Jalan-jalan desa tampak basah dan becek akibat hujan semalam. Sesaat setelah Se Hwa dan dayangnya membahas soal penyakit itu, petir menggelegar dan hujan lebat mengguyur desa itu dan juga beberapa daerah lain di Joseon. Aroma petrikor bercampur aroma busuk mayat-mayat penduduk yang belum di makamkan membaur menyerah indra penciuman orang-orang. Itu mengakibatkan banyak dari mereka yang muntah-muntah. Termasuk juga Naya.
Se Hwa yang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu, nampaknya tak terlalu terpengaruh. Dia pun mengajak Se Hwa menuyusuri hutan setelah memberitahu Jihye untuk sedapat mungkin tidak mengkonsumsi makanan dari hutan dan tidak memanfaatkan air sungai Tuman untuk kegiatan mereka. Se Hwa menyuruh mereka untuk menggunakan air-air dari sumur warga yang mungkin lebih steril.
Keadaan di hutan sungguh berbanding terbalik dengan keadaan desa. Udara di hutan itu begitu segar. Aroma basah daun-daun begitu menyegarkan. Se Hwa menghirup dalam-dalam aroma yang menenangkan jiwanya. Sejenak dia teringat dengan gunung rubah yang dikatakan oleh para penduduk. Apa benar di sana ada siluman rubah? Apa benar dialah yang jadi penyebab utama wabah ini. Sepertinya yang harus dia cari sekarang adalah rubah itu, tapi bagaimana jika akhirnya dia terbunuh di tangan rubah itu?
Se Hwa berusaha menampik pemikiran-pemikiran buruknya. Bagaimanapun dia harus menyelamatkan para penduduk. Sayang sekali Se Hwa tidak pernah tahu kalau pangeran juga tengah mendapat tugas untuk memburu rubah itu dan membunuhnya. Gadis itu terus berjalan menyusuri hutan. Mereka berdua mungkin sama dengan warga lain yang sudah pernah mencoba mencari tahu tentang penyakit itu. Penyelidikan mereka tidak menemukan apa-apa bahkan sampai sore menjelang. Sama sekali tidak ada hal aneh di hutan itu.
Hutan itu malah terlihat indah. Pohon-pohon tinggi yang begitu mengayomi. Buah-buahan yang ranum ditemukan di beberapa bagian hutan. Binatang-binatang hutan pun tampak bahagia karena tak ada yang memburunya. Mungkin sejak desa terkena wabah, mereka semua merasa aman. Mereka tampak berlarian saat melihat Se Hwa dan Naya berkeliaran di hutan itu. Kedua gadis itu pun mengabaikannya begitu saja.
Di sisi lain hutan bunga-bunga bermekaran. Kupu-kupu terbang mengitari bunga-bunga itu. Lebah berdengung berebut nektar. Semuanya tampak begitu indah. Jadi, rasanya tak mungkin hutan itu menjadi sumber rasa sakit yang dialami penduduk saat ini.
"Naya, apa kau menemukan sesuatu?" Se Hwa mendudukkan dirinya di atas batu besar. Dia menegak air dan mengeluarkan perbekalannya. Rasa lapar menyerangnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh dayang setianya. Mereka cukup kelelahan.
"Saya tidak menemukan keanehan apa pun, Nona. Semuanya sama saja. Bahkan hutan ini begitu damai. Saya merasa sangat tenang di sini." Naya menatap jauh ke pohon besar di seberang padang rumput. "Nona, apa di balik hutan ini tidak ada perkampungan lagi? Apa mereka bebas dari wabah?"
"Tentu saja pasti ada. Hanya saja aku tidak tau apakah mereka juga terjangkit atau tidak. Jangan lupakan, sebelum bertemu desa berikutnya kita harus melewati hutan rubah."
"Oh, iya, Anda benar, Nona. Apa kita akan ke gunung rubah?"
"Satu-satunya yang kita tuju sekarang adalah gunung rubah. Jika di hutan ini tidak ada masalah, maka gunung rubahlah masalah utamanya."
"Apa Nona tidak takut dibunuh oleh siluman rubah?" Naya bergidik ngeri.
"Tak akan ada yang bisa membunuhku. Jika dia masalahnya, maka dia harus mati di tanganku." Se Hwa berbicara penuh keyakinan. Naya pun terdiam.
Setelah beberapa lama beristirahat, mereka pun melanjutkan perjalanan kembali. Semakin masuk ke dalam hutan keadaan jadi semakin gelap karena rimbunnya pepohonan. Hutan itu sungguh sangat subur. Pohon-pohon yang menjulang tinggi seakan-akan menutupi cahaya matahari menembus ke dalam hutan. Cahaya sang surya hanya mampu mengintip dari celah-celah dedaunan.
Suara gemeretak dari ranting-ranting kayu yang terinjak membangunkan burung-burung dari khayalannya. Beberapa mencicit, lalu terbang berpindah ke dahan-dahan yang lain. Mereka berdua sampai di air terjun. Air jernih itu tercurah dari tebing yang cukup tinggi, lalu menghantam bebatuan di bawahnya memunculkan lingkaran pelangi saat terbiaskan oleh cahaya mentari.
"Air sungainya tampak sangat segar. Apa air ini yang mengalir di sepanjang sungai Tuman?" Naya bertanya sambil mencelupkan tangannya ke air.
Se Hwa hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari ujung air terjun itu berasal. Pikirannya mengembara membayangkan kalau di sanalah siluman rubah berasal. "Naya, tunggu aku di sini. Dan, ingat jangan makan atau minum apa pun yang kau temukan." Setelah bicara seperti itu, Se Hwa melompat ke bebatuan. Dia terus melompat dari bebatuan yang satu ke bebatuan yang lain hingga sampai di ujung air terjun.
Hamparan padang rumput yang begitu luas menyambut matanya. Sungai mengalir jernih di tengah-tengahnya. Di hulu sungai bebatuan pegunungan tampak mengeluarkan air dari celah-celahnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Pohon mapel berdaun lebat berwarna merah tumbuh di sisi tebing. Angin berhembus sedang membelai anak rambut Se Hwa yang sedikit tergerai. Dia melemparkan pandangan berkeliling, terpesona dengan takjub. Baru kali ini dia melihat tempat seindah itu. Wangi bunga-bunga yang bermekaran juga begitu menggodanya. Seperti manisnya anggur yang begitu memabukkan.
Se Hwa menoleh ke bawah sana ke tempat Naya. Kalau Naya ada di atas sana, gadis itu pasti sama takjubnya dengan dirinya. Namun, alangkah terkejutnya Se Hwa saat melihat Naya mulai menggaruk-garuk tangan dan punggungnya. Se Hwa menajamkan penglihatannya. "Apa Naya terjangkit penyakit itu?" Dia bergumam, lalu melompat turun.
"Naya ...."
"Nona, tubuh saya begitu gatal dan lihatlah muncul bercak-bercak kemerahan. Apakah saya juga terjangkit penyakit itu, Nona?" Naya menangis sambil terus menggaruk-garuk tubuhnya.
Se Hwa mengambil tangan dayangnya, lalu memperhatikan bagaimana gatal itu bereaksi di tubuh Naya. "Oh, tidak. Kita harus mengobati ini. Tapi, bagaimana caranya?" Se Hwa terdiam memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya. "Apa yang kau lakukan barusan. Apa kau meminum air sungai ini? Kau mandi di sana?"
Naya menggeleng sambil terus menggaruk tangan dan kakinya, lalu beralih ke wajah dan tubuhnya. "Saya tadi hanya mencuci tangan dan kaki, Nona."
"Ah, sial! Bukankah sudah aku bilang jangan tergoda untuk melakukan apa pun. Apa kau lupa apa yang dikatakan pemilik losmen?"
"Maafkan aku," ucap Naya penuh sesal.
"Ayo, sebaiknya kita cari tempat berteduh. Kau harus beristirahat sementara aku mencari ramuan obat-obatan untuk meredakan rasa gatal dan merah-merah itu." Se Hwa mencari-cari tempat yang sekiranya bisa dia gunakan untuk berlindung malam ini. Tak berapa lama dia menemukan goa di dekat air terjun itu. Tempatnya tersembunyi karena tertutup sulur-sulur dari tanaman rambat.
"Kita bisa istirahat di sini. Tempatnya cukup hangat." Se Hwa menyiapkan tempat tidur untuk dayangnya. Dia menggelar alas yang dibawanya di atas batu besar yang cukup datar. "Tidurlah. Kalau kau lapar kau bisa makan bekal yang aku bawa." Setelah itu, Se Hwa pun meninggalkan Naya.
Di sekitaran sungai dia menemukan cukup banyak tanaman lavender. Sejauh yang dia tahu, lavender bisa jadi salah satu alternatif untuk mengobati gatal. Air dengan campuran lavender bisa digunakan untuk mengurangi gejala-gejala gatal itu. Se Hwa tengah memetik beberapa batang lavender ketika seseorang menyapanya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Dan kenapa kau memetik bunga-bunga itu?"
Se Hwa menghentikan kegiatannya, lalu menoleh ke belakang. Seorang pria berdiri tak jauh di belakangnya. Kulit pria itu putih bersih dengan pakaian sutra yang indah membalut tubuhnya. Sebagian rambut panjangnya terikat dengan rapi, sedang sebagian lagi dibiarkan tergerai jatuh di pundaknya. Matanya seperti telaga bening yang menenggelamkan siapa saja yang menatapnya.
"Aku hanya sedang mencari bahan obat untuk mengobati temanku."
"Oh," jawab pria itu. Dia mendekat, lalu duduk di atas batu sembari memperhatikan Se Hwa yang sedang memetik bunga berwarna ungu itu. "Aku rasa, sebanyak apa pun kau memetik bunga itu, tetap tak akan bisa menyembuhkan temanmu."
"Bagaimana kau bisa tau? Apa kau seorang tabib?"
Pria itu tersenyum manis. Matanya menatap jenaka. "Ini daerahku, jadi aku tau apa yang kau butuhkan dan apa yang tidak. Aku tau apa yang terjadi dengan temanmu itu." Pria itu bangkit dari duduknya. "Ikutlah denganku."
Se Hwa mematung memandang kepergian pria itu. Pria yang belum dia ketahui namanya itu menoleh, lalu bicara, "Ayo, kau ingin temanmu sembuh, kan? Kau juga ingin warga desa sembuh, kan?"
"Apa kau siluman rubah itu?" Se Hwa menghunus pedangnya.
Pria itu tertawa lepas. "Hei, jauhkan benda tajam itu. Itu berbahaya." Pria itu menyentuh ujung pedang, lalu menggeser pedang itu. Dia mendekati Se Hwa dan mengambil alih pedang itu dari genggaman sang gadis.
Entah kenapa Se Hwa seperti terkena sihir. Gadis itu tak berkutik, bahkan ketika pria tadi menarik pinggangnya. "Jangan banyak protes kalau ingin semua warga desa selamat." Setelah berkata demikian, pria itu membawa tubuh She Hwa melesat ke udara. Bunga-bunga lavender yang dipetik gadis itu berhamburan, berserakan di udara dan jatuh menyentuh tanah. Pria itu seakan terbang membawa Se Hwa ke puncak air terjun. "Ayo, ikuti aku."
Kali ini Se Hwa langsung menurut. Dia berjalan bersisihan dengan pria asing itu. Mereka berdua memasuki kabut, lalu menghilang dari pandangan. Di balik kabut itu Se Hwa tertegun. Hamparan bunga-bunga yang begitu harum menyapa indra penciumannya. Kupu-kupu menari riang. Salah satu dari mereka mendekati sang pria. Pria itu mengulurkan tangan dan membiarkan kupu-kupu itu hinggap di ujung jarinya, lalu kembali terbang. Se Hwa tersenyum melihatnya.
"Apakah aku bisa melakukannya juga?"
"Tentu saja." Pria itu menggandeng tangan Se Hwa dan memintanya berhenti di depannya. "Rentangkan tanganmu," ucapnya.
Se Hwa mengikutinya, lalu secara ajaib kupu-kupu berdatangan mengerubunginya. Gadis itu memutar badannya. Kupu-kupu itu seakan menari bersamanya. Pria tadi pun mengeluarkan seruling dan mulai memainkannya. Se Hwa hanyut dalam lantun lagunya yang mengalun merdu. Begitu juga dengan kupu-kupu yang terus beterbangan di sekitarnya.
Pria itu tersenyum, lalu menghentikan serulingnya. Dia mendekati Se Hwa dan mengusir kupu-kupu itu untuk terbang menjauh. "Hari sebentar lagi malam. Kau harus segera mengobati temanmu. Dia pasti sangat kesakitan."
"Iya. Kau membuatku lupa dengan tujuanku datang kemarik. Kau iblis yang licik."
Pria itu tertawa, "Siapa namamu?" Dia menoleh ke arah Se Hwa yang melangkah di sebelahnya. "Kau bisa memanggilku, Jeong Guk, akulah penguasa gunung ini. Kau pasti sudah tau gunung apa ini kan?"
Se Hwa mengangguk. "Han Airin, eh, maksudku namaku Hwang Se Hwa. Kau bisa memanggilku Se Hwa, Tuan Rubah."
Pria yang sejatinya siluman rubah itu pun kembali terkekeh-kekeh pelan. "Baiklah, jadi namamu Se Hwa, bukan Airin. Senang bertemu denganmu Hwang Se Hwa. Aku pasti membantumu menemukan apa yang kau cari."
Se Hwa pun tersenyum dan berterima kasih kepada pria rubah itu. Pria rubah yang dia kira jahat ternyata berhati baik.