Part 57

1050 Words
Pangeran berdiri di dekat jendela, menatap pada rembulan yang tengah bercengkrama dengan bintang di dekatnya. Belakangan ada banyak hal yang selalu menggedor-gedor pikirannya, berusaha untuk masuk dan terus merongrong ketenangan batinnya. Permaisurinya sudah membaik. Ramuan yang diberikan tabib lumayan membantunya menahan rasa sakit, tapi bukan itu masalah utama yang jadi beban pikirannya, melainkan Hwang Se Hwa. Apa yang dilakukan Se Hwa sangat mengganggunya. Dia tahu selama ini Se Hwa berusaha menyelidiki kasus wabah dan tragedi yang terjadi di kediaman Hwang malam itu. Wanita itu masih belum bisa menerima semua hasil yang dibacakan penyidik tentang kedua kasusnya. Pangeran menghela napas. Ada banyak hal yang dia sembunyikan yang dia anggap Se Hwa tak perlu tahu. Se Hwa tak harus menjadi dia yang dulu sebab itu lebih aman baginya. Angin malam berhembus sedang. Rasa dingin sedikit menusuk-nusuk badan. San mengusap bahunya. San menoleh ketika penjaga yang bediri di depan kamarnya berbicara. "Yang Mulia, Pengawal Min Ju ingin bertemu Anda." "Min Ju? Ada apa malam-malam?" San bergumam. "Biarkan dia masuk," ucapnya kemudian. Pintu pun terbuka, Min Ju masuk sambil memegangi kepalanya yang berdarah. "Min Ju!" Pangeran terkejut. Segera dia mendekati pria itu. "Ada apa? Se Hwa, di mana Se Hwa? Di mana Se Hwa?!" Pengeran histeris, sedangkan Min Ju berlutut di hadapannya sambil membungkukkan badan. "Hamba pantas mati, Yang Mulia. Hamba pantas mati," ucapnya. Langkah San terseret mundur, lalu tanpa kata dia segera berlari meninggalkan kediamannnya. Min Ju bangkit dan mengejar pria itu. "Tidak ... jangan lagi ... tidak!" Pangeran terus bergumam. Dia terus berlari dan berlari. Pengawal pribadinya refleks mengikuti ke mana pun dia pergi. San berhenti di tempat yang sama di mana Se Hwa mengalami kecelakaan lima bulan yang lalu. "Se Hwa!" Dia menjerit-jerit. "Se Hwa!" Tak ada yang menjawab. Pangeran kalap, bertingkah seperti orang gila. Dia berlarian ke sana kemari mencoba mencari keberadaan Se Hwa, tapi jejak wanita itu tak ditemukan. Min Ju menatap pangeran dengan iba dan penuh penyesalan. Lima bulan yang lalu di tempat inilah Se Hwa hampir menemui ajalnya. Beruntung sebuah keajaiban membawanya kembali dan dia seperti terlahir dengan sosoknya yang baru, penuh cinta dan welas asih. Jika Se Hwa masih dia yang dulu, maka wanita itu tak akan mencoba menyelamatkan desa yang terisolasi. Dia pasti akan langsung membumihanguskan tempat itu tak peduli berapa banyak nyawa di sana yang masih berharap untuk hidup dan sembuh. "Kenapa kau membawanya kemari?!" Pangeran menarik pedang milik Min Ju dan mengarahkannya ke leher pria itu. Min Ju menunduk. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak bisa melawan perintah beliau." Pangeran itu terdiam, lalu menjerit sambil melempar pedangnya. "Aakh!" Dia begitu frustasi. Ditatapnya prajurit yang mengikutinya. "Apa yang kalian lihat?! Cepat cari dan temukan Se Hwa di mana pun dia berada. Bunuh orang yang berani menyakitinya!" Pangeran gegas meninggalkan tempat itu. Langkahnya tergesa menuju ke suatu tempat, tapi Min Ju menghadangnya. "Anda tak bisa pergi ke sana, itu terlalu berbahaya." "Aku tak peduli!" "Tapi ..." "Minggir!" Pangeran mendoron San. Dia melangkah meninggalkan pria itu. Min Ju terdiam, lalu mengangkat pedangnya. "Akh!" San mengerang sesaat sebelum tumbang. "Bawa dia!" perintah Min Ju kepada pengawal yang mengikuti mereka sejak tadi. *** Se Hwa mengerjap merasakan silau. Suara alat deteksi jantung tertangkap indranya. Dia melirik dari mana arah datangnya suara, lalu terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kamar bernuansa putih, lampu neon yang menyala terang, lalu cairan infus yang bertengger di sisi ranjangnya. "Apa aku sudah kembali? Aku kembali ke jamanku?! Aku pulang! Yeay! Aku pulang!" Dia sangat bahagia. Wanita itu ingin berteriak sambil berjoget-joget, tapi ada hal aneh yang dirasakannya. Dia tak bisa menggerakkan badannya. "Lho, lho, ada apa ini?" Airin kebingungan. Dia mencoba mengangkat tangan, tapi tangannya tak bergerak sama sekali. Dia mencoba membuka mulut dan bicara, tapi semua kaku. Tak ada yang bisa mendengarnya. Rupanya, yang berteriak-teriak tadi, hanya nyawanya yang masih belum bisa masuk ke raganya secara utuh. Airin pun panik. Dia terus berteriak memanggil siapa saja, tapi tak ada yang mendengarnya. Pintu ruang rawat itu terbuka. Dua orang suster masuk dan melakukan pemeriksaan. "Bagaimana kondisinya?" "Detak jantunnya mengalami perubahan, sebaiknya aku menghubungi dokter." Suster itu menekan bell yang ada di dekat ranjang. Segera seorang dokter wanita masuk ke ruangan itu. "Apa yang terjadi? Berikan hasil rekam mediknya." Dokter memeriksa catatan di layar. "Kondisinya membaik. Detak jantungnya pun lebih stabil, tapi kenapa dia belum sadar?" Dokter memeriksa kondisi pasien. Kondisi ini cukup aneh menurutnya. Harusnya dengan catatan medis yang semua normal, pasien bisa segera sadar. "Awasi terus perkembangan pasien," kata dokter itu, lalu dia berjalan keluar, mungkin akan berkonsultasi dengan seniornya. Airin menjerit memanggilnya, tapi dokter itu melenggang begitu saja. Dua suster tadi masi ada di sana dan memeriksa kondisi Airin dengan lebih teliti, tapi jelas mereka tak bisa menemukan kejanggalan apa pun, sebab dokter saja masih belum menemukannya. Benturan di kepala Airin ketika jatuh cukup keras. Dia sudah menjalani operasi karena terjadi penggumpalan darah di kepalanya. Operasi berjalan lancar, tapi dia mengalami koma. Selama sebulan sudah dia terbaring tak berdaya. Dokter terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan lain yang membuat dia koma cukup lama, tapi sampai saat ini mereka belum menemukan masalahnya. Beberapa waktu, kondisi Airin sempat menurun. Detak jantungnya melemah, tapi dokter berhasil mengembalikan detak jantung itu. Meski jantungnya berdetak sedikit lemah, tapi kondisinya masih bisa dibilang stabil. Hari ini, detak jantung Airin sudah berada di titik normal, tapi kondisinya belum juga berubah. Itu yang membuat dokter bertanya-tanya. Dua perawat pun meninggalkan ruangan. Airin menatapnya dengan perasaan kesal karena tak ada yang peduli meski dia berteriak dengan sekuat tenaga. Pintu kamar itu kembali terbuka, Airin kembali melirik ke arah sana untuk mencari tahu siapa yang datang. Wanita paruh baya masuk ke ruangan itu dengan tatapan sedih. Dia merapikan selimut putrinya, menggenggam tangannya, lalu duduk di sebelah ranjang. "Airin, kapan kamu akan kembali, Nak. Ibu merindukanmu. Ibu ingin bergosip banyak hal denganmu. Tentang tetangga kita yang akhirnya menikah juga. Mereka mengundangmu. Kau tau, setelah menikah mereka berbulan madu ke luar negeri. Lama tidak punya pacar, Sunjung malah mendapat jackpot seorang pria kaya raya. Kau pun harus begitu," kata sang ibu sambil menitikkan air mata. Airin pun hanya bisa menangis dalam diam mendengarkan cerita ibunya. "Ibu, aku pun rindu Ibu. Aku ingin memeluk Ibu. Aku ingin bangun, Bu. Tolong aku." Sang ibu masih terus bicara menceritakan banyak hal, sementara Airin tak bisa menimpali. Kalaupun dia ikut menjawab, tak ada yang mendengarnya. Dia hanya bisa pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD