Part 58

1084 Words
Dokter Rosa menyandarkan dirinya di sandaran kursi. Data terbaru menunjukkan ada pembuluh arteri yang sedikit mengalami penyumbatan sehingga darah yang menuju otak tak bisa dialirkan secara maksimal. Jadi, kemungkinan terbesar kenapa Airin belum juga sadar adalah hal itu. Aneurisme itu kemungkinan bisa terjadi ketika oprasi pertama dilakukan. Terdapat gelembung udara pada arteri yang mengalirkan darah ke otak. Gelembung itu mungkin sangat kecil, tapi jika itu terus berlangsung akan berakibat fatal. Lambat laun pembuluh darah bisa pecah. Rapat dokter pagi tadi, membuatnya sedikit kesal. Pasalnya mereka terlalu ragu untuk melalukan oprasi ulang, padahal kondisi pasien sudah stabil. Dalam sebuah tindakan medis, faktor resiko jelas selalu ada. Seorang dokter harus mempertimbangkan resiko yang lebih besar atau kebutuhan yang lebih mendesak agar nyawa pasien bisa diselamatkan. Hal terburuk dari sebuah operasi tentu saja kematian. Resiko berikutnya jika terjadi kegagalan, Airin mungkin akan lumpuh dan menjadi wanita yang ling-lung karena otaknya tak bisa bekerja dengan baik. Lalu, berita baiknya jika operasi itu berhasil, Airin bisa hidup normal lagi. Rosa harus bicarakan ini dengan keluarga Airin. Mereka harus tahu semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi, sebab segalanya akan kembali kepada mereka. Mereka harus bersiap dengan keadaan terburuk. Dokter Rosa mendorong kursinya dan bangkit dari tempat duduk. Dia memutuskan untuk ke kamar Airin dan melihat kondisi pasien yang jadi tanggung jawabnya. Di sana tak ada orang. Sepertinya Han Ceonsa belum datang. Rosa duduk di bangku di sebelah ranjang. "Kau tau, koma sebulan itu sudah tergolong lama, jadi jika kau punya keinginan untuk hidup, bangunlah." Rosa menatap pasiennya yang bergeming, diam. "Jika kau masih saja betah tidur, kau akan semakin kehilangan kesempatan untuk hidup, jadi sebaiknya kau bangun lebih cepat." "Sebulan?" Airin bertanya. Dia mengingat-ingat apa yang terjadi kepada dirinya. "Bagaimana bisa jadi sebulan? Bukankah harusnya sudah lima bulan?" Airin meraba perutnya. "Aku hamil bukan? Apa mereka tau kalau aku sedang hamil?" Airin memandang dokter cantik itu. "Hei, dokter. Ya! Dokter!" Ketika Airin bicara dokter itu malah bangun dari duduknya. "Ya! Ya! Dokter, jangan pergi! Dokter!" Kembali teriakan Airin hanya jadi angin lalu. Dokter itu melangkah dengan tak acuh. "Ya! Dokter gila! periksa rahimku! Aku hamil!" Hening .... Ruangan itu terlalu hening. Suara alat pendeteksi detak jantung pun sudah tak ada lagi karena alat itu sudah tidak terpasang di tubuhnya lagi. Airin terdiam. "Hamil, aku sedang hamil," pikirnya lagi. "Tidak, bukan aku, tapi wanita itu. Hwang Se Hwa. Wanita itu sedang hamil. Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi kepadanya? Apa dia mati? Apa karena itu aku kembali? Sialan! Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini." Gumaman Airin terhenti ketika dokter dan orang tuanya memasuki ruangan. Dokter menjelaskan kondisi pasien kepada ayah dan ibu Airin. "Ya, ya! Kau tidak boleh mengoprasiku lagi, atau aku akan mati. Tidak. Biarkan saja aku seperti ini, nanti aku bangun sendiri." Airin yang awalnya protes, kini terdiam mendengarkan kembali penjelasan dokter dan jawaban kedua orang tuanya. Wanita paruh baya itu menangis. "Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriku." Airin terenyuh melihat wanita itu selalu menangis jika bicara tentagnya. "Eomma, maafkan aku," ucapnya. "Appa ... aku mencintaimu, aku mencintai kalian berdua." Ingin rasanya Airin memeluk ayah dan ibunya. "Lakukan apa pun, Eomma, Appa. Aku akan hidup kembali, aku tak ingin mati seperti ini. Aku masih terlalu muda. Aku belum punya pacar. Aku pun ingin menikah dan bulan madu keluar negeri." Airin hanya bisa pasrah sekarang. Dia hanya bisa diam menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya dan dokter itu menyelesaikan kesepakatan dalam mengambil keputusan untuk hidupnya. Sekarang hidupnya tergantung operasi terakhir yang akan dilakukan oleh tim dokter rumah sakit itu. Kedua orang tua Airin dan dokter itu pun keluar ruangan. Kini kembali Airin di dalam sana merenung seorang diri. "Kesalahan apa yang aku perbuat hingga nasibku seperti ini?" gumamnya. "Yah, kalaupun aku akan mati sekarang, setidaknya aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya bercinta dengan seorang pria." Airin tersenyum. "Anggap saja pengalaman hidupku sudah lengkap." Dia kembali bergumam. *** Menunggu adalah hal yang paling membosankan dalam hidup. Setidaknya hal itulah yang dialami Airin saat ini. Dokter telah kembali melakukan rapat seusai orang tua pasien memberikan restu untuk operasi ulang. Airin harus menunggu dua hari untuk jadwal operasinya dan sekarang dia menunggu bagaimana tubuhnya akan kembali disayat menggunakan pisau operasi. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memotong bagian aneurisme untuk mencegah pendarahan makin menyebar. Mengingat kondisi Airin saat ini, tindakan ini sangat berbahanya. Karena itu, Airin berada di posisi 50-50 antara hidup dan matinya. Gadis itu mememjam pasrah tatkala team dokter bedah mulai menyayat kulitnya. Dia berharap bisa merasakan sakit, tapi rupanya tidak. Mungkin karena dokter telah membiusnya. Hanya saja jiwanya tak ikut terkena pengaruh obat bius. Jadi jiwanya masih bisa melihat bagaimana dokter melakukan tindakan atas dirinya. Sementara itu, di luar ruang operasi, kedua orang tua Airin saling berpelukan, saling menguatkan, sambil berdoa memohon keselamatan untuk putri mereka. Dokter bekerja dengan sungguh-sungguh. Mereka melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. "Celaka!" Dokter Rosa tekejut ketika terjadi pendarahan yang berlebihan. Tim dokter menegang, tapi mereka tetap berusaha untuk bersikap tenang. "Tekanan darah pasien menurun." Salah satu perawat memberikan laporannya. "Kita harus cepat, waktu kita tak banyak," kata Dokter Rosa setelah melirik waktu yang tertera. Mereka kembali terdiam dan terjebak dengan pekerjaan mereka. Darah memenuhi tangan sang dokter. Di sisi lain perawat memberikan laporan secara berkala mengenai detak jantung, tekanan darah, dan aliran pernapasan pasien. Bersyukur karena oprasi itu bisa segera berakhir. Mereka merasa sekarang semuanya sudah beras. Operasi berjalan lancar. Airin pasti akan sembuh. Namun, baru saja mereka merasa lega tiba-tiba hal lain terjadi, "Detak jantung pasien menurun!" Perawat memberikan laporannya. Dokter Rosa yang awalnya ingin mengganti pakaian pun menoleh dan melihat kondisi pasien. "Siapkan alat!" Perintahnya. Mereka pun menyiapkan alat pacu jantung. Sementara dokter sibuk bekerja untuk mengembalikan nyawanya, Airin kembali menangis. "Tidak, aku tak ingin mati, aku pasti sembuh, tidak, tidak, tidak." Perlahan wanita itu tak bisa lagi melihat bagaimana para dokter itu bekerja dan apa yang mereka lakukan terhadap tubuhnya. Dia merasa bahwa kematian telah menjemputnya. "Ibu, ibu, ibu, aku tak ingin mati, Eomaaa!" Dia terus menjerit, tapi suaranya kian jauh. "Wanita itu telah sadar!" "Benarkah? Dia sadar?!" Suara gaduh beberapa orang membuat Airin menggerakkan jari-jemarinya. "Aku masih hidup," pikirnya. Hatinya sangat gembira karena ternyata dia masih hidup dan kata mereka dirinya sudah sadar. Itu artinya dia akan sembuh. Hal baik pertama yang akan dilakukannya setelah membuka mata dalam memeluk ibunya, lalu dia akan mencari seorang kekasih dan menikah. Dengan tak sabar Airin membuka mata hendak memanggil ibunya. "E-eom ... ma," ucapnya terbata kala yang dia lihat bukanlah mamanya. "Sial! Sekarang aku terlempar ke mana?" tanyanya dalam hati sambil mengutuk nasibnya yang tak menentu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD