang jauh, tentang apa yang harus dia lakukan terhadap rumahnya yang sekarang, lalu di mana dia akan tinggal setelah itu. Apakah jika dia mengaka Seo Rie pergi ke Seoul dia bisa mendapat pekerjaan dengan mudah? Ah, dia harus melakukan apa pun demi putrinya. Di Seoul nanti dia bisa bekerja serabutan. Apa saja yang penting menghasilkan uang untuk makan dan biaya sekolahnya. Dia dan Seo Rie akan bekerja keras untuk itu. Uang jaminan penjualan rumahnya bisa dia gunakan untuk menyewa sebuah apartement sederhana. Ceonsa sangat puas dengan keputusannya. Setelah itu, dia akan membicarakan semuanya dengan Seo Rie, juga mengurus kepindahan putrinya sesegera mungkin. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang pasti saat ini, Ceonsa akan melindungi buah hatinya dengan segala cara. Jangankan dari gumiho, bahkan Ceonsa akan menyelamatkan putrinya dari dewa kematian sekalipun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD