Part 17

1763 Words
"Yang kau butuhkan untuk mengobati mereka adalah daun sirih merah dan air dari danau air mata rubah." Jeong Guk menerangkan sembari memetik beberapa lembar daun sirih merah yang hanya tumbuh di tempat itu. "Danau air mata? Memangnya itu benar berasal dari air mata rubah?" "Konon katanya, pada masa dewa dan dewi masih berkuasa di bumi, Seorang dewa jatuh cinta kepada siluman rubah. Dewa pun menghadiahkan gunung ini untuk ditempati oleh bangsa rubah. Itu kenapa gunung ini menjadi gunung rubah. Dengan kekuatan dewa juga gunung ini tersembunyi di balik kabut ilusi. Di sinilah mereka berdua menghabiskan waktu. Namun, karena siluman dan dewa tak boleh bersatu, akhirnya mereka pun dipisahkan dengan cara paksa." "Mereka dibunuh?" Se Hwa menanggapi daun sirih merah dari Jeong Guk. Pria itu mengangguk, lalu melanjutkan ceritanya. "Yang dibunuh hanya siluman rubah karena dewa tidak bisa mati. Demi melindungi kekasihnya, sang dewa diberikan hukuman untuk terlahir menjadi pengemis dan butuh waktu ribuan tahun untuk bisa kembali ke kahyangan. Melihat hal itu, siluman rubah menyerahkan dirinya untuk dihukum mati, lalu dengan kejamnya dewa langit memerintahkan agar yang membunuh siluman itu adalah kekasihnya sendiri." Se Hwa tertegun. Dia menitikkan air mata. "Itu kisah yang sangat menyedihkan." "Iya, di sinilah tempat siluman itu dieksekusi. Tapi dia mati dengan bahagia. Tetes air matanya tiba-tiba menjadi danau yang tak pernah kering. Lalu, setelah kematiannya itu, dewa memberkatinya. Bahwa gunung ini selamanya akan menjadi gunung rubah dan ketika ada siluman rubah menangis, maka hujan pun akan turun tiba-tiba. Itulah kenapa orang sering menyebutkan hujan yang datang tiba-tiba ketika cuaca sedang terik dengan sebutan hujan rubah." "Iya, bahkan di jamanku juga orang masih mengenalnya dengan hujan rubah." "Di jamanmu?" Jeong Guk menatap Se Hwa bingung. "Eh, it-itu ... maksudku di desaku." Pria itu hanya mengangguk, tapi Se Hwa tak yakin dia percaya kata-katanya. Setelah merasa cukup dengan dedaunan itu, Jeong Guk mengajak gadis itu mengunjungi danau air mata rubah. "Apa, rubah itu punya anak?" tanyanya saat Jeong Guk mencelupkan tabung untuk menampung air. "Iya," jawab pria itu singkat, lalu menyerahkan tabung berisi air itu kepada Se Hwa. "Sekarang, sebaiknya kau kembali. Temanmu pasti sudah sangat kesakitan." "Tapi, masih ada yang ingin kutanyakan. Apakah kau tau kenapa penyakit ini bisa mewabah?" "Kita akan bicara lagi lain kali. Pesanku padamu hanya satu, hindari orang yang memiliki shio macan." "Maksudmu?" Jeong Guk tak menjawab. Dia hanya mengucap selamat tinggal, lalu mengibaskan tangannya. Se Hwa pun berpindah tempat dan dirinya kini sudah ada di dekat sungai. Gadis itu menatap ke atas. Puncak air terjun itu tertutup kabut. Hari pun sudah mulai gelap. Terpaksa Se Hwa meninggalkan tempat itu dan kembali kepada Naya. Di dalam goa, Naya tampak sangat kesakitan. Sesuai petunjuk gumiho itu, Se Hwa pun menyalakan api dan merebus beberapa helai daun sirih merah dengan air dari danau air mata rubah. Setelah itu dia memberikan air rebusannya kepada Naya. Tak berapa lama, Naya merasa perutnya seperti diaduk-aduk. Dia mengerang kesakitan, lalu memuntahkan darah kental kehitaman. Se Hwa bergidik melihat kejadian itu. "Sebenarnya apa yang terjadi? Aku belum pernah melihat penyakit yang seperti ini." Se Hwa bergumam. Dipandangnya Naya yang tampak kelelahan setelah memuntahkan gumpalan darah tadi. Se Hwa menusuk gumpalan darah itu dengan pedangnya, lalu membuangnya ke kobaran api. Darah itu bahkan tidak pecah ketika ditusuk dengan pedang. Benar-benar seperti darah beku. "Bagaimana perasaanmu?" Se Hwa mendekati Naya yang kini sudah bisa duduk bersandar. Tubunya tidak gatal lagi. "Jauh lebih baik, Nona. Terima kasih. Sepertinya Anda telah menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit ini." "Iya, tapi obat yang aku bawa tak akan cukup untuk menyembuhkan warga desa. Aku butuh lebih banyak lagi. Besok aku akan mencarinya. Sekarang kau istirahatlah." Mereka berdua pun menghentikan percakapan dan terlelap. Akan tetapi, baru sebentar saja, Se Hwa sudah kembali terjaga. Matanya menatap langit-langit goa yang gelap gulita. Api unggun yang dia buat tak mampu menerangi hingga ke atas sana. Dia teringat kembali pertemuannya dengan Jeong Guk. Bagaimana caranya dia kembali ke gunung itu? Lalu, apa maksudnya kalau dia harus menghindari orang yang bershio macan? Apa musibah ini disebabkan oleh mereka yang memiliki shio macan? Ada terlalu banyak misteri yang harus dia pecahkan, tapi pikirannya belum menjangkau itu sama sekali. Dia tak bisa tidur. Se Hwa pun duduk menatap api unggun yang menyala. Gumpalan darah yang tadi dilemparkannya ke sana sudah hangus terbakar. Gadis itu semakin cemas. Dia harus segera kembali sebelum ada lebih banyak nyawa yang melayang. Di luar goa sana, suasana hutan gelap-gulita. Burung malam bersenandung saling bersahutan. Srigala-srigala mungkin juga sudah berkeliaran. Akan sangat berbahaya baginya jika keluar di malam hari seperti ini. Akan tetapi, dorongan nalurinya begitu kuat memintanya untuk keluar, seakan-akan malam ini, dia akan menemukan sesuatu yang dia cari. Se Hwa menatap Naya yang tertidur pulas. Aliran napasnya terdengar tenang. Sepertinya gadis itu telah benar-benar sembuh. Se Hwa pun mengambil pedangnya dan meninggalkan tempat itu dengan membawa obor. Hutan yang gelap langsung menyambutnya. Akan tetapi, itu tak mengganggu pikirannya. Dalam militer dia sudah diajarkan untuk tahan menghadapi situasi apa pun. Dirinya bahkan mampu berjalan dalam kegelapan tanpa cahaya obor. Se Hwa melangkah menuju air terjun. Dia hanya mengikuti ke mana instingnya membawanya pergi. Suara gemeretak di lain tempat membuatnya waspada. Mungkin itu binatang buas atau hal lain yang lebih berbahaya. Dia mengeluarkan pedang dari sarungnya, lalu berjalan dengan mata yang awas sempurna. Sekelebat bayangan melintas di depan sana. Se Hwa terperanjat. Dia mematikan obornya, lalu mengejar bayangan itu. Tubuh rampingnya gesit melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Kemudian terdiam di salah satu cabang pohon. Beberapa meter di bawah sana, segerombolan orang nampak berkumpul. Dari gerak-geriknya tahu mereka itu manusia. Atribut penyamaran dan pakaian hitam membalut tubuh mereka. Seperti ninja yang siap bertarung, seluruh tubuh mereka tertutup sempurna, dan dibiarkan terbuka hanya pada bagian mata saja. Beruntung saat itu tidak turun hujan sehingga cahaya bulan yang menyusup di sela-sela dedaunan sangat membantu Se Hwa untuk bisa mengintai mereka. "Siapa mereka? Dan apa yang mereka lakukan? Apa mereka yang menebarkan penyakit di tengah-tengah warga? Tapi untuk apa?" Se Hwa bergumam. Kemudian, dilihatnya bayangan yang terdiri dari empat orang itu menyebar. Namun, Se Hwa yakin mereka berempat mengambil arah menuju gunung rubah. Se Hwa berpikir sejenak, lalu teringat tentang cerita yang berkembang bahwa gumiho-lah yang menyebabkan wabah itu datang. Segera dia menyadari sesuatu, yakni mereka pasti datang untuk membunuh Jeong Guk. Tanpa berpikir panjang, Se Hwa pun melesat mengikuti arah orang-orang itu. Dia tetap berusaha menjaga jarak aman agar tetap bisa mengintai mereka tanpa ketahuan. Tak berapa lama dia mendengar suara-suara orang yang sedang bertarung. Se Hwa mempercepat gerakannya. Benar saja dugaannya. Empat orang itu berusaha mengeroyok Jeong Guk. Se Hwa memperhatikan dengan seksama. Dari tempatnya dia bisa melihat kalau Jeong Guk tak kewalahan sama sekali. Pria itu begitu gesit, bertarung dengan kipas bambu di tangan kanannya. Se Hwa tersenyum lega. Namun, baru saja dia bisa merasakan kelegaan di dadanya, matanya menangkap hal lain. Di sisi yang berbeda seseorang telah siap melepaskan panah ke arah Jeong Guk yang tengah sibuk bertarung. Gadis itu tak bisa lagi bersembunyi di tempatnya. Dia melompat sembari berteriak. Perhatian orang-orang teralihkan kepadanya. "Jeong Guk, awas!" Sebuah anak panah melesat ke arah pria itu. Se Hwa mendorong Jeong Guk ke lain arah sehingga tubuhnya tersungkur. Anak panah itu pun menancap di tubuh Se Hwa. "Akh!" Gadis itu memegangi perut bagian kanannya di mana tertancap panah di sana. "Se Hwa!" Jeong Guk menjerit dan menangkap tubuh gadis itu agar tak tumbang dan menghantam tanah. "Pergi ... pergi dari sini. Selamatkan dirimu. Mereka ... mereka akan memburumu," kata Se Hwa terbata-bata. Jeong Guk menggeram. Dia begitu murka. Matanya berkilat merah menunjukkan kalau dirinya sedang sangat marah. Dia meletakkan Se Hwa di tempat yang aman, lalu berteriak dengan sangat keras. Lolongan srigala saling bersahutan. Pertarungan kembali di mulai. Namun, kali ini Jeong Guk tak ingin main-main lagi. Dengan cepat dia menghabisi semua orang yang mencoba membunuhnya. Jerit kesakitan pun terdengar ketika mereka meregang nyawa bergantian. Sesaat kemudian, gerombolan srigala datang mendekat. Mereka mencium aroma anyir darah segar. Jeong Guk menggendong Se Hwa di kedua tangannya, lalu menatap rombongan srigala yang bersiap menyantap orang-orang yang mati di tangan sang siluman. Setelahnya dia melesat membawa tubuh Se Hw pergi dari sana. "Se Hwa ... Se Hwa ...." Jeong Guk memanggil-manggil nama gadis itu. Dia menidurkan sang gadis di atas dipan bambu. "Apa kau bisa mendengarku?" Hwang Se Hwa membuka mata. "Iya Kau baik-baik saja?" Jeong Guk tersenyum. "Khawatirkan saja dirimu, bukan aku. Lihat kau terluka parah. Dan kau tau, sepertinya panah ini beracun." "Benarkah?" Se Hwa terkekeh. "Pantas saja rasanya sakit sekali dan panas. Harusnya kalau hanya sebatas luka seperti ini, aku pasti bisa menahannya." "Makanya jangan suka bertindak seperti pahlawan. Mereka pasti tau anak panah biasa tak akan mampu membunuhku karena itu mereka meracuni panahnya." Jeong Guk melepas tali hanbok yang dikenakan gadis itu. Se Hwa menahan tangannya. "Apa yang akan kau lakukan?" "Tentu saja mengobatimu. Apa kau pikir aku akan memperkosamu?" "Bu-bukan begitu." Se Hwa kembali terkekeh-kekeh. Dia tahu tenaganya melemah. Karena itu, dia membiarkan Jeong Guk melakukan apa yang ingin dilakukannya. Jeong Guk memperhatikan bagaimana gadis itu terlihat lemah dan begitu pasrah. Satu persatu lapisan kain yang dikenakan Se Hwa berhasil ditanggalkannya. Anak panah tak lagi bersarang di tubuhnya. Kini yang terlihat jelas adalah luka yang berdarah dan membiru. Sesaat Jeong Guk tertegun menatap betapa indahnya bentuk tubuh gadis itu. Di balik selembar kain putih, payudaranya tampak sangat menantang. Pria rubah itu menelan ludah. Bagaimanapun dia pria normal dan melihat hal seperti itu tentu saja membangkitkan libidonya. Jeong Guk berhasil menguasai dirinya, lalu dia menundukkan kepalanya dan menyedot racun dari luka itu dengan menggunakan mulutnya. "Akh!" Se Hwa mengerang kesakitan. Dia mencengkram bahu Jeong Guk yang terus berusaha menghisap racun agar tak menyebar lebih jauh. Pria itu memuntahkan darah yang bercampur racun ke tanah, lalu mengulanginya lagi dan lagi sampai dirasa semua racun telah keluar. Dia menyeka mulutnya yang berlimuran darah, lalu tersenyum kepada Se Hwa. "Tunggu sebentar, aku akan bawakan ramuan obat," ucapnya, lalu pergi dari sana. Tak berapa lama dia kembali dengan semangkok ramuan obat dan obat-obatan yang sudah ditumbuk untuk dibalurkan pada luka gadis itu. Jeong Guk membantu sang gadis untuk meminum obatnya. "Terima kasih," ucap Se Hwa dan pria itu pun mengangguk. "Istirahatlah." Jeong Guk menyelimuti tubuh sang gadis. Malam itu Se Hwa dibiarkan tidur di tempat peristirahatannya. "Jangan khawatirkan Naya. Besok aku akan mencarinya." "Kau sangat baik, aku sungguh sangat berterima kasih." "Kau belum tau saja betapa jahatnya aku." Jeong Guk tersenyum jahil. "Bagaimana kalau setelah ini aku memakan levermu?" Mereka berdua pun tertawa bersama. Rumor yang berkembang di masyarakat tentang rubah memakan lever itu malah terdengar seperti guyonan. Malam itu mereka tampak bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD