Tak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan bekerja atas manusia dan juga makhluk ciptaannya yang lain. Begitu juga dengan Se Hwa dan Jeong Guk yang tak pernah tahu takdir apa yang tersimpan di antara mereka.
Se Hwa terjaga dari tidurnya setelah matahari mengusik matanya. Dia mengerjap pelan. Matanya menangkap sosok Jeong Guk yang berdiri membunggunginya. Perlahan Se Hwa mendudukkan dirinya.
Jeong Guk menoleh dan berkata, "Oh, kau sudah bangun? Apa aku mengganggumu?"
Se Hwa menggeleng. "Apa yang kau bawa?"
Jeong Guk menyodorkan mangkok berisi ramuan obat. "Minumlah."
Se Hwa menanggapinya, lalu menegak isinya sampai tandas. Jeong Guk pun mengambil alih mangkok yang telah kosong, kemudian dia mengupas buah persik untuk gadis itu.
"Naya bagaimana?"
Jeong Guk tersenyum sambil menyerahkan potongan buah persik. "Aku menyuruhnya mandi agar bekas-bekas lukanya segera mengering."
"Syukurlah," kata Se Hwa sambil menanggapi buah persik dari tangan Jeong Guk. "Untuk yang semalam, juga hari ini, terima kasih."
Jeong Guk menatapnya, lalu tersenyum manis. "Harusnya akulah yang berterima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku."
Keduanya pun tersenyum. Ada kecanggungan yang tiba-tiba hadir membuat mereka berdua terdiam, lalu tertawa dengan keheningan yang tanpa sadar tercipta begitu saja.
"Ah, i-itu ... apa aku boleh meminta daun sirih dan air danaunya lebih banyak lagi? Ada begitu banyak orang yang terjangkit. Aku tak bisa membiarkan mereka semua mati."
"Kau gadis yang baik." Jeong Guk bangkit dari tempat duduknya. "Berhati-hatilah. Tak semua orang di sekitarmu berhati sebaik dirimu."
Se Hwa mencoba mencerna kata-kata pria itu. Dia pun bangkit dan berusaha untuk berdiri. Jeong Guk yang melihat itu pun mencoba membantunya.
"Apa benar kau yang menerbarkan virus itu untuk memperkuat ilmumu. Orang bilang kau siluman, jadi kau butuh ribuah nyawa untuk bertahan hidup. Kau membutuhkan energi mereka?"
Jeong Guk terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia pun tertawa. Dia menatap Se Hwa dengan tatapan mata yang menyala merah membuat gadis itu melepaskan diri dari pegangan Jeong Guk, tapi pemuda itu tak membiarkannya menjauh. Dia malah menahan Se Hwa dan perlahan mendekatkan wajahnya.
"Bagaimana kalau jiwamu yang pertama kuhisap. Sepertinya jiwamu sangat lezat."
"Hentikan!" Se Hwa berusaha menahan tubuh Jeong Guk, tapi pria itu bergeming. Dia malah semakin mengunci pergerakan gadis yang bersamanya. Lalu, tiba-tiba ....
"Akh!" Jeong Guk mengerang sambil memegangi kepalanya. Dia menoleh dan melihat Naya menatapnya marah. Di tangan gadis itu ada sebalok kayu besar.
"Menjauh dari nonaku! Dasar iblis!"
"Ya! Hentikan! Apa yang kau lakukan?!" Jeong Guk berusaha menahan serangan Naya.
Gadis dayang itu pun berhasil mendapatkan nonanya kembali. Se Hwa hanya tertawa melihat kejadia itu. Bahkan, karena terlalu keras tertawa, lukanya pun terasa sakit. Dia memeganginya sambil melihat Jeong Guk yang gantian menertawakan mereka berdua.
"Dasar tak tau terima kasih." Pria itu berlalu dengan raut wajah sewot.
"Kau tak seharusnya melakukan itu," Se Hwa memperingatkan dayang setianya. "Tadi, dia hanya bercanda. Jika dari awal dia ingin nyawaku, maka aku tak akan hidup sampai sekarang. Sebaiknya kau minta maaf dengannya."
"Nona ...."
"Tak apa-apa. Dia pria yang baik." Se Hwa kembali ke pembaringan. Lukanya masih terasa sakit akibat tertawa tadi. "Bagaimana keadaanmu?"
"Tempat ini sungguh ajaib, Nona. Aku sudah sehat. Benar-benar sehat."
"Baguslah jika itu yang kau rasakan. Kita harus segera kembali ke desa. Semakin banyak membuang waktu di sini akan semakin berbahaya untuk mereka. Bisa jadi saat kita kembali mereka semua sudah dibakar hidup-hidup."
"Nona benar. Tapi bagaimana dengan kondisimu, Nona?"
"Aku baik-baik saja," sahut Se Hwa meski dirinya baru saja mengerang kesakitan. "Kita harus mengumpulkan daun obat lebih banyak lagi sebelum kembali ke desa."
"Kalian tak perlu melakukannya." Jeong Guk masuk dengan daun obat dan air di dalam wadah. "Rebuslah ini semua, lalu minumkan ke pasien. Mereka tak harus minum dalam jumlah yang banyak. Sedikit saja sudah cukup. Jadi aku yakin pasti cukup untuk semua orang."
Naya menanggapi pemberian siluman rubah itu. "Terima kasih," ucapnya.
Se Hwa berusaha bangkit dari duduknya. "Aku akan kembali sekarang."
"Kau bisa melakukannya?" Jeong Guk tampak khwatir. "Lukamu masih basah."
"Luka seperti ini tak akan mampu membunuhku. Aku jauh lebih tangguh dari yang kau bayangkan."
"Baiklah, jika itu yang kau katakan." Jeong Guk mengambil sebuah giok yang terikat di ikat pingganganya. "Ambilah. Anggap saja ini ucapan terima kasih atas apa yang kau lakukan semalam."
"Bagaimana aku harus membalas kebaikanmu?"
Jeong Guk tersenyum. "Kau hanya harus sembuh. Dan, maafkan aku. Aku harus menghapus ingatanmu tentangku. Begitu juga ingatan temanmu yang galak itu."
"Tapi ...."
"Semakin sedikit yang kau ingat, kau akan baik-baik saja."
"Kalau begitu kenapa kau memberiku hadiah ini?"
"Kau akan mengerti nanti." Jeong Guk menatap dua gadis di depannya. "Sekarang pergilah. Selamat tinggal." Siluman rubah itu mengibaskan tangannya, lalu secara ajaib dua gadis itu menghilang dari sana dan muncul kembali di pinggiran desa, dekat hutan.
Jeong Guk duduk di ranjang tempat Se Hwa tertidur semalam. Aroma gadis itu masih tercium di sana. Hatinya tiba-tiba merasa sepi. Padahal, dia sudah ratusan tahun hidup di sana sendirian, tapi baru kali ini dia merasa kesepian. Sesaat kemudian, Jeong Guk pergi ke area taman di mana dia dan Se Hwa sempat bermain bersama kupu-kupu. Jeong Guk mengulurkan tangan membiarkan kupu-kupu hinggap di sana.
Angin mendayu-dayu menyapa wajahnya dan meainkan anak rambutnya. Gemericik air terdengar dari tempatnya berdiri. Jeong Guk melangkah mendekati aliran sungai kecil tempat dia terbiasa mandi atau bermeditasi. Dimasukkannya tangannya ke dalam air.
"Apa dia akan menemukan penyebab penyakit itu?" Jeong Guk bergumam.
"Bagaimana caranya dia menemukannya jika kau tak memberinya petunjuk apa pun."
