Part 64

1126 Words
Se Hwa menatap tembok tinggi istana. Dia telah berhasil menyusup keluar dari istana itu. Dielusnya perutnya yang masih rata meski usia kehamilannya sudah dua bulan. "Ayo, Nak. Kita harus pergi dari sini. Kita tak bisa berlama-lama di sini, kuatlah bersama ibu, ya." Se Hwa bicara kepada janinnya, lalu kembali mengayun langkah. Dia terus melangkah hingga bahkan tak tahu sudah berapa jauh dan berapa lama. Arah dan keberadaannya pun tak diketahuinya. Dia hanya ingin menjauh dari istana. Mutiara rubah dan bayinya selalu jadi prioritas utamanya kini. Tak peduli berapa jauh pun dia harus manempuh perjalanan, akan dilakoninya asal mereka bisa selamat. Remang cahaya di ufuk timur mulai terlihat samar. Dini hari sudah mengganti pekatnya malam. Se Hwa mengistirahatkan kakinya sejenak. Beruntung dulu dia adalah panglima perang. Badannya sudah terlatih untuk menghadapi keadaan paling sulit sekalipun. Se Hwa meminum air dari botolnya. Air yang tersisa sedikit. "Kira-kira di mana aku bisa menemukan mata air?" Dia bergumam. Setelah lelahnya sedikit berkurang, Se Hwa kembali melanjutkan perjalannya. Disusurinya jalan setapak tanpa mencari tahu entah dia ke utara atau keselatan. Yang dia tahu hanyalah dia harus pergi menjauh. Gemericik air mengusik telinga Se Hwa. Matahari belum muncul semua, tapi dia sudah bisa melihat dedaunan dalam keremangan. Kaki pun terayun mengikuti suara air itu. Dia ingin memenuhi botolnya kembali sebelum melanjutkan perjalanan. Setidaknya dia harus tetap minum air jika tak ada yang bisa dia makan. Di tepian sungai Se Hwa berdiri menatapi kegelapan di bawah sana. Air yang mengalir tampak paling terang di antara kegelapan. Meski tak seterang jika siang, tapi air memang memantulkan cahaya di kegelapan. Se Hwa melihat ke sekitar, barulah turun dengan berhati-hati. Dia mencelupkan botol minumnya di sana. Tak lupa mencuci wajahnya agar lebih segar. Ketika melihat ikan berenang-renang di dekat tepian kali, Se Hwa mendadak lapar. Dia pun mencari sebatang kayu untuk ditajamkan ujungnya. Menembak ikan dengan memakai ujung tombak dari kayu adalah hal paling dasar yang pernah dia pelajari ketika masih di kamp militer. Mereka semua belajar hal-hal dasar untuk bisa survival atau bertahan hidup. Jadi, untuk menangkap ikan itu tidaklah begitu sulit baginya. Dalam waktu singkat, wangi ikan bakar telah mengetuk-ngetuk indra penciuman wanita itu. Se Hwa meletakkan ikannya di atas daun, lalu mulai menyantapnya. Sesekali dia melihat sekeliling takut-takut kalau ada binatang buas atau tentata yang mungkin saja mengejarnya. Tapi, mungkin saja masih belum ada yang menyadari kepergiannya. Setelah menghabiskan ikan yang lumayan besar itu, Se Hwa pun kembali bersiap melanjutkan perjalanannya. Melihat aliran sungai yang tak terlalu dalam itu, Se Hwa memutuskan untuk menyebrang sungai itu, lalu menjauhi bibir sungai masuk kembali ke dalam hutan. *** Sementara itu, Min Ju menunggu di atas atap sebuah rumah milik penduduk di sekitaran pasar. Sebentar lagi tempat itu akan ramai oleh pengunjung. Para pembeli dan penjual akan berkumpul di sana. Itulah kesempatannya untuk menyebarkan surat yang dibuat oleh Se Hwa. Di surat itu Se Hwa telah menjelaskan secara detail siapa saja yang terlibat dalam konspirasi itu, juga terkait kematian putra mahkota yang sebelumnya. Se Hwa juga menuliskan tentang siluman ular yang telah menelan permaisuri dan kemudian mengambil alih wujudnya, yang diklaim sudah berhasil dibunuh oleh Sekretaris Kim dan pasukan istana, tapi itu sebuah kebohongan. Se Hwa menghimbau agar rakyat menuntut penjelasan dan menunjukkan di mana siluman ular itu disembunyikan. Satu per satu para pedagang mulai berdatangan. Mereka menggelar dangangannya. Beberapa pembeli juga mulai datang untuk membeli kebutuhan pokok. Ada juga yang membeli beberapa bahan makanan untuk mereka olah dan jual kembali. Min Ju memperhatikan dengan saksama. "Sebentar lagi, aku harus menunggu sebentar lagi," gumam pria itu. Tiga puluh menit berikutnya, Min Ju yang mengenakan pakaian serba hitam dan cadar hitam mulai melancarkan aksinya. Lembar-lembar kertas mulai beterbangan. Dia menunggu reaksi penduduk yang sedikit terkejut dengan hujan kertas itu. Beberapa dari mereka mulai memungutnya, lalu membaca dengan teliti. Kasak-kusuk dari mereka pun terdengar. Orang-orang berkumpul semakin ramai guna membahas isi selebaran itu. Min Ju tersenyum senang. Dia meninggalkan tempat itu dan melompat ke tempat lain, terus mencari tempat-tempat ramai guna melempar semua kertas-kertas itu. Setelah tugasnya selesai, dia kembali ke istana tanpa ada yang mencurigainya. Di pagi yang cerah seperti saat ini, Sekertaris Kim biasanya akan menghabiskan waktunya di taman rumahnya untuk menyirami tanaman atau memotong beberapa cabang tumbuhan yang rusak agar pertumbuhan tanamannya tetap terlihat indah dan menawan. Akan tetapi, kali ini semua berbeda. Sekertaris Kim menggebrak meja ketika membaca selebaran yang dibawa oleh salah satu pelayannya. Dia mendapatkan selebaran itu dari pasar. "Kurang ajar kau Hwang Se Hwa!" jeritnya. Gegas dia mengganti pakaiannya dan pergi ke istana. Dia berharap bisa melakukan sesuatu kali ini. Bagaimanapun keadaan harus bisa dikendalikan, tapi sayang usahanya sia-sia. Raja telah tahu kasus itu lebih dulu. Ibu Ratu datang menghadap raja pagi-pagi buta ketika mendapati selebaran itu di dalam kamarnya. Raja tak mau menunggu lebih lama, dia langsung memberi perintah penangkapan kepada San dan semua klan Kim. "Kurang ajar kau Hwang Se Hwa, aku pasti akan membunuhmu! Aku pasti akan membunuhmu!" Sekertaris Kim terus berteriak ketika Min Ju memimpin pasukan guna menangkapnya. "Menjeritlah sekuat tenagamu, b******n! Sebab kau tak akan pernah bisa melakukannya ketika kepalamu terpisah dari raga." "Diam kau, b*****t!" Sekertaris itu masih juga ingin melawan. Tapi, tentu saja perlawanannya sia-sia. Min Ju langsung membawanya ke ruang tahanan. Keputusan akan hidup mati mereka ada di tangan Raja, jadi mereka harus menunggu setelah sidang istana digelar. Sementara itu, di dalam sidang istana pun terjadi perdebatan yang tak berujung di antara para pejabat. Yang Mulia Raja memimpin sidang ditemani oleh ratunya. Tak bisa dipungikiri, usia yang sudah lanjut terkadang membuatnya lebih cepat emosi dan salah mengambil keputusan. Ibu Ratu yang jauh lebih muda dari raja mampu menjadi penasehat yang adil dan bijak sehingga raja bersikap lebih tenang di sidang itu. Setelah berjam-jam mereka membahasanya, keputusan hukuman mati kepada seluruh klan Kim pun ditunda sampai mereka menemukan semua bukti-bukti yang menguatkan tuduhan Se Hwa. Selain itu, mereka juga akan memaksa San dan sekertaris Kim untuk mengakui perbuatannya. Dari kejauhan Min Ju menatap San yang meringkuk di balik tahanan. Sungguh hatinya sangat kecewa karena ternyata orang yang sangat dia percayai selama ini begitu haus akan kekuasaan, bahkan sampai menghalalkan segala cara. Dia setuju saja ketika kakaknya sendiri harus diracun hanya karena sang kakak membuat rancangan perubahan besar-besaran di pemerintahan Joseon. Rancangan yang akan membuat sekertaris Kim kehilangan pendapatan dari hasil pajak. Pajak yang mencekik seluruh rakyat Joseon. Pangeran So Hyun memang terkenal lebih bijak dan lebih memihak rakyat, jadi ketika usulan kenaikan pajak ditentang kuat olehnya maka dia pun dihabisi. Sekertaris Kim menilai jika So Hyun tak pantas menjadi raja karena dia terlalu lemah dan tak dapat dikendalikan olehnya. Sosok yang dianggap lemah oleh Sekertaris Kim justru begitu dicintai oleh rakyatnya. "Jika saja kau memiliki sedikit sifat seperti kakakmu, Yang Mulia, maka hal ini tak mungkin terjadi," gumam Min Ju, lalu meninggalkan tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD