Part 63

1294 Words
Keadaan istana menjadi gempar setelah insiden permaisuri yang berubah menjadi siluman ular. Kabarnya pasukan istana berhasil menaklukan siluman itu dengan cepat. Sidang istana pun digelar untuk membahas hal-hal yang menggemparkan itu. Raja akan melakukan pemeriksaan secara ketat dengan memberikan semua orang minuman keras karena seperti apa yang dikatakan Se Hwa kepada San, bahwa siluman itu berubah setelah menenggak minuman keras. Se Hwa pun cepat-cepat meminta Seo Yeon untuk pergi dengan teleportasinya. Dia bisa kembali jika keadaan sudah aman. Sementara itu, di sisi lain, Min Ju tampak berpikir keras. Dia merasa ada kejanggalan yang terjadi di tempat perjamuan. Bagaimana bisa siluman itu bisa dilumpuhkan dalam waktu beberapa menit. Padahal dia tahu betapa tangguhnya siluman itu. Se Hwa terduduk di kamarnya. Pangeran sedang di ruang sidang dan Min Ju tetap berjaga-jaga di depan kamar Se Hwa. Sebenarnya tak hanya Min Ju yang merasa ada kejanggalan. Perasaan hati wanita itu tiba-tiba saja begitu kacau. Bukannya senang, tapi dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Se Hwa mengambil kertas dan mulai menguliskan tentang konspirasi racun yang disamarkan sebagai virus itu. Seluruh ingatannya telah kembali. Tentang bagaimana dan siapa yang menerima paket daun berbahaya itu dari bangsa Min, lalu siapa yang bertugas meraciknya, sampai dia yang memutus semua jaringan itu agar tak ada yang membocorkan rahasia. Ya, dia membunuh semuanya, sebelum dia sendiri yang diniatkan untuk dihabisi. Se Hwa menulisnya dalam selembar surat yang akan dia serahkan langsung kepada raja. Malam ini Se Hwa akan mengantar surat itu, lalu dia kan pergi gunung rubah untuk melindungi janinnya. Se Hwa pun mengenakan pakaian prajurit, lalu menyelinap keluar melalui jendela. Dia mengendap-endap agar tak ada yang menyadari keberadaannya. Sebelum sampai di kediaman raja, Se Hwa melewati kediaman pangeran pangeran terlebih dahulu. Obor di kediaman pangeran masih menyala. "Apa pangeran belum tidur?" Se Hwa mematut diri. "Apa surat ini aku serahkan saja kepadanya?" Setelah menimbang beberapa saat, Se Hwa pun mendekati kediaman San. Dia ingin masuk lewat jendela, tapi karena ada yang tengah bercakap-cakap, Se Hwa pun memutuskan untuk menunggu. Sepertinya San tengah bicara sesuatu yang penting. Se Hwa masih menunggu dengan sabar ketika didengarnya lawan bicara San mulai membicarakan sesuatu yang aneh. "Kita harus segera mengakhirinya. Keadaan makin berbahaya. Makin banyak Selir utama mencari tahu, dia akan makin mengingat segalanya." Pangeran tak menjawab. Merasa dirinya dilibatkan dalam topik pembicaraan, Se Hwa pun menajamkan indranya. "Tapi, aku tak bisa menyakitinya." Kali ini San yang bicara. "Bukankah dari awal aku bilang jangan libatkan dia, tapi kenapa paman melibatkannya?" "Paman ...." Se Hwa bergumam. "Apa yang dia maksud sekertaris Kim?" Se Hwa mendadak ingat bahwa San adalah putra mahkota yang terlahir dari selir bermarga Kim. Dia adalah keponakan dari sekertaris Kim. "Memangnya apa istimewanya wanita itu? Dari awal yang kita incar hanya mutiara rubah. Semua rencana ini telah berhasil, lalu sekarang kau ingin mundur dengan dalih kau jatuh cinta?" "Bukan hanya cinta, Paman. Dia mengandung anakku ...." "Persetan dengan anak itu! Ada puluhan anak yang akan kau dapatkan dari para selirmu." Sekertaris Kim terdiam sesaat. "Ingatlah, sejak Se Hwa bangun dari kematiannya, kita sudah mengubah seluruh rencana secara keseluruhan." Pangeran kembali diam. Ingatannya kembali pada kisah di mana dia hanya diam saja ketika sekertaris Kim menyusun rencana menggulingkan So Hyun, kakaknya. Harusnya pria itulah yang jadi putra mahkota, tapi sekertaris Kim meracuninya, lalu melimpahkan kesalahan kepada selir agung yang berasal dari keluarga pelayan yang mempunyai anak masih kecil dengan tuduhan bahwa di masa depan selir itu menginginkan kekuasaan untuk putranya. Selir itu pun di hukum mati dan putranya diusir dari kerajaan. Sekarang, entah dia harus merasa bangga atau malah takut dengan sepak terjang pamannya yang memuluskan keinginannya untuk menjadi raja. Tapi, satu hal dia tak ingin sekertaris Kim mencelakai Se Hwa. Se Hwa yang menguping dari luar pun terkejut dengan hal baru yang didengarnya. "Jadi, pangeran tau konspirasi ini dan mendiamkannya?" Wanita itu bergumam. "Kita gagal menggulingkan raja dengan ketidakbecusannya mencegah virus, tapi lihatlah hal terbaiknya. Kita mendapatkan mutiara rubah. Sumber kekuatan kita untuk hidup abadi." Suara sekertaris Kim kembali terdengar. "Besok malam kau harus bertukar tempat dengan Jung Jiang. Biarkan dia menemani istrimu dan mengisap mutiara rubah dari tubuhnya." Setelah mengatakan hal itu, sekertaris Kim pun meninggalkan San yang masih tak memberikan reaksi apa-apa. Sepeninggal sekertaris itu, barulah San memukul mejanya. Dia jelas tak terima, tapi melawan pamannya sama dengan kematian. San masih punya seorang adik yang bisa menggantikan posisinya sebagai putra mahkota meski dia telah dilantik untuk menjadi raja. Se Hwa tergugu di tempatnya. Dia masih memegang surat yang dia tulis untuk raja. "Bagaimana bisa pangeran menyimpan rahasia sebesar ini? Jung Jiang, jika dia masih hidup, apakah artinya permaisuri tidak dibunuh? Pantas saja mereka terkesan begitu cepat menaklukkan ular siluman itu." Se Hwa menimbang apa yang akan dilakukannya, akhiranya dia pun memutuskan untuk kembali. Dia harus pergi dari istana atau membunuh Jung Jiang besok malam. Tapi, bagaimana jika yang datang itu adalah pangeran? Bagaimana jika dia salah mengenali orang dan membunuh orang yang salah? Se Hwa sangat kebingungan. Tak berapa lama, Se Hwa sudah kembali ke kediamannya, tapi yang dia lihat pertama kali adalah Min Ju yang kerepotam mencarinya. "Kau dari mana saja?" tanya Min Ju dengan wajah kesal. Meski Sewa sekarang sudah menjadi selir utama, tapi ikatan persahabatan di antara mereka membuat interaksi keduanya seakan-akan tak ada jarak dan perbedaan. Se Hwa menghela napas. "Kemarilah. Ada banyak hal yang harus aku ceritakan." Awalnya Min Ju mengerutkan dahi karena perkataan Se Hwa mengundang begitu banyak pertanyaan dalam dadanya, tapi kemudian Min Ju beranjak mengikuti wanita itu. Sampai di dalam kamar, Se Hwa menuturkan apa yang didengarnya barusan. Dia pun menulis banyak lembar surat yang harus disebarkan oleh Min Ju. Tujuannya agar semua orang tahu rahasia itu. Jadi, jika seandainya dia terbunuh, maka rahasia itu sudah diketahui oleh khalayak ramai. "Satu lagi, Min Ju. Pergilah menghadap Ibu Ratu dan sampaikan surat ini kepadanya. Ibu Ratu satu-satunya peluang kita untuk bisa menangkap mereka yang bersekutu, adalah melobi dengan Yang Mulia Ratu. Biarkan Yang Mulia Ratu mengambil keputusan, dia yang lebih bijak dan memiliki kekuatan untuk memegang kendali sementara ketika r wafat dan San digulingkan dari tahta." Se Hwa menatap Min Ju. Dia harapan satu-satunya yang bisa dipercaya. "Min Ju, aku berharap banyak kepadamu." Min Ju pun mengangguk dia mengerti kecemasan Se Hwa. Dilihatnya wanita itu sudah berhenti menulis surat. "Ini, ambillah, Min Ju." "Lalu, bagaimana denganmu?" "Aku akan meninggalkan istana malam ini juga. Jadi, sebelum mereka menyadarinya, kita sudah menyerangnya lebih dulu." "Tapi ... Se Hwa ...." "Jangan khawatirkan aku. Aku punya tempat yang aman untuk bersembunyi dan tetap hidup." Se Hwa tersenyum. Dia mengumpulkan beberapa barang yang mungkin dia butuhkan di perjalanan nanti. Tak lupa dia juga membawa senjata untuk melindungi diri. Min Ju ikut berdiri ketika Se Hwa berdiri dan bersiap-siap untuk pergi. "Terima kasih telah menjadi sahabatku, Min Ju. Tolong sampaikan maafku kepada ibu karena tak bisa berpamitan kepadanya. Aku titipkan dia kepadamu." Se Hwa memeluk pria itu untuk terakhir kalinya. Ada rasa sedih di hati Min Ju yang tak bisa dia ungkapkan. Bagaimanapun Se Hwa sahabat terbaiknya. "Tolong jaga diri baik-baik. Kau harus tetap hidup," kata Se Hwa melanjutkan. "Kau juga Se Hwa. Kau harus tetap hidup bersama kedua bayimu. Kelak, jika kerajaan di istana sudab tenang, aku akan membawamu pulang ke istana." Se Hwa mengangguk, lalu melepas pelukannya. Dia mengambil tasnya, lalu mengikatnya di badan. "Aku pergi sekarang, Min Ju. Oh, ya, jika Seo Yeon kembali. Aku titipkan dia kepadamu. Dia siluman yang kesepian. Tapi, aku berharap dia tak kembali karena di sini terlalu berbahaya untuknya." Min Ju kembali mengangguk, lalu melambaikan tangan ketika Se Hwa keluar melalui jendela. "Kau harus baik-baik saja, Se Hwa. Karena kau wanita yang tangguh." Setelah itu Min Ju pun bersiap menjalankan misinya. "Baiklah, Min Ju. Mari kita mulai pertarungan ini," ucapnya kepada dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD