"E-eomma ...."
"Eomma! Eomma! Eomma!"
Airin mengerjap pelan ketika ada anak kecil yang menirukan kata-katanya. Anak itu menjerit-jerit sambil menjauh. Airin menatap sekitar.
Harusnya sekarang dia terbangun dan memeluk ibunya, tapi kenyataan yang ditemuinya tak seindah khayalan. Orang-orang yang dilihatnya sekarang bukan dokter atau suster, terlebih lagi orang tuanya. Mereka orang-orang yang mengenakan hanbok dan sebuah kamar yang dia yakini bukan kamar rumah sakit.
"Aih, sial! Sepertinya aku kembali ke kerajaan itu." Airin bergumam pelan.
"Jadi, dia benar-benar sudah sadar? Dia masih hidup?"
Seorang wanita datang sambil tergopoh-gopoh, lalu duduk di sebelahnya. Pria yanh sejak tadi duduk di ruangan itu bersama putranya pun mengangguk.
"Akhirnya dia siuman juga setelah hampir dua minggu tak sadarkan diri." Pria itu menghela napas setelah bicara. Dia pun bangkit dan pergi entah ke mana.
Airin merasa kesal. "Bagaimana bisa dua minggu? Bukannya baru tiga hari. Aku kembali ke tubuhku, tapi kondisiku masih koma, lalu dokter mengoprasiku, terjadi pendarahan dan sekarang aku mati. Mereka pasti sudah mengubur mayatku."
"Eomma ...." Anak kecil yang teriak-teriak tadi itu tampak ketakutan ketika melihat Airin mengomel, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. "Aku ... takut ... apa dia perempuan gila?" Anak kecil itu mengintip dari punggung ibunya.
Airin mendesis. "Ya! Aku bukan orang gila! Dasar stupid. Bocah bodoh!" Airin mengumpat dengan bahasa Inggris membuat ibu dan anak itu saling tatap bingung.
Airin bergerak ingin duduk, tapi tubuhnya terasa sakit semua. "Sial! Apa yang terjadi padaku?! Jika di sana aku sekarat, setidaknya biarkan aku hidup tenang di jaman ini."
Wanita itu terus saja mengoceh mengeluarkan unek-unek dalam dirinya. Dia tak tahu lagi harus melakukan apa. Dia sangat frustasi. Ibu dan anak itu perlahan bangun dari duduknya.
"Ayo, kita keluar dari sini. Biarkan Appa-mu yang merawatnya."
"Ne, Eomma," ucap anak kecil perempuan itu. Saat berjalan keluar kamar, sesekali dia melirik Airin.
"Ah, aku pasti sudah gila, aku tak mungkin kembali menjadi Hwang Se Hwa."Wanita itu terus saja mengoceh. Dengan sisa-sisa tenaga dia bangkit, lalu berjalan pelan meninggalkan ruangan itu.
Ibu dan anak yang tadi sibuk membersihkan beras. Airin mendekat dengan tertatih membuat mereka terkejut.
"Apa yang kalian buat?" tanya Airin saat ibu yang tak dikenalnya itu membantunya berjalan dan duduk di ranjang bambu.
"Kami sedang membuat minuman, Ahjumma ...." Anak kecil tadi menjawab.
"Minuman? Apa kalian membuat alkohol?"
"Iya, minuman kami sangat terkenal di desa ini."
"Oh, jadi larangan itu belum di terapkan, ya."
"Larangan?"
"Ah, lupakan saja," kata Airin pada akhirnya. Dia pun mengalihkan pandangan melihat sekitarnya. Rasanya tempat itu belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Dia ingin bangun, tapi kakinya terasa sakit.
"Ahjumma, kau mau mencoba minuman yang kami buat?" Gadis kecil itu menatap Airin dengan harapan agar Airin mengangguk mengiakan. Airin tersenyum, lalu mengangguk.
Si gadis kecil pun berlari masuk ke sebuah ruangan. Airin menunggu dengan sabar.
"Sepertinya anakku menyukaimu. Dia tak pernah bersikap seperti itu kepada orang asing."
"Benarkah?"
Ibu si gadis kecil mengangguk. "Saat kau belum sadar dia selalu menemanimu dan memeriksa apakah suhu tubuhmu menurun atau tetap hangat. Dia akan melaporkan setiap detail perubahan tubuhmu kepada kami."
"Dia anak yang cerdas," kata Airin.
Gadis kecil itu datang membawa gelas dan sebotol minuman. "Minumlah, Ahjumma."
"Terima kasih. Siapa namamu?"
"Jang Ge Eum."
"Nama yang cantik. Kelak kau akan jadi orang besar dan dikenal di seluruh Joseon. Namamu akan abadi dalam sejarah."
Anak itu menoleh ibunya. Dia masih saja merasa aneh dengan setiap perkataan Airin.
Airin pun tersenyum, lalu mengusap rambut anak itu. Dia mengerti jika Ga Eum tak mengerti apa yang dia katakan.
"Sudah, jangan pikirkan apa yang aku katakan tadi. Dengar, selagi aku ada di sini, akan aku ajarakan banyak hal untukmu agar kelak kau bisa mengabdi pad kerajaan Joseon dan membawa perubahan besar bagi Joseon."
Mendengar ada yang akan mengajarinya, Ga Eum sangat bahagia. Dia pun berlari menuju ibunya dan mengatakan semua itu. Padahal sejak tadi ibunya pun mendengar percakapan mereka.
Sejak saat itu, hari-hari Airin di sibukkan dengan membantu keluarga Jang dan mengajari Jang Ge Eum bekal ilmu yang dia dapat dari masa depan. Airin berusaha melupakan semua urusannya dengan keluarga kerajaan. Dia tak mau lagi kembali ke tempat itu.
Suatu malam, Airin duduk di kamarnya sambil menatap ke luar jendela. Burung-burung bernyanyi dan saling bersahutan. Airin teringat akan masa-masanya ketika menjadi Hwang Se Hwa. "Selesaikan tugasmu, maka kau bisa kembali ke jamanmu." Kata-kata nenek yang tak dikenalnya seperti berdengung di kepalanya.
"Tugasku ...." Airin bergumam. "Tugasku adalah membongkar kejahatan orang-orang penting di istana. Juga, membunuh permaisuri yang sejatinya seekor ular yang menyamar. Itu sama saja dengan bunuh diri. Joseon akan selamanya seperti itu, saling tikam di antara orang dalam kerajaan. Bukankah Joseon akan runtuh karena perebutan kekuasaan." Airin bergumam.
Kasus pemukulan terhadapnya waktu itu, telah mengembalikan ingatannya. Sekarang dia tahu siapa yang menjadi dalang penyebaran racun itu karena dia sendiri terlibat di dalamnya. Pada awalnya racun itu ditujukan kepada raja, agar tampuk kekuasaan segera berpindah kepada San. Namun, entah bagaimana semua bisa berubah. Mungkinkah karena dia tiba-tiba menjadi Se Hwa yang berbeda?
Airin menghela napas. "Jika aku berhasil menyelesaikan kasus ini, apa aku benar-benar akan kembali? Apa yang terjadi pada oprasiku? Apa berhasil? Atau gagal? Kalau di sana aku sudah mati, lalu bagaimana aku bisa kembali menjadi Airin?"
Wanita itu terus merenung. "Lalu, kalau aku kembali ke tubuhku, bagaimana dengan wanita bernama Se Hwa ini? Apa dia sejatinya sudah mati?"
"Aish, ini bisa membuatku gila!" Airin memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Ya! Ya! Jangan kau lakukan itu, kenapa kau pukul kepalamu?!"
Airin sangat terkejut mendengar suara itu. Dia pun menoleh ke arah pintu dan mendapati seseroang yang bergerak cepat ke arahnya, lalu memeluknya dengan erat.
"San ...." Airin berucap lirih. Pria ini, apa dia benar-benar mencintaiku? Apa dia akan tetap mencintaiku jika tahu aku telah hamil anak Jeong Guk.
"Mianatha ...," bisik pangeran dalam tangisnya.
Airin pun hanya bisa diam membeku. Dia bisa merasakan bagaimana pria itu merasa bersalah akan apa yang terjadi dan menimpanya, padahal San tak tahu apa-apa. Hati dan perasaan Airin mulai bimbang. Kesetiaan cintanya kepada Jeong Guk benar-benar sedang diuji. Di sisi lain Jeong Guk menghilang, sedang di sisi yang berbeda San selalu menunjukkan betapa tulusnya cinta yang dia punya untuk Se Hwa. Kebimbangan menyerang wanita itu membuatnya memilih diam dan tak menjawab apa yang dikatakan San. Dia hanya membiarkan pria itu memeluknya untuk mengeluarkan emosional yang tertahan dalam dirinya selama ini.