Ketika mendengar suara seseorang, Jeong Guk membalik badan. Dia pun membungkuk membari salam. "Guru," ucapnya.
Pria tua berpakaian biksu itu melewatinya dan duduk di atas batu besar di bawah rimbun pohon bambu. "Kau tidak jatuh cinta kepadanya, kan?"
"Tentu tidak, Guru," jawab Jeong Guk. Dia sudah berjanji bahwa dia tak akan pernah jatuh cinta kepada manusia dan dewa, sama seperti leluhurnya. Dia hanya siluman jadi terlarang baginya untuk mencintai makhluk dari bangsa selain siluman.
"Baguslah kalau kau masih memegang teguh janjimu." Biksu itu memejamkan matanya. "Aku lapar," ucapnya kemudian.
Jeong Guk memberi hormat, lalu meninggalkan tempat itu untuk menyiapkan buah-buahan untuk gurunya. Setelah kepergian Jeong Guk, biksu itu membuka mata. Dia menghela napas. "Kau harus hati-hati dengan takdirmu, Jeong Guk. Aku senang kau mengikuti saranku dan menghapus ingatan gadis itu tentangmu. Semoga kalian tak pernah bertemu lagi untuk selamanya. Atau hal buruk akan terjadi."
***
Sementara itu, Se Hwa dan Naya melanjutkan perjalanannya meninggalkan hutan itu. Telah semakin banyak warga yang mati saat mereka pergi. Mereka berdua segera menuju balai pengobatan dan menemui Jihye. Dilihatnya keadaan Jihye yang semakin parah.
"Jihye ...." Naya mendekati temannya. "Bertahanlah. Kami sudah menemukan obat yang dibutuhkan. Aku sudah membuktikannya. Saat dalam pencarian di hutan aku pun terjangkit penyakit ini. Jadi, aku yakin kita semua akan sembuh."
"I-iya, kita semua akan sembuh. Tapi, semua itu sia-sia, Naya. Lihatlah sekelilingmu. Pasukan istana sudah siap membakar tempat ini. Ilalang kering sudah ditebarkan di sekeliling desa, tinggal melemparinya dengan obor, dan kita semua akan mati terpanggang."
Mendengar ucapan Jihye, Se Hwa sontak terkejut. Lalu, benar saja, asap tampak membubung dari berbagai penjuru desa. "Sial!" desis gadis itu. "Naya, kau rebus saja ramuannya. Aku akan mengalangi apa yang dilakukan prajurit itu."
"Tapi, Anda tengah terluka."
"Abaikan saja aku. Ini bukan apa-apa." Gadis itu segera melesat meninggalkan balai pengobatan.
Kerumunan warga di sekitar gerbang membuat hati Se Hwa berdenyut nyeri. Sungguh kasihan para warga desa. Selain harus menahan rasa sakit di sekujur tubuh, mereka juga harus rela menerima pukulan di tubuhnya karena menolak ada di desa itu, desa yang sebentar lagi akan hangus menjadi debu.
"Hentikan!" Se Hwa berteriak. Dia menghunus pedangnya. "Kalian semua, ambil air dari sungai dan pergilah memadamkan api. Mereka biar aku yang hadapi." Se Hwa maju menantang para prajurit itu. Dengan pedang terhunus dia memasang kuda-kuda.
"Jika ingin membakar desa ini, hadapi aku dulu!" hardiknya.
Beberapa prajurit saling pandang sebelum mengepung Se Hwa yang berdiri tak kenal takut.
"Hyaa!" Gadis itu berteriak dan menerjang ke arah para prajurit. Pertarungan tak seimbang itu pun tak bisa dihindari. Se Hwa akan mempertaruhkan segalanya untuk melindungi tempat itu. Tak ada alasan baginya untuk menyerah, meski tubuhnya tengah terluka parah. Harapan kesembuhan bagi warga desa membuat Se Hwa lebih bersemangat untuk melawan para prajurit itu